Fitch: Larangan Jual Bir Bikin 7-Eleven Bangkrut

Gerai 7-Eleven di Indonesia tutup 30 Juni 2017 dinilai oleh sejumlah faktor.

oleh Agustina Melani diperbarui 03 Jul 2017, 16:30 WIB
Diterbitkan 03 Jul 2017, 16:30 WIB
Sevel Tutup
Warga melihat-lihat kawasan gerai 7-Eleven yang tutup di kawasan Jalan Kapten Tendean, Jakarta, Sabtu (24/6). Penutupan seluruh gerai 7-Eleven di Indonesia akan dilakukan 30 Juni 2017. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Gerai 7-Eleven tutup di Indonesia per 30 Juni 2017. Lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings menilai penutupan gerai 7-Eleven bukan masalah terjadi di industri ritel.

Mengutip keterangan tertulis di laman Fitch Ratings, Senin (3/7/2017), lembaga pemeringkat ini menilai penutupan gerai 7-Eleven lantaran risiko peraturan yang berkembang dan profil risiko dari model bisnis yang diterapkan.

Fitch melihat, bisnis model yang diterapkan oleh 7-Eleven di Indonesia diganggu oleh perkembangan peraturan yang kurang kondusif. Perusahaan menutup sekitar 25 gerai pada 2016 dibandingkan 2015 sekitar 20 gerai. Total gerai 7-Eleven sekitar 161 gerai pada 2016.

Penutupan gerai 7-Eleven menurut Fitch Ratings lantaran ada peraturan yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian pada April 2015, yang melarang penjualan minuman beralkohol di ritel modern dan kecil. Padahal, kontribusi minuman beralkohol itu diperkirakan sekitar 15 persen untuk penjualan induk usaha 7-Eleven, yaitu PT Modern Internasional Tbk.

Penutupan toko pun akhirnya menghasilkan penurunan penjualan dan earning before interest, taxes, depreciation, and amortization (EBITDA) atau pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi sekitar 28 persen pada 2016.

Selain itu, Fitch menilai, masalah diperburuk dengan tidak ada perbedaan jelas antara toko ritel dan restoran cepat saji yang dilakukan 7-Eleven di Indonesia.

Model bisnis dan risiko gerai 7-Eleven serupa dengan restoran lantaran makanan dan minuman siap saji yang difasilitasi dengan tempat duduk dan Wi-Fi gratis. Akibatnya, rantai itu menghadapi persaingan ketat dari restoran cepat saji dan penjual makanan tradisional yang masih sangat populer di kalangan konsumen Indonesia.

"Profil risiko bisnis ini juga berbeda secara signifikan dengan minimarket dan toserba lainnya, yakni Alfamart dan Indomaret yang memberi penekanan lebih besar pada belanjaan dan memiliki jaringan lebih besar di seluruh negeri," tulis Fitch Ratings.

Fitch Ratings Indonesia juga menilai kalau gerai 7-Eleven memiliki biaya sewa tinggi dari toko serba ada lainnya. Ini karena gerai 7-Eleven membutuhkan area toko lebih besar. Ditambah sebagian besar gerai 7-Eleven di Jakarta berada di area utama yang memberikan tarif sewa tinggi. Ini membuat perseroan merevisi biaya sewa ketika masa sewa habis. "Biaya sewa Modern Internasional meningkat sekitar 28 persen pada 2016 meski penutupan sejumlah besar toko dilakukan pada 2016 dan 2015," tulis Fitch Ratings.

Diberitakan sebelumnya, Manajemen PT Modern Internasional Tbk (MDRN) menutup seluruh gerai 7-Eleven yang di bawah anak usaha perseroan, yaitu PT Modern Sevel Indonesia. Penutupan seluruh gerai 7-Eleven di Indonesia mulai dilakukan 30 Juni 2017.

Direktur PT Modern Internasional Tbk Chandra Wijaya menuturkan, seluruh gerai 7-Eleven di bawah manajemen PT Modern Sevel Indonesia yang merupakan salah satu entitas anak perseroan akan menghentikan kegiatan operasional per 30 Juni 2017.

Penghentian seluruh kegiatan gerai 7-Eleven itu disebabkan keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh perseroan untuk menunjang kegiatan operasional gerai 7-Eleven. Apalagi usai perseroan batal menjual gerai 7-Eleven kepada anak usaha PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk karena tidak ada kata kesepakatan.

 

 

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:

 

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya