Asosiasi Minta Sri Mulyani Tak Naikkan Cukai Rokok di 2018

Alasannya karena industri rokok tengah lesu terimbas perlambatan ekonomi dan pelemahan daya beli masyarakat.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Agu 2017, 17:00 WIB
Diterbitkan 20 Agu 2017, 17:00 WIB
Harga Rokok Akan Menjadi 50 Ribu Perbungkus, Masih Mau Ngerokok?
Ilustrasi rokok. (via: istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) meminta Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati untuk mempertimbangkan kembali rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau atau rokok di tahun depan. Alasannya karena industri rokok tengah lesu terimbas perlambatan ekonomi dan pelemahan daya beli masyarakat.

Ketua Departemen Media Center AMTI, Hananto Wibisono berpendapat, pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi dan situasi industri hasil tembakau dari hulu sampai hilir sebelum membuat kebijakan berencana menaikkan cukai rokok.

"Industri tembakau lagi lesu, daya beli masyarakat melemah, ekonomi melambat, jadi sebaiknya jangan dinaikkan dulu (cukai rokok) di 2018," tegasnya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (20/8/2017).

Hananto mengungkapkan, industri hasil tembakau nasional tengah didera situasi yang sulit dalam dua tahun terakhir. Pemerintah mengerek rata-rata tarif cukai rokok di 2015 sebesar 8,72 persen, kemudian 11,19 persen di 2016, dan rata-rata sebesar 10,54 persen pada 2017.

"Dimulai dengan kenaikan target penerimaan cukai sebesar 15 persen di awal 2016 telah menyebabkan volume produksi rokok turun rata-rata 4,8 persen," terangnya.

Lebih jauh Hananto bilang, industri hasil tembakau sudah stagnan dalam tiga tahun terakhir. Pada 2016, volume produksi rokok turun menjadi 6 miliar batang dan menyebabkan target cukai tidak tercapai.

Sementara pada tahun ini, diperkirakannya volume produksi rokok masih terus turun, karena hingga pertengahan tahun ini sudah turun 5,4 persen.

"Jadi, kalau cukai dinaikkan lagi tahun depan makin berat untuk industri. Untuk membantu industri sehat lagi, diharapkan tidak ada kenaikan cukai tahun depan," paparnya.

Untuk diketahui, penerimaan bea dan cukai di RAPBN 2018 dipatok Rp 194,1 triliun. Khusus target setoran dari cukai sebesar Rp 155,4 triliun dan salah satunya berasal dari penerimaan cukai hasil tembakau ditargetkan Rp 148,2 triliun.

"Jika daya beli turun, cukai dan harga rokok naik, maka konsumen akan mensiasati dengan mencari rokok yang lebih murah. Tentu saja target pendapatan cukai tidak akan tercapai," ucap Hananto.

Lebih jauh lagi, kata Hananto, kenaikan tarif cukai rokok akan menyuburkan pertumbuhan rokok ilegal. Berdasarkan studi dari beberapa universitas di dalam negeri, lanjutnya, perdagangan rokok ilegal telah mencapai 11,7 persen dari produksi nasional dengan tingkat cukai saat ini. Kondisi tersebut tentu kontraproduktif dengan upaya pemerintah mengendalikan konsumsi rokok, peningkatan penerimaan negara, dan perlindungan tenaga kerja.

"Mestinya pemerintah melakukan ekstensifikasi target penerimaan cukai selain hasil tembakau. Rencana pungutan cukai plastik dijalankan, jadi tidak cuma cukai dari rokok, alkohol saja yang terus dikejar," tegasnya.

Oleh karenanya, Hananto mengimbau agar pemerintah hati-hati dan komprehensif jika ingin menaikkan tarif cukai rokok, serta mempertimbangkan dampak yang dapat ditimbulkan terhadap seluruh mata rantai industri tembakau nasional, mulai dari petani, pekerja, pabrikan, pedagang, dan konsumen.

Saat ini, lebih dari 6 juta rakyat Indonesia yang menggantungkan penghidupannya pada industri tembakau. Terdiri dari sekitar 2 juta petani tembakau dan pekerjanya, sebanyak 1,5 juta petani cengkeh dan pekerjanya, 600 ribu tenaga kerja pabrik rokok, dan 2 juta pedagang.

"Saya yakin, teman-teman di Kementerian Keuangan pasti akan mengkaji kebijakan ini secara matang. Kalaupun terpaksa naik, berdasarkan inflasi tahun depan saja 3,5 persen dan tidak lebih dari itu karena khawatir berdampak ke industri yang menyerap 6 juta lebih tenaga kerja itu," tegas Hananto.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya