Liputan6.com, Jakarta Wacana kebijakan kemasan polos untuk produk tembakau kembali menjadi perhatian dan menimbulkan beragam catatan dari berbagai kalangan. Salah satu kekhawatiran yang mencuat adalah potensi sulitnya membedakan produk legal di pasaran, yang secara tidak langsung bisa membuka celah bagi maraknya peredaran rokok ilegal.
Jika hal ini terjadi, pengawasan di lapangan bisa menjadi semakin kompleks, sehingga tujuan awal kebijakan untuk menekan konsumsi justru sulit tercapai.
Advertisement
Baca Juga
Pengalaman di sejumlah negara pun memberikan gambaran yang patut menjadi pertimbangan. Di Australia, kebijakan kemasan polos tidak menunjukkan dampak signifikan dalam menurunkan jumlah perokok muda, sementara peredaran rokok ilegal justru meningkat tajam dari 182 ton pada 2014 menjadi 381 ton pada 2017.
Advertisement
Kondisi serupa juga terlihat di Prancis dimana penjualan rokok naik 3% pada tahun pertama penerapan, sementara di Inggris prevalensi perokok hanya turun 0,4% dalam 3 tahun (ONS, 2020). Jika diterapkan tanpa kesiapan menyeluruh, Indonesia berisiko mengalami dampak serupa, yang tidak hanya merugikan melemahkan posisikonsumen, tetapi juga memperlemah posisi industri legal di pasar, namun juga berpotensi berdampak negatif bagi konsumen.
Di Indonesia, tantangan terkait rokok ilegal juga terus menjadi perhatian, terlebih di tengah wacana kebijakan kemasan polos. Data terbaru dari Indodata Research Center mencatat bahwa pada 2024, konsumsi rokok ilegal melonjak hingga 46,95%, dengan potensi kerugian penerimaan negara yang diperkirakan bisa mencapai Rp 96 triliun per tahun.
Dalam situasi ini, kebijakan penghilangan identitas merek dikhawatirkan justru memperbesar ruang peredaran produk ilegal di pasar yang sulit dibedakan dari produk resmi.
Menanggapi kondisi tersebut, Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Perindustrian, Saleh Husin menegaskan bahwa produsen rokok ilegal berpotensi memanfaatkan kebijakan kemasan polos untuk memperluas peredaran produknya di pasar, sebab desain kemasan yang seragam membuat produk ilegal semakin sulit dibedakan dari produk legal.
Di sisi lain, konsumen juga akan kesulitan mengenali ciri khas produk yang biasa mereka pilih, sehingga membuka ruang yang lebih lebar bagi produk tiruan beredar tanpa terdeteksi.
“Produsen rokok ilegal dapat dengan mudah menjual produk mereka di pasaran dan mengancam eksistensi produsen rokok legal. Padahal Industri tembakau di Indonesia merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam pendapatan cukai negara. Pada tahun 2024, IHT telah menyumbang Rp 216,9 triliun melalui cukai hasil tembakau (CHT),” ungkap Saleh dikutip Minggu (27/4/2025).
Pengawasan Produk
Lebih jauh, Saleh mengingatkan bahwa persoalan ini tidak berhenti hanya pada pengawasan produk semata, namun juga akan memicu dampak lanjutan dalam peta persaingan pasar. Produk rokok ilegal, yang dijual tanpa beban cukai dan pajak, jelas memiliki harga yang jauh lebih murah dibandingkan produk legal. Dalam situasi tren peralihan konsumen ke produk berharga lebih rendah (downtrading) yang makin kuat, kondisi ini bisa mempercepat pergeseran pangsa pasar ke produk ilegal.
Tak hanya memengaruhi pemain besar, pelaku usaha skala kecil dan menengah juga dikhawatirkan menjadi korban dari ketidaksetaraan persaingan ini. Menurut Saleh, segmen industri kecil sangat mengandalkan identitas merek dan kemasan sebagai kekuatan diferensiasi. Tanpa pembeda tersebut, produk legal akan semakin terhimpit di tengah gempuran produk ilegal yang tidak melalui proses pengawasan dan beredar dengan harga jauh di bawah pasar.
“Situasi ini berpotensi mematikan keberlangsungan bisnis mereka, karena mereka tidak memiliki kapasitas modal seperti pelaku besar untuk bertahan. Akibatnya, pasar bisa semakin terkonsentrasi pada pelaku ilegal yang tidak memberikan kontribusi bagi perekonomian negara,” tegas Saleh.
Advertisement
Wamenkum Soroti Maraknya Rokok Ilegal, Tegaskan Perlunya Penertiban
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej, menyoroti meningkatnya peredaran rokok ilegal di Indonesia. Menurutnya, keberadaan rokok ilegal tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menimbulkan kerugian bagi negara serta membahayakan masyarakat.
“(Rokok ilegal) harus ditertibkan. Karena tidak hanya merusak perekonomian, ada soal merek, tapi juga sifat bahayanya barang itu. Kalau rokok (ilegal) itu dijual, satu perbuatan dia terkena beberapa pasal,” ujar Edward dalam wawancara di Jakarta Selatan, Senin.
Edward juga mengingatkan bahwa penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal perlu diperkuat, mengingat pelanggaran yang terjadi mencakup sejumlah aturan, mulai dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hingga regulasi perdagangan dan perlindungan merek.
Di sisi lain, wacana penyeragaman kemasan rokok melalui Peraturan Menteri Kesehatan sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 juga menuai tanggapan.
Edward menilai kebijakan tersebut perlu diimbangi dengan pendekatan yang mengakomodasi berbagai kepentingan.
“Solusinya harus bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak—antara manfaat ekonomi dan keadilan hukum,” ungkap Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada itu.
Dampak Penyeragaman Bungkus Rokok
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, menyatakan bahwa penyeragaman bungkus rokok berisiko mendorong peningkatan peredaran rokok ilegal.
“Ini bisa menimbulkan kebingungan di masyarakat dan membuka celah makin banyaknya rokok ilegal di pasaran,” katanya saat dihubungi.
Benny juga mempertanyakan dasar hukum kebijakan tersebut yang, menurutnya, tidak tercantum dalam PP 28/2024. Ia menyebutkan bahwa regulasi baru seperti ini seharusnya memiliki dasar undang-undang.
“Ini justru menjadi aturan baru yang tidak memiliki dasar kuat. Seharusnya diatur di undang-undang dulu,” tegasnya.
Advertisement
