Penyebab Mal Sepi Pengunjung Bukan Karena Turunnya Daya Beli

Salah satu pengembang properti melihat kondisi mal sepi bukan karena menurunnya daya beli.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 19 Sep 2017, 19:14 WIB
Diterbitkan 19 Sep 2017, 19:14 WIB
20161202-Pusat Elektronik Glodok Sepi Pembeli-Jakarta
Sejumlah kios yang berada di pusat elektronik Glodok, Jakarta, tampak tutup, Jumat (2/12). Kondisi pusat perbelanjaan di kawasan Glodok relatif sepi pengunjung akibat adanya aksi damai 2 Desember. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Kondisi pusat perbelanjaan atau mal yang sepi bukan disebabkan oleh menurunnya daya beli. Namun, hal itu disebabkan oleh kurang tepatnya strategi pengembang properti.

Marketing Director Green Pramuka City, Jeffry Yamin menerangkan, jumlah pusat perbelanjaan tahun 2010 telah mencapai 170 setara 4 juta meter persegi. Angka ini dianggap sudah melebihi batas ideal mal dan jumlah penduduk.

Sementara, pemerintah DKI Jakarta telah mengeluarkan instruksi pada  2011 terkait pembatasan pembangunan mal. Sayangnya, pengembang terus membangun mal.

"Kami sudah melihat itu sejak delapan tahun yang lalu. Saat itu, pada tahun 2010 jumlah pusat perbelanjaan (mal) yang ada di Jakarta mencapai 170 lebih atau setara lahan seluas 4 juta meter persegi. Melebihi batas ideal mal dan jumlah penduduk," kata dia dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Selasa (19/9/2017).

Dia bilang, kala itu pengembang melihat potensi pembangunan mal karena ada kecenderungan masyarakat Jakarta yang menjadikan pusat perbelanjaan sebagai obat stres. Dengan kondisi tersebut, pembangunan pusat perbelanjaan terus berjalan.

Jumlah mal pun tumbuh melesat. Pada 2013 terdapat 564 pusat perbelanjaan di Jakarta dengan jumlah terbanyak terdapat di area central business district (CBD).

"Sayangnya, para pengembang mengabaikan tren yang sedang terjadi pada masyarakat yang tinggal di megapolitan di negara-negara lain. Itu kalau Anda buka data, di negara Amerika Serikat sejak tahun 2010 sejumlah mal raksasa mulai sepi, beberapa malah tutup," jelas dia.

Data Green Street Advisors yakni lembaga pemantau industri pusat perbelanjaan menunjukan, sejak tahun 2010 sedikitnya ada 30 mal di penjuru Amerika Serikat (AS) terpaksa ditutup dan 60 mal yang mulai sepi pengunjung. Menurut Jeffry, saat itu para pengembang mal AS ramai-ramai menuding belanja online sebagai biang keladi sepinya mal.

Namun, tidak disadari hal itu terjadi karena jumlah mal yang terlalu banyak dan perubahan gaya hidup masyarakat kota besar.

"Masyarakat kota besar cenderung ingin praktis dan lebih gemar menyisihkan uang mereka untuk kesehatan atau menghibur diri dengan olahraga dan piknik," terang dia.

Sebab itu, konsep one stop living menjadi konsep yang tepat. Dia mengatakan, dengan konsep one stop living maka penghuni tidak perlu terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menuju lokasi pusat belanja.

Jeffry menambahkan, konsep ini sebetulnya sudah terjadi di Jakarta sejak era 1990-an. Di mana terjadi integrasi antara apartemen dan mal (mixed use building) yang memadukan hunian dengan sarana hiburan, bisnis, dan lifestyle.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Penyewa Gerai Keluhkan Omzet Turun

PT Matahari Departement Store Tbk memutuskan untuk menutup gerai yang berada di Pasaraya Blok M dan Manggarai pada waktu dekat. Penutupan ini lantaran pusat belanja di mana gerai tersebut berada sepi pengunjung, sehingga berdampak ke penjualan yang tidak mencapai target.

Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Belanja Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan, kondisi pengunjung pada masing-masing pusat belanja atau mal berbeda-beda. Biasanya, mal di lokasi tertentu saja yang masih mampu bertahan dan bisa menarik minat masyarakat untuk berkunjung.

"Mal yang sepi ada, yang ramai juga ada. (Yang ramai) Secara keseluruhan mal yang lokasinya bagus. Tenant-nya juga brand-nya kuat sehingga tetap ramai," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Senin 18 September 2017.

Meski demikian, Budi tidak membantah jika secara umum saat ini kunjungan masyarakat ke pusat belanja cenderung menurun, terutama saat hari kerja. Hal ini tentu saja juga berdampak pada tenant di dalam pusat belanja tersebut.

"Secara umum mal kalau Sabtu-Minggu ramai. Hanya saja, saat ini hari biasa terjadi penurunan traffic dibandingkan dulu. Sehingga omzet yang dulu hari biasa lumayan, sekarang menurun," kata dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya