PPATK Waspadai Penggunaan Bitcoin untuk Pencucian Uang

BI kembali memperingatkan bahaya dan risiko kepada para pengguna uang virtual seperti bitcoin.

oleh Septian Deny diperbarui 16 Jan 2018, 14:44 WIB
Diterbitkan 16 Jan 2018, 14:44 WIB
Ilustrasi Bitcoin. Liputan6.com/Mochamad Wahyu Hidayat
Ilustrasi Bitcoin. Liputan6.com/Mochamad Wahyu Hidayat

Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mewaspadai perkembangan bitcoin di Indonesia. Pasalnya, di dunia internasional, muncul dugaan jika mata uang virtual (virtual currency) tersebut digunakan sebagai sarana tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae mengatakan, saat ini pola tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme mulai marak memanfaatkan perkembangan teknologi informasi (IT). Sebab, para pelaku kejahatan tersebut terus mencari pola pengumpulan dana yang sulit untuk dideteksi oleh aparat penegak hukum.

"Pencucian uang itu, seperti halnya kejahatan lain, itu bisa memanfaatkan IT. Dan bisnis yang menggunakan IT apakah itu fintech, dan penggunaan virtual currency itu rawan disusupi itu. ‎Penjahat kan selalu mencari pola-pola, cara-cara. Jadi kalau semakin susah, semakin rumit, dia akan masuk ke situ," ujar dia dalam Pertemuan Tahunan PPATK, di Jakarta, Selasa (16/1/2018).

Dia menyatakan, kini otoritas penegak hukum di berbagai negara mulai menemukan pola-pola pemanfaatan mata uang virtual seperti bitcoin dalam proses tindak pidana pemerasan, terorisme dan lain-lain. ‎

"Contohnya ada yang meminta hasil pemerasan dibayarkan melalui Bitcoin, itu orang susah mendeteksinya. Kemudian kemarin juga ada indikasi terorisme menggunakan itu. Itu Bitcoin juga digunakan. Secara prinsip peluang apa pun yang terbuka, itu pasti akan dipakai," kata dia.

Menurut Dian, meskipun Bank Indonesia (BI) telah secara tegas melarang penggunaan bitcoin di Indonesia, tidak menutup kemungkinan ada tindak kejahatan yang memanfaatkan mata uang virtual tersebut. Oleh sebab itu, PPATK dan aparat penegak hukum akan terus menelusuri hal ini.

‎‎"Bank Indonesia kan sudah tegas jelas tidak boleh digunakan sebagai alat pembayaran. Dan lembaga atau orang yang melaksanakan sistem pembayaran tidak boleh berhubungan dengan Bitcoin. Tetapi kita sebagai otoritas tidak berhenti di situ, kita dirikan desk fintech dan cyber crime," tandas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

BI Peringatkan Para Pengguna Bitcoin

Bitcoin
Ilustrasi Bitcoin (Liputan6.com/Sangaji)

Sebelumnya, BI kembali memperingatkan bahaya dan risiko kepada para pengguna uang virtual seperti bitcoin. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman mengatakan, uang virtual termasuk bitcoin tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia.

"Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No 7 tahun 2011 tentang Mata Uang," kata dia di Jakarta, Sabtu (13/1/2018).

Dalam UU menyebutkan, mata uang adalah uang yang dikeluarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan rupiah.

Dengan demikian, ditegaskan Agusman, pemilikan mata uang virtual sangat berisiko dan sarat akan spekulasi karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab, tidak terdapat administrator resmi, tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga.

 

Nilai fluktuatif

Ilustrasi Bitcoin
Ilustrasi Bitcoin

Risiko lainnya yakni nilai perdagangan sangat fluktuatif sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan (bubble) serta rawan digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme, sehingga dapat memengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat.

"Oleh karena itu, Bank Indonesia memperingatkan kepada seluruh pihak agar tidak menjual, membeli atau memperdagangkan virtual currency," tegas dia.

Bank Indonesia juga mengingatkan, sebagai otoritas sistem pembayaran, Bank Indonesia melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran (prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara kliring, penyelenggara penyelesaian akhir, penerbit, acquirer, payment gateway, penyelenggara dompet elektronik, penyelenggara transfer dana) dan penyelenggara teknologi finansial di Indonesia baik bank dan lembaga selain bank untuk memproses transaksi pembayaran dengan uang virtual.

Ini sebagaimana diatur dalam PBI 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan dalam PBI 19/12/PBI/2017​ tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

"Bank Indonesia sebagai otoritas di bidang moneter, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran senantiasa berkomitmen menjaga stabilitas sistem keuangan, perlindungan konsumen dan mencegah praktik-praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme," tutup Agusman.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya