Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) dengan tegas melarang penggunaan bitcoin dalam setiap transaksi di Indonesia. Salah satu faktor yaitu tingginya fluktuasi yang dimiliki bitcoin.
Hal ini kemudian membuat Bank Indonesia menyisipkan penegasan mengenai pelarangan penggunaan bitcoin ini dalam dua Peraturan Bank Indonesia, yaitu PBI 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan dalam PBI 19/12/PBI/2017​ tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Direktur Eksekutif Pusat Program Transformasi Bank Indonesia (PPTBI) Onny Widjanarko membuktikan risiko bitcoin tersebut.
"Risiko secara konvertibilitas itu tidak ada jaminan ditukarkan dengan fiat money, apalagi dengan volatilitas harga yang tinggi," kata Onny di Gedung Bank Indonesia, Senin (15/1/2018).
Advertisement
Baca Juga
Ia menyebutkan, saat ini bitcoin memang memiliki nilai paling tinggi di antara 1.400 virtual currency atau mata uang digital yang ada di dunia. Per satu bitcoin kini nilainya Rp 193,8 juta dengan kapitalisasi pasar mencapai US$ 240 miliar.
Dari chart harga yang ditampilkan Onny, harga bitcoin yang disebutkan sebelumnya jauh berbeda jika dibandingkan dengan harga satu hari sebelumnya Rp 194,1 juta. Bahkan jika dibandingkan harga 13 Januari 2018, saat ini ada di Rp 203,7 juta.
Tingginya fluktuasi harga tersebut karena nilainya ditentukan pada harapan penawaran dan permintaan di masa mendatang (spekulatif),
Dari data tersebut menunjukkan fluktuasi harga bitcoin sangat berisiko. Hal inilah yang menyebabkan Bank Indonesia (BI) terus melarang penggunaan bitcoin tersebut.
"Tidak hanya itu, bitcoin juga berrisiko terhadap stabilitas sistem keuangan apabila terjadi bubble burst karena terdapat interaksi antara virtual currency dan ekonomi riil," papar dia. (Yas)
Â
Bank Indonesia Kembali Peringatkan Para Pengguna Bitcoin
Bank Indonesia (BI) kembali memperingatkan bahaya dan risiko kepada para pengguna uang virtual (virtual currency) seperti bitcoin.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman mengatakan, uang virtual termasuk bitcoin tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia.
"Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No 7 tahun 2011 tentang Mata Uang," kata dia di Jakarta, Sabtu, 13 Januari 2018.
Dalam UU menyebutkan, mata uang adalah uang yang dikeluarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan rupiah.
Dengan demikian, ditegaskan Agusman, pemilikan mata uang virtual sangat berisiko dan sarat akan spekulasi karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab, tidak terdapat administrator resmi, tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga.
Risiko lainnya, yakni nilai perdagangan sangat fluktuatif sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan (bubble) serta rawan digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme, sehingga dapat memengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat.
"Oleh karena itu, Bank Indonesia memperingatkan kepada seluruh pihak agar tidak menjual, membeli atau memperdagangkan virtual currency," tegas dia.
Bank Indonesia juga mengingatkan, sebagai otoritas sistem pembayaran, Bank Indonesia melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran (prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara kliring, penyelenggara penyelesaian akhir, penerbit, acquirer, payment gateway, penyelenggara dompet elektronik, penyelenggara transfer dana) dan penyelenggara teknologi finansial di Indonesia baik bank dan lembaga selain bank untuk memproses transaksi pembayaran dengan uang virtual.
Ini sebagaimana diatur dalam PBI 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan dalam PBI 19/12/PBI/2017​ tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
"Bank Indonesia sebagai otoritas di bidang moneter, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran senantiasa berkomitmen menjaga stabilitas sistem keuangan, perlindungan konsumen dan mencegah praktik-praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme," tutup Agusman.
Advertisement