BI Bandingkan Utang Luar Negeri RI dan Jepang, Begini Penjelasannya

Kepala Perwakilan BI Banten angkat suara terkait posisi utang luar negeri Indonesia yang mencapai Rp 4.907,42 triliun.

oleh Yandhi Deslatama diperbarui 17 Apr 2018, 14:50 WIB
Diterbitkan 17 Apr 2018, 14:50 WIB
Dolar AS
Teller menghitung lembaran mata uang dolar AS (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Banten - Utang Indonesia kerap dibandingkan dengan negara lain. Utang pemerintah, misalnya sudah menembus lebih dari Rp 4.000 triliun dengan rasio utang di kisaran 29 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sementara utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 4.907,42 triliun per akhir Februari ini. 

Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Banten sekaligus Mantan Analis Senior pada Kantor Perwakilan BI di Tokyo, Jepang Rahmat Hernowo menjelaskan, proses pengelolaan utang Indonesia dengan Jepang. Negeri Sakura ini memiliki rasio utangnya mencapai 250 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun Indonesia, hanya sebesar 30 persen dari PDB.

"Undang-undang (UU Keuangan Negara) mengatakan rasio utang maksimal 60 persen dari PDB. Ada istilah primary balance (keseimbangan primer), apakah penerimaan bulan itu bisa menutupi utang itu," kata Rahmat saat ditemui di kantornya, Banten, Selasa (17/04/2018).

Menurutnya, posisi utang luar negeri Indonesia tercatat mencapai US$ 356,23 miliar atau setara dengan Rp 4.907,42 triliun hingga Februari 2018. Utang luar negeri per akhir Februari tersebut tumbuh sebesar 9,5 persen (yoy), melambat dibanding bulan sebelumnya sebesar 10,4 persen (yoy).

Utang ini terdiri dari utang luar negeri pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 181,4 miliar (Rp 2.498 triliun), serta utang swasta US$ 174,8 miliar (Rp 2.408 triliun). Porsi utang luar negeri pemerintah tercatat mencapai US$ 177,85 miliar. Ini terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki oleh non-residen sebesar US$ 121,5 miliar dan pinjaman kreditur asing sebesar US$ 56,3 miliar.

Sementara, utang Bank Indonesia sebesar US$ 3,54 miliar. Total utang ini tercatat turun dibanding bulan sebelumnya yang mencapai US$ 183,39 miliar.

"Di Jepang, mekanismenya hampir sama, saat mengajukan APBN, harus disetujui oleh DPR-nya di sana," terangnya.

Utang luar negeri pemerintah pada akhir Februari 2018 lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya, terutama karena penurunan kepemilikan asing pada SBN domestik sebesar US$ 3 miliar.

Sementara itu, biaya utang luar negeri pemerintah dikatakan Rahmat semakin rendah seiring dengan meningkatnya kepercayaan investor terhadap Indonesia. Didukung membaiknya fundamental perekonomian dan peringkat utang Indonesia.

Sedangkan, porsi utang swasta tercatat sebesar US$ 174,83 miliar. Utang luar negeri swasta juga terbagi menjadi utang lembaga keuangan dan lembaga non-keuangan. Secara tahunan, pertumbuhan utang luar negeri sektor keuangan tercatat 5,1 persen pada Februari 2018, melambat dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 6,7 persen.

 

Selanjutnya

Dolar AS
Dolar AS (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sementara itu, pertumbuhan utang luar negeri sektor industri pengolahan, sektor LGA, dan sektor pertambangan meningkat dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Pangsa utang luar negeri sektor keuangan, industri pengolahan, listrik, gas, dan air bersih (LGA), serta pertambangan terhadap total utang luar negeri swasta mencapai 72,2 persen, relatif sama dengan pangsa pada periode sebelumnya.

PDB Indonesia,pada akhir Februari 2018, tercatat stabil di kisaran 34 persen. Rasio tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan rata-rata negara peers.

Rahmat mengaku, utang Indonesia lebih kecil jika dibandingkan dengan negara G-20. Amerika Serikat, defisit anggaran mencapai 6,7 persen, Jepang 6,4 persen, Inggris 6,2 persen, dan Brasil 4,3 persen dari PDB. 

Utang negara Jepang mencapai US$ 11.813 miliar di 2018, sedangkan pendapatan per kapitanya US$ 40 ribu. Setiap warga Jepang menanggung utang US$ 80 ribu. Sementara pendapatan per kapita AS US$ 57 ribu, setiap warga negara menanggung utang US$ 60 ribu.

"Keseimbangan primer kita masih negatif sejak 2011. Mulai di-switch 2014. Jadi waktu itu, APBN kita besar disubsidi. Sama Bu Sri Mulyani, harga BBM dinaikkan. Nanti terasanya 10 tahun kemudian," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya