YLKI: Gojek dan Grab Tak Boleh Tentukan Tarif Bersama

Persaingan antar aplikator terkait dengan penentuan tarif tak boleh dibiarkan karena bisa menuju monopoli.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 27 Apr 2018, 10:43 WIB
Diterbitkan 27 Apr 2018, 10:43 WIB
Ilustrasi Foto Taksi Online (iStockphoto) ​
Ilustrasi Foto Taksi Online (iStockphoto) ​

Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memandang persaingan sehat antar aplikator transportasi online menjadi salah satu poin penting untuk dibahas. Campur tangan regulator terutama pemerintah diperlukan agar tidak ada pihak dikorbankan dan berdampak buruk kepada banyak pihak.

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, persaingan antar aplikator terkait dengan penentuan tarif tak boleh dibiarkan karena bisa menuju monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

”Seperti praktek kartel. Jadi dua aplikator (Gojek dan Grab) duduk bersama untuk menentukan tarif bersama itu tidak boleh karena itu melanggar undang-undang tersebut,” ucap Tulus dalam keterangan tertulis, Jumat (27/4/2018).

Undang Undang (UU) yang dimaksud adalah UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kartel termasuk di dalamnya.

Jika bukan kartel, yang terjadi saat ini berupa pemberian insentif (termasuk subsidi) jor-joran oleh aplikator kepada mitra pengemudi. Pada saat yang sama, tarif kepada masyarakat ditekan serendah mungkin.

Praktik perang tarif itu juga termasuk persaingan usaha tidak sehat dan cenderung bermotif monopoli. Sebab biasanya ditujukan untuk mematikan pesaing dan berpotensi jangka pendek sehingga bisnis terancam tidak berkelanjutan (sustainable).

”Dalam hal tarif harus ada keadilan tarif untuk driver, aplikator, dan konsumen,” Tulus menegaskan.

 

Pemerintah Tak Siap

Tulus sebelumnya sudah berdiskusi dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pesan KPPU tegas bahwa penentuan tarif jangan sampai terjadi pelanggaran sebagaimana diatur dalam UU Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Ketua Komisi V Fary Djami Francis mengatakan akan memanggil Menteri Perhubungan untuk membahas hal ini.

Menurutnya, pembahasan secara komprehensif perlu dilakukan meskipun belum ada pengakuan secara hukum bahwa ojek bukan alat transportasi publik.

”Tapi kan fakta di lapangan masyarakat membutuhkan itu dan sudah kurang lebih 15 juta trip per hari dari transportasi kendaraan online roda dua,” Fary menegaskan.

Tumbuhnya ojek online, menurutnya, menunjukkan Pemerintah tidak siap dalam hal infrastrutur transportasi. ”Lama-lama orang memilih transportasi yang lebih aman, lebih nyaman. Fakta di lapangan masyarakat memilih ojek online karena door to door,” imbuhnya.

Saat ini, hemat Fary, fasilitas yang tersedia melalui aplikasi online itu lah pilihan terbaik dari masyarakat. ”Itu pun masyarakat yang menyediakan,” imbuhnya. 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya