Selain Tiket, Ini Sumber Lain Pendapatan MRT Jakarta

Sumber pendapatan utama PT MRT Jakarta ialah melalui penjualan tiket dan non-tiket.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 26 Jul 2018, 19:25 WIB
Diterbitkan 26 Jul 2018, 19:25 WIB
Melihat Progres Pembangunan Stasiun MRT Senayan
Pekerja melintas di Stasiun Mass Rapid Transit (MRT) Senayan, Jakarta, Senin (11/6). Progres pembangunan MRT Jakarta Fase I yang menghubungkan Lebak Bulus-Bundaran HI terus menunjukkan perkembangan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta PT MRT Jakarta, pengelola angkutan Mass Rapid Transit (MRT) menyiapkan skenario untuk mendapatkan pendapatan selain dari pembelian tiket, agar keuangan perusahaan bisa berjalan baik.

Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandara mengungkapkan, pihaknya mengemban tugas sesuai dengan titah yang diamanatkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yakni membangun infrastruktur, mengoperasikan kereta dan melakukan bisnis.

Dia mengatakan, sumber pendapatan PT MRT Jakarta ialah melalui penjualan tiket dan non-tiket.

"Dalam sistem perkeretaapian itu selalu ada dua sumber revenue, pendapatan tiket dan non-tiket. Dalam pengalaman kita, pendapatan tiket itu enggak bisa membuat perusahaan sustainable. Dalam pengalaman transportasi publik, selalu namanya ticketing itu disubsidi. Pengalaman MRT Jakarta juga akan menunjukan hal itu," jelas dia di kantornya, Jakarta, Kamis (26/7/2018).

Demi membuat perseroan tidak bergantung pada subsidi, perusahaan tengah berdiskusi dengan pemerintah untuk mendapatkan instrumen supaya bisa menjalankan bisnisnya sendiri.

Instrumen tersebut, antara lain menjalin kerjasama dengan sistem telekomunikasi untuk memasang internet di area stasiun MRT.

"Telecommunication system itu revenue untuk kita karena kita menyiapkan infrastruktur, kita minta provider-provider ikut lelang, ikut beauty contest. Kita dapat memberikan penawaran yang tebaik, dengan kualitas dan harga harga yang baik. Pengalaman dulu tidak seperti itu, tapi sekarang kita melihat itu sumber pemasukan," urai dia.

Sumber pendapatan kedua, William melanjutkan, yakni memanfaatkan iklan. Jika ada 173 ribu orang yang lalu-lalang baik di sekitar stasiun maupun dalam MRT, maka itu punya nilai besar tersendiri.

Selanjutnya, keberadaan ritel di tiap stasiun MRT juga dapat mengangkat pemasukan. Dia mengaku telah coba menggandeng Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) untuk mengajak para pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mengisi ritel-ritel milik PT MRT Jakarta.

Terakhir, naming rights atau hak penamaan stasiun oleh suatu korporasi dapat menjadi opsi pamungkas sebagai potensi pendanaan yang bisa diterima pihaknya.

"Naming rights, jadi stasiun-stasiun kita bisa diberi nama sesuai dengan pihak yang mensponsori. Kita akan lakukan lelang untuk itu. Jadi ada konsultan yang mengevaluasi naming rights tiap stasiun beda-beda harganya," tukas dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Naik MRT Jakarta Bisa Pakai Uang Elektronik hingga Aplikasi Mobile

Melihat Progres Pembangunan Stasiun MRT Senayan
Aktivitas pekerja di Stasiun Mass Rapid Transit (MRT) Senayan, Jakarta, Senin (11/6). Hingga saat ini, progres pembangunan MRT Jakarta Fase I sudah mencapai 94,19 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)
Mass Rapid Transit (MRT Jakarta) ditargetkan beroperasi secara komersial pada akhir Maret 2019. Tarif tiket transportasi massal ini sekitar Rp 8.500 per 10 km.
 
Tak harus tunai, pengguna MRT memiliki opsi pembayaran pembelian tiket MRT. Mulai dari uang elektronik (e-money) atau membeli tiket melalui aplikasi mobile.
 
Direktur Operasi dan Pemeliharaan PT MRT Jakarta Agung Wicaksono menyampaikan, besaran tarif tersebut ditetapkan setelah pihaknya mengadakan survei berdasarkan acuan kemauan membayar (willingness to pay) masyarakat.
 
"Kita mengusulkan besaran tarif berdasarkan willingness to pay, besarannya Rp 8.500 per 10 km. Yang kami usulkan itu adalah yang berbasis jarak, supaya atraktif untuk pengguna jarak dekat, dan bisa membuat orang beralih menggunakan angkutan umum," papar dia di kantornya, Jakarta, Kamis (26/7/2018).
 
 
Dengan penetapan tarif berbasis jarak tersebut, dia menghitung, sebanyak 65,5 persen pengguna jalan dapat beralih memakai transportasi publik dan 20 persen bersedia membayar lebih.
 
Dia juga berharap, ongkos Rp 8.500 per 10 km itu mampu menarik sekitar 130 ribu penumpang setiap harinya.
 
Terkait bentuk pembayaran, Agung menyebutkan, tersedia pilihan dalam bentuk tiket MRT e-money maupun pembelian secara QR Code lewat mobile application.
 
Dia mengakuk jika tiket MRT e-money sedang dalam proses perizinan ke Bank Indonesia.
 "Nanti akan ada tiket MRT, itu masih ada proses perizinan yang perlu ditempuh untuk bisa digunakan karena masuknya sebagai uang elektronik. Diharapkan bulan Agustus nanti akan tersedia," jelasnya.
 
Selain tiket MRT, dia mengaku pihaknya sedang menginisiasi pemakaian uang elektronik milik perbankan, untuk dapat dipakai sebagai alat pembayaran tiket seperti di moda angkutan Trans Jakarta.
 
"Kita lagi siapkan central clearing house system. Nantinya ini pada waktu beroperasi orang bisa pakai kartu bank. Paling tidak ada empat bank yang paling banyak dipakai, Bank BUMN dan Bank BCA. Kita juga akan upayakan untuk bank lain seperti Bank DKI dan lain-lain," Agung menuturkan.
 
Sementara itu, Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandara turut menyampaikan, bahwa aplikasi mobile yang diluncurkan dapat melayani pengguna untuk membeli tiket lewat rujukan QR Code.
 
"Tapi enggak cuman ada itu saja. Nanti mobile apps juga akan memungkinkan adanya informasi integrasi antar moda, seperti pemberian informasi dari rumah ke stasiun mau pakai apa. Selain itu juga ada jadwal MRT, termasuk untuk belanja di ritel-ritel yang ada di stasiun," ujar dia.
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya