Liputan6.com, Nusa Dua - CEO Bukalapak, Achmad Zaky, menyatakan kehadiran perusahaan yang berorientasi pada skema gig economy atau memanfaatkan keberadaan tenaga kerja lepas seperti GoJek dan Grab itu bagus untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Akan tetapi, dia mengingatkan negara untuk tidak lupa pada satu kata kunci, yakni inovasi.
"Menurut saya itu bagus. Bagusnya karena dia menciptakan lapangan pekerjaan di masyarakat. Saya cuma bilang, gig economy penting kalau pengen negara maju. Tapi jangan kesampingkan ekonomi yang high value," ujar dia di forum Youth at Work pada pertemuan tahunan IMF-WBG 2018, Nusa Dua, Bali, Selasa (9/10/2018).
Dia mengatakan kehadiran perusahaan berbasis ekonomi bagus lantaran menciptakan lapangan pekerjaan yang fleksibel secara waktu dan bisa dipakai untuk meraih pendapatan sampingan.
Advertisement
Baca Juga
Namun, Zaky menambahkan, keberadaan perusahaan yang berbasis inovasi akan lebih dibutuhkan negara agar perekonomiannya lebih bisa bertahan lama untuk ke depan.
"Yang gig ini sebenarnya service economy. Kalau pengen Indonesia jadi negara maju, itu ekonomi value added yang innovation based mesti digarap. Jadi jangan hanya melihat gig economy," sambungnya.
Zaky mencontohkan, keberadaan sebuah perusahaan besar yang berbasis inovasi seperti Apple di Amerika Serikat bisa bantu meningkatkan produk domestik bruto (Growth Domestic Product/GDP) Negeri Paman Sam hingga 0,8 persen.
"Kalau kita fokus ke inovasi, itu akan menciptakan value yang lebih banyak. Maksudnya kita ngimpi loh, Indonesia punya kayak Apple begitu, satu saja. Apple itu size-nya segede Indonesia. Jadi kalau Indonesia punya itu satu saja, GDP kita bakal double," urainya.
"Intinya harus bisa menciptakan value-value yang lebih besar. Gig economy penting. Tapi kalau ditanya apakah bisa menciptakan growth economy dua kali lipat dalam waktu 10-20 tahun, itu impossible," pungkas Zaky.
* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.
Produk Lokal Masih Dominan
Sebelumnya, Co-Founder dan Presiden Bukalapak, Fajrin Rasyid, menyatakan jumlah produk lokal di sektor bisnis e-commerce Indonesia saat ini masih lebih banyak dibanding produk impor dari luar negeri.
Untuk mendorong agar pelaku UMKM dalam negeri bisa merambah ke sektor ekspor, ia mengatakan, pelaku e-commerce Indonesia tengah menjajaki kerja sama dengan pihak luar untuk menggenjot produk lokal bermain di pasar global.
"Seperti contoh, Indonesia Eximbank (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia/LPEI) bekerjasama dengan Jumia dari Afrika. Jumia sebagai pemasar di sananya, sehingga merchant-merchant di Bukalapak bisa kerjasama dengan e-commerce asing," terang dia di sela-sela penyelenggaraan IMF-WBG di Sofitel Hotel, Nusa Dua, Bali, Selasa 9 Oktober 2018.
Dia kemudian menegaskan, produk UMKM lokal bisa bersaing di pasar internasional jika posisi dalam negerinya pun sudah kuat. "Adapun cara supaya bisa ngurangin impor salah satunya dengan memperkuat produk lokalnya sendiri," imbuh dia.
Namun begitu, ia coba menengahi anggapan mayoritas produk di pasar e-commerce Indonesia kini lebih dikuasai oleh barang dari luar negeri.
"Ini juga yang suka miskonsepsi, karena beberapa regulator menganggap bahwa e-commerce itu mayoritas asing, barangnya juga impor. Saya enggak tahu itu data dari mana sebenarnya. Kayak contoh di Bukalapak, kita pernah survei sekilas, itu masih lebih banyak barang lokal," urainya.
"Saya enggak tahu seluruh platform, tapi tetap masih lebih banyak yang lokal," dia menambahkan.
Secara perhitungan, dia menyebutkan, 60 persen pasaran e-commerce dalam negeri masih dikuasai produk lokal, dan hanya 40 persen yang didatangkan dari luar. Akan tetapi, ia melanjutkan, produsen yang ikut langsung berperan di pasaran online saat ini jumlahnya cenderung masih sedikit.
"Untuk yang lokal ini cenderung masih sedikit prosentase yang produsen. Jadi banyak juga yang reseller, tapi reseller barang lokal, kayak jualan sambel atau jualan kerajinan lokal," kata Fajrin.
Lebih lanjut, Fajrin menerangkan, pelaku di pasar e-commerce Indonesia bisa diklasifikasikan ke dalam tiga jenis. Pertama yakni reseller barang impor, lalu reseller barang lokal, serta produsen langsung.
"Ini (produsen langsung) memang masih sedikit. Kalau ngomongin jumlah, berapa jumlahnya, mungkin baru sekitar 10-20 persen," papar dia.
Oleh karena itu, ia mengajak pemerintah selaku pembuat regulator untuk coba mengedepankan peran reseller lokal tersebut.
"Karena reseller lokal ini merupakan sesuatu yang mungkin bagus juga buat pemerintah, karena dia memberdayakan produsen lokal. Dengan adanya reseller lokal ini, produsen lokal omzetnya juga bisa bertambah," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement