Harga Minyak Sawit Terancam Anjlok, Pemerintah Diminta Terus Proaktif

Kebijakan pemerintah yang proaktif terus dinantikan untuk menolong harga minyak sawit.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 06 Des 2018, 20:23 WIB
Diterbitkan 06 Des 2018, 20:23 WIB
20160308-Ilustrasi-Kelapa-Sawit-iStockphoto
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak sawit sedang terancam terus menurun. Pemerintah pun diajak lebih proaktif karena besarnya kepentingan ekonomi di sektor kelapa sawit.

Menurut laporan Moody's Investors Service, terdapat tiga risiko yang bisa merugikan pendapatan penghasil minyak sawit selama 12-18 bulan ke depan, yaitu naiknya inventory levels minyak sawit, tarif/restriksi tambahan dari negara pengimpor CPO, dan harga kedelai yang makin melemah.

Salah satu langkah proaktif pemerintah adalah melalui kebijakan pemakaian bahan bakar jenis solar yang dicampur minyak sawit atau biodiesel. Langkah itu mendapat respons positif dari analis korporat Moody's Investors Service.

"B20 adalah satu contoh bagaimana pemerintah mencoba membantu sektor tersebut," ujar Maisam Hasnain, Analis Moody's Investors Service di acara Inside ASEAN - Spotlight on Indonesia, di Jakarta, Kamis (6/12/2018)

"Saya pikir respons pemerintah sudah proaktif. Malaysia pun turut menerapkan kebijakan B7-B10," lanjut Maisam.

Minyak sawit sendiri sedang menjadi isu akibat Uni Eropa yang ingin melarang minyak kelapa sawit dalam bahan bakar kendaraan (biodiesel) atas dasar melindungi lingkungan. Organisasi pecinta alam, seperti Greenpeace, turut menuding minyak sawit merusak hutan hujan Indonesia.

Pihak perusahaan minyak sawit pun menyebut upaya demikian merusak citra minyak sawit Indonesia dan menyebut sawit Indonesia telah mengikuti prinsip minyak sawit berkelanjutan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Pemerintah pun telah melakukan lobi-lobi ke negara-negara Eropa sebagai respons terhadap pelarangan sawit.

Kasus Aktivis Greenpeace

20160304-Kelapa Sawit-istock
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Belum lama ini, beberapa aktivis Greenpeace ditangkap setelah mereka membentangkan spanduk bertuliskan "Save Our Rainforests" dan "Drop Dirty Palm Oil" di kapal bernama Stolt Tenacity pada 17 November 2018.

Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Benny Soetrisno mengatakan, aksi penghadangan ini akan memberikan dampak negatif terhadap ekspor sawit Indonesia.

"Negara harus berpihak kepada minyak sawit yang berada dalam ancaman. Karena selama ini, negara merasakan keuntungan dari penerimaan devisa negara," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin, 19 November 2018.

Komoditas sawit berkontribusi besar bagi devisa negara sebesar sumber devisa utama dengan capaian sebesar USD 22,97 miliar atau Rp 318 triliun pada 2017. Dampak positifnya adalah neraca dagang nonmigas surplus sebesar USD 11,83 miliar.

Benny menyebutkan kemampuan sawit untuk menutup defisit neraca perdagangan sangatlah penting bagi pemerintah. Oleh sebab itu, perlu keberpihakan pemerintahan untuk memberikan tindakan tegas kepada organisasi semacam itu.

"Aksi Greenpeace terlalu lama dibiarkan. Akibatnya seperti sekarang, ekspor sawit dihambat masuk Eropa. Untuk itu, Indonesia bisa mengikuti kebijakan India yang membekukan Greenpeace," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya