OJK Tuntut Pelaku Fintech P2P Lending Genjot Kualitas

OJK mendesak pihak penyelenggara untuk meningkatkan kualitas dan pemahaman terkait regulasi fintech P2P lending.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 06 Mar 2019, 16:45 WIB
Diterbitkan 06 Mar 2019, 16:45 WIB
Ilustrasi Fintech
Ilustrasi Fintech. Dok: edgeverve.com

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, sektor industri Fintech Peer to Peer (P2P) Lending atau pendanaan online di Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk terus bertumbuh.

Oleh karena itu, OJK mendesak pihak penyelenggara terdiri dari pemegang saham, komisaris dan direksi untuk meningkatkan kualitas dan pemahaman terkait regulasi fintech lending di Indonesia.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi menyatakan, kesiapan sumber daya manusia (SDM) merupakan penilaian terpenting sebelum memberi perizinan usaha kepada perusahaan Fintech Lending.

"Ini yang terpenting, kesiapan sumber daya manusia dan karakternya. Dengan demikian kami berharap penyelenggara bisa punya standar kompetensi minimal terkait pemahaman apa itu Fintech Peer to Peer Lending di Indonesia yang berbeda dengan negara lain," imbuhnya di Jakarta, Rabu (6/3/2019).

Dia mengatakan, OJK hingga saat ini masih terus membuka perizinan usaha bagi pelaku Fintech Lending di Indonesia. Dengan syarat, calon penyelenggara harus memiliki teknologi platform digital yang laik mengudara secara online.

"Yakinkan juga kepada kami, pelaku Fintech Peer to Peer Lending seperti pemegang saham, komisaris dan direksinya ini adalah orang-orang yang berkarakter baik, dan juga punya pemahaman terhadap kerangka hukum," tegasnya.

Berkaca pada krisis moneter 1997/1998, ia melanjutkan, yang 30-40 persennya disebabkan lantaran faktor ekonomi. "Sisanya, antara 60-70 persen karena tindak gegabah dari pemegang saham, komisaris dan direksi," pungkasnya.

 

 

Perkembangan Industri Perbankan dan Fintech Belum Sejalan

20161110-Kompetisi-Startup-Fintech-AY5
Sebuah iklan saat event penyelenggaraan Finspire di Jakarta, Rabu (9/11). Finspire ini diselenggarakan dalam 2 aktivitas yaitu Finspire frontrunner dan Finspire summit yang diikuti oleh 32 startup di bidang fintech. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, seiring berkembangnya zaman, Industri financial Technology (fintech) kian gencar diperkenalkan ke berbagai pihak. Tidak hanya konsumen, namun juga ke industri perbankan. Industri fintech akan lakukan kerjas ama dengan industri perbankan untuk menciptakan ekosistem pembayaran yang lebih efisien.

Meski begitu, kerja sama ini dinilai masih memerlukan diskusi yang lebih lanjut terutama dari pihak perbankan. Hal tersebut disampaikan Rico Usthavia Frans, Direktur Teknologi Informasi dan Operasi Bank Mandiri dalam Seminar Nasional Kolaborasi Industri Perbankan dan Fintech dalam Sistem Pembayaran di Jakarta.

"Ada beberapa aspek (antara fintech dengan industri perbankan) yang kita nilai tidak ekuilibrium, misalnya dari sisi revenue. Bank masih konvensional ambil revenue mengais dari biaya admin, biaya transfer, dan sebagainya. Sedang fintech justru malah kasih cashback saat bayar listrik," ungkapnya di Jakarta, 21 Februari 2019.

Rico juga menilai selama ini perbankan tidak pernah mendapat komisi dari transaksi yang dihasilkan fintech, padahal konsumennya berasal dari nasabah perbankan.

Dari sisi rekrutmen pegawai, Bank masih merekrut dengan latar belakang pendidikan dan keahlian teknis tertentu. Sementara fintech merekrut semua kalangan dengan fokus soft skillseperti kepemimpinan, manajemen tim dan lainnya.

Rico menyatakan, nanti akan ada konvergensi dari seluruh aspek itu jika fintech berkolaborasi dengan industri perbankan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya