Donald Trump dan Xi Jinping Kembali Sepakat Memulai Negosiasi Perdagangan

Amerika Serikat dan China sepakat untuk memulai kembali negosiasi perdagangan yang macet bulan lalu.

oleh Agustina Melani diperbarui 29 Jun 2019, 12:55 WIB
Diterbitkan 29 Jun 2019, 12:55 WIB
20170406-Donald Trump Bertemu dengan Xi Jinping di Florida-AP
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sebelum melakukan pertemuan di resor Mar a Lago, Florida, Kamis (6/4). Isu perdagangan dan Korea Utara diperkirakan menjadi isu utama pembahasan kedua pemimpin negara tersebut. (AP Photo/Alex Brandon)

Liputan6.com, Osaka - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk gencatan senjata lain dalam perang dagang yang menghilangkan ancaman langsung yang membayangi ekonomi global.

Donald Trump dan Xi Jinping sepakat untuk memulai kembali negosiasi perdagangan yang macet bulan lalu. Selain itu, AS sepakat tidak mengenakan tarif baru pada barang-barang China. Trump menuturkan, AS akan merilis pernyataan sekitar pukul 3.30 malam waktu setempat.

"Kami memiliki pertemuan yang sangat baik dengan Presiden China Xi Jinping. Bagus sekali. Saya mengatakan sangat baik. Sebagus yang akan terjadi.Kami membahas banyak hal dan kami segera kembali ke jalur semula," ujar Trump kepada wartawan di sela-sela pertemuan KTT G20 di Osaka, Jepang, seperti dikutip dari laman yahoofinance, Sabtu (29/6/2019).

Kembalinya ke meja perundingan mengakhiri kebuntuan dalam enam minggu ini telah membuat perusahaan dan investor gelisah. Dengan kembalinya perundingan sementara waktu mengurangi kekhawatiran kalau dua ekonomi terbesar di dunia itu menuju perang dingin baru.

Akan tetapi, tidak jelas apakah kedua negara tersebut dapat mengatasi perbedaan yang sebabkan runtuhnya gencatan sebelumnya yang dicapai pada G20 tahun lalu.

Kekhawatiran buntunya negosiasi perdagangan telah mendorong investor untuk bertaruh pada pelonggaran bank sentral dan mendorong aset ke investasi safe haven. Imbal hasil surat berharga jatuh ke level terendah dan yen Jepang menguat. Sementara itu, dolar AS tergelincir termasuk terhadap yuan, mata uang China.

Sejak pembicaraan gagal pada 10 Mei, Trump telah menaikkan tarif USD 200 miliar barang China menjadi 25 persen dari 10 persen. Akhir-akhir ini, ia mengindikasikan pengenaan tarif 10 persen untuk barang impor dari China senilai USD 300 miliar termasuk telepon pintar dan pakaian anak-anak.

Kendala besar lainnya pemerintahan AS yang rilis daftar hitam Huawei Technologies pada bulan lalu atas keamanan nasional yang mengancam memutus akses perusahaan tersebut ke teknologi AS. Pemerintah AS telah melobi sekutu di seluruh dunia untuk tidak membeli peralatan Huawei yang menurut AS dapat digunakan untuk mata-mata China.

Sementara itu, Xi menghabiskan banyak dari pertemuan puncak untuk menjanjikan membuka ekonomi China dan mengecam meski tidak menyebut AS karena serangan terhadap sistem perdagangan global.

Dalam sambutannya kepada para pemimpin Afrika, Xi mengambil langkah tidak begitu halus pada kebijakan perdagangan Trump dan memperingatkan terhadap praktik intimidasi.

Ia juga menambahkan kalau setiap upaya untuk menempatkan kepentingan diri sendiri terlebih dahulu dan melemahkan orang tidak akan memenangkan popularitas apa pun.

Xi juga mengatakan, kalau G20 harus menjunjung tinggi kelengkapan dan vitalitas rantai pasokan global. China bersikeras kalau Huawei harus dihapus dari daftar hitam berdasarkan kesepakatan apapu.

Sedangkan Donald Trump menegaskan mengenai pengurangan defisit perdagangan AS dan China yang mencapai rekor USD 419 miliar pada tahun lalu. Akan tetapi, fokus pemerintahannya telah bergeser untuk membatasi akses China ke inovasi AS. Pemerintah China pun menanggapi dengan retorika yang semakin keras.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Laju Rupiah Positif, BI Tetap Waspadai Perang Dagang

Nilai Tukar Rupiah Menguat Atas Dolar
Teller tengah menghitung mata uang rupiah di penukaran uang di Jakarta, Junat (23/11). Nilai tukar dolar AS terpantau terus melemah terhadap rupiah hingga ke level Rp 14.504. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Dody Budi Waluyo menyebutkan, nilai tukar rupiah terus menunjukan perkembangan positif dalam beberapa waktu terakhir ini.

Mengutip Bloomberg, Jumat, 28 Juni 2019, rupiah dibuka di 14.139 per dolar AS, tak berbeda jauh dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.140 per dolar AS.

Namun, menjelang Jumat siang, rupiah melemah ke 14.144 per dolar AS. Berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di 14.141 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan patokan sebelumnya yang ada di angka 14.180 per dolar AS.

"Perkembangan rupiah cukup baik," kata Dodi saat ditemui di Mesjid BI, Jakarta, Jumat, 28 Juni 2019.

Kendati demikian, dia menyebutkan bank sentral akan terus memantau kondisi dan perkembangan ekonomi global yang dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas nilai tukar.

"Perkembangan di global tentunya kita menunggu sampai akhir Juni nanti ya," ujarnya.

Dia mengungkapkan, semua pihak saat ini masih menanti skenario perang dagang antara AS dengan China yang masih tegang dan belum menemui titik terang.

"Tentunya harapannya masih 50:50 masih melihat skenario trade war ini tapi tentunya juga perkembangam terkahir positifnya sudah muncul kemungkinan akan ada deal yang mengarah ke penyelesaian," ujar dia.

Sejak pagi hingga siang hari ini, nilai tukar rupiah bergerak di kisaran 14.132 per dolar AS hingga 14.145 per dolar AS. Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah masih menguat 1,71 per dolar AS.

 

Usai Pemilu, Menko Darmin Waspadai Gejolak Ekonomi Global

Perdagangan Perdana Bursa 2019
Menko Bidang Perekonomian, Darmin Nasution memberi sambutan saat membuka perdagangan saham perdana 2019 di Gedung BEI, Jakarta, Rabu (2/1). IHSG menguat 10,4 poin atau 0,16 persen ke 6.204 pada pembukaan perdagangan saham 2019. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan hal yang perlu dicermati usai gelaran pemilihan umum (pemilu) adalah kondisi ekonomi global.

"Kalau pertanyaannya adalah setelah pemilu barangkali pertama-tama tentu saja kita tidak mungkin tidak menghitung ekonomi global," kata dia dalam acara DBS Asian Insight Seminar 2019 Indonesia : Looking Ahead Post Election, di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu, 26 Juni 2019.

Darmin mengungkapkan, kondisi ekonomi global saat ini masih belum menunjukan arah perbaikan. Kondisi tersebut telah berlangsung sejak awal tahun lalu.

Namun, dia mengatakan saat ini normalisasi kebijakan di Amerika Serikat (AS) sudah mulai mereda sehingga dipastikan tekanan pada tahun ini tidak akan sekuat tahun lalu.

"Kebijakan moneter di AS kelihatan mulai mereda tahun ini sehingga kita bisa saja mengharapkan arah terbalik dari tahun lalu terhadap kebijakan suku bunga moneter," ujarnya.

"Kemudian yang kedua adalah bahwa drunken master masih terjadi, begitu banyak hal dan kejutan," Darmin menambahkan.

Kendati demikian, dia menyatakan saat ini negara-negara di dunia sudah mulai terbiasa dengan pola gejolak tersebut. Sehingga meskipun belum pulih seutuhnya, dampak dari gejolak ekonomi global tidak akan separah tahun lalu. Seperti diketahui, pada 2018 Indonesia mendapat tekanan cukup kuat sehingga nilai tukar semat merosot tajam ke level 16.000 per dolar AS.

"Dunia sudah mulai terbiasa dengan gaya yang terjadi di pentas ekonomi dunia. Sehingga walaupun situasi ekonomi global masih belum pulih, yang artinya pertumbuhan perkiraanya masih terus melambat," ujarnya.

Selanjutnya, trade war atau perang dagang yang masih berlangsung dan terus memanas pun dipandang dapat memberi dampak positif.

"Melihat positifnya saja bahwa situasi perang dagang ini mestinya bisa memberikan hal-hal positif bagi kita walaupun sejauh ini belum terlihat, tetapi apapun ini adalah potensi-potensi hal yang positif," ujarnya.

Selain itu, di tengah situasi ekonomi global dan ketegangan perdagangan, ekonomi Indonesia disebut masih tetap kuat. Terbukti dari angka pertumbuhan ekonomi yang meski tidak tinggi yaitu 5,17 persen namun tetap mengalami kenaikan dari sebelumnya.

"Saya tidak berani mengatakn mencapai kinerja yang baik sekali, tetapi paling tidak pertumbuhannya masih naik. Meningkat sedikit-sedikit, tapi tidak stagnan apalagi turun," ujar dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya