RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Jembatani Keinginan Pengusaha dan Buruh

Buruh menolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja karena dianggap merugikan.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Jan 2020, 16:50 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2020, 16:50 WIB
Wawancara Kepala Staf Presiden Moeldoko Dengan KLY
Kepala Staf Presiden Moeldoko saat wawancara dengan KLY di Jakarta, Rabu (16/1). Dalam wawancara tersebut Moeldoko memaparkan kinerja kerja pemerintahan Jokowi-JK hingga saat ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Buruh yang tergabung dalam aliansi gerakan buruh bersama rakyat (Gebrak) melakukan aksi unjuk rasa pada Senin ini. Mereka menolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja karena dianggap merugikan.

Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko menegaskan pemerintah menampung aspirasi para buruh. Tak hanya buruh, pemerintah juga menerima masukan dari pengusaha.

“Dalam sidang kabinet paripurna Presiden menyatakan supaya dari pemerintah sungguh-sungguh mendegarkan aspirasi-aspirasi teman-teman sekalian (buruh maupun pengusaha),” kata Moeldoko di Gedung Bina Graha, Jakarta, Senin (20/1/2020). 

Moeldoko berjanji akan mencari jalan tengah antara tuntutan buruh dengan permintaan pengusaha. Jalan tengah tersebut nantinya diakomodir dalam Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja.

“Intinya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dibangun untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya dan menata kembali perpajakan. Nanti Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bisa menjadi sesuatu yang lebih memberikan kepastian, lebih memberikan kenyamanan, lebih bisa diterima oleh semua pihak,” jelasnya.

Mantan Panglima TNI ini berpendapat penolakan buruh terhadap RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja lantaran belum memahami betul isi draft tersebut. Termasuk anggapan Omnibus Law menghapus pesangon dan cuti melahirkan bagi pekerja.

“Cuti hamil katanya dihilangkan, padahal kata Pak Airlangga (Meko Perekonomian) tidak. Maka yang lebih penting lagi nanti ada pertemuan bisa akomodir semua pihak,” ucapnya.

Reporter: Titin Supriatin

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Tolak Omnibus Law, Buruh Kepung Gedung DPR

20160929-Demo-Buruh-Jakarta-FF
Ribuan buruh dari berbagai elemen melakukan longmarch menuju depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (29/9). Dalam aksinya mereka menolak Tax Amnesty serta menaikan upah minumum provinsi (UMP) sebesar Rp650 ribu per bulan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, ribuan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) hari ini kembali mendatangi DPR RI untuk menyampaikan penolakannya terhadap omnibus law dan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Senin (20/1/2020).

Tidak hanya di Jakarta, gerakan penolakan, serentak juga dilakukan di berbagai provinsi lain di Indonesia. Misalnya Aceh, Bengkulu, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Gorontalo.

Presiden KSPI yang juga Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Said Iqbal mengatakan, pada dasarnya kaum buruh setuju dengan investasi. Namun demikian, kaum buruh dipastikan akan melakukan perlawanan, jika demi investasi kesejahteraan dan masa depan kaum buruh dikorbankan.

Said Iqbal khawatir, keberadaan omnibus law cipta lapangan kerja akan merugikan kaum buruh. Hal ini jika dalam praktiknya nanti, omnibus law menghilangkan upah minimum, menghilangkan pesangon, membebaskan buruh kontrak dan outsoursing (fleksibilitas pasar kerja), mempermudah masuknya TKA, menghilangkan jaminan sosial, dan menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.

"Jika pemerintah serius ingin menghilangkan hambatan investasi dalam rangka penciptaan lapangan kerja, maka pemerintah jangan keliru menjadikan masalah upah, pesangon, dan hubungan kerja menjadi hambatan investasi," kata Said Iqbal dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (20/1/2020).

Menurut World Economic Forum, kata Said Iqbal, dua hambatan utama investor enggan datang ke Indonesia adalah masalah korupsi dan inefisiensi birokrasi. "Jadi jangan menyasar masalah ketenagakerjaan," tegasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya