BPK Buka-bukaan Soal Kondisi Utang Pemerintah

BPK berpendapat penarikan utang sebenarnya harus dilakukan dengan mempertimbangkan metodologi keseimbangan antara penerimaan dan belanja.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Mei 2020, 18:15 WIB
Diterbitkan 11 Mei 2020, 18:15 WIB
20151229-Gedung BPK RI-YR
Gedung BPK RI. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua BPK, Agus Joko Pramono buka bukaan mengenai pengelolaan utang pemerintah yang terus membengkak dari tahun ke tahun. Menurutnya, penarikan utang sebenarnya harus dilakukan dengan mempertimbangkan metodologi keseimbangan antara penerimaan dan belanja.

"Terkait dengan pembaginya, income, itu sebetulnya metodologi saja. Kalau kita punya utang, yang penting itu adalah kemampuan membayar dan itu tidak diukur sekarang, tetapi diukur fiscal sustainability-nya," ujarnya dalam Video Conference, Jakarta, Senin (11/5).

"Jadi itu perdefinisi adalah kita meng-asses kemampuan, solvabilitas, kemampuan jangka panjang agar kita tidak terhambat dan membuat utang tersebut menjadi ancaman di dalam melakukan belanja di masa mendatang," tambahnya.

Dalam temuan BPK, kata Agus, beberapa hal yang menjadi sorotan adalah penerimaan dari sisi tax ratio. Di mana, tax ratio masih tergolong kecil padahal masih banyak wajib pajak melalui NPWP yang seharusnya bisa dipantau oleh pemerintah dalam mendukung penerimaan negara.

"PDB kita terus meningkat, tetapi tax ratio kita secara konsisten menurun. Itu artinya ada poin atau angka PDB yang belum diproteks dan termitigasi teksnya, ini yang disampaikan BPK dalam temuannya. Ini merupakan bagian jangka panjang bagi pemerintah untuk memitigasi risiko agar terus menggali pendapatan yang belum termitigasi guna bisa ditarik pajaknya. Karena banyak sekali di lapangan NPWP yang dorman itu banyak sekali," paparnya.

 

Saran BPK

Anggota BPK periode 2019-2024
Lima Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2019-2024, Pius Lustrilanang, Daniel Lumban Tobing, Hendra Susanto, Ahsanul Qosasi dan Harry Azhar Azis berfoto bersama usai pengambilan sumpah jabatan di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (17/10/2019). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kemudian, pemerintah juga disarankan memilih utang dengan tingkat bunga yang bisa dipertanggungjawabkan untuk masa depan. Sebab, temuan BPK masih ada utang dengan bunga atau rate terlalu tinggi.

"Untuk itu maka diasses positioning utang kita. Agar tidak terjadi ancaman di masa mendatang, maka ada temuan LHP BPK, risiko pengelolaan tidak efektif, risiko rate ketinggian dan sebagainya. Kemudian juga bagaimana dengan konteks penerimaan yang cenderung kurang atau belanja yang lebih besar," tandasnya.

Anggun P. Situmorang

Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya