Skema Kemitraan Plasma Kelapa Sawit Dinilai Rugikan Petani

Temuan Serikat Petani Kebun Sawit (SPKS) menyebut hampir semua petani sawit mengeluhkan skema kemitraan plasma.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Agu 2020, 20:30 WIB
Diterbitkan 11 Agu 2020, 20:30 WIB
harga-cpo-140219c.jpg
Sawit

Liputan6.com, Jakarta - Dalam temuan Serikat Petani Kebun Sawit (SPKS) hampir semua petani sawit mengeluhkan skema kemitraan plasma. Mereka beranggapan skema kemitraan plasma tidak adil dan merugikan.

Petani di Sanggau, Sekadau, Sintang dan Ketapang, Kalimantan Barat mengeluhkan tentang rendahnya pendapatan mereka. Hasil jual kelapa sawit tidak sesuai dengan perjanjian di awal pembukaan lahan. Luas lahan juga cenderung tidak sesuai atau kurang dari 20 persen yang disepakati di awal.

"Di Kalimantan Barat, para petani mengeluhkan tentang rendahnya pendapatan mereka yang tidak sesuai dengan janji perusahaan," kata Manager Program dan Kemitraan SPKS, Tirza Pandelaki dalam Media Briefing bertajuk Suntikan Dana ke Perusahaan Bukan Solusi untuk Biodiesel, Jakarta, Selasa (11/8).

Sampai saat ini, Tirza melanjutkan, petani masih terkendala dengan harga TBS yang cenderung lebih rendah. Pemerintah memang telah membuat patokan harga, namun yang terjadi dilapangan penentuan harga ditentukan oleh pabrik, tengkulak dan loading ram.

Gembar-gembor pemerintah yang bakal mengekspor CPO dan meningkatkan kesejahteraan petani pun tak pernah dirasakan oleh petani kecil. Sebaliknya harga CPO sangat fluktuatif dan dampaknya cepat terasa terhadap harga TBS petani.

"Belum ada patokan harga yang melindungi petani saat fluktuasi," kata dia.

Tirza menduga hal ini lantaran belum ada kerja sama antara petani dengan perusahaan. Begitu juga dengan belum adanya regulasi yang jelas untuk mengatur rantai pasok dari petani ke industri biodiesel. "Belum ada kontrak kerja sama kelembagaan tani dan perusahaan biodiesel," kata dia.

Selain itu perusahaan korporasi juga tidak menggunakan kelapa sawit dari petani. Mereka hanya menggunakan bahan baku yang berasal dari kebun sendiri. Padahal pemerintah telah mewajibkan perusahaan agar menerima pasokan dari kebun masyarakat.

"Hal itu tidak terimplementasi, tidak ada pengawasan dan penilaian soal itu dari pemerintah, sehingga kecenderungannya terjadi monopoli penyediaan bahan baku," kata dia.

Indikator penghitungan keuntungan petani dari industri biodiesel tidak sesuai. Sebab berbagai pernyataan pemerintah hanya bersifat klaim dan tidak sesuai dengan logika ekonomi yang cenderung meleset di lapangan. Seharusnya pemerintah dalam hal ini kementerian dan Pertamina sebagai perusahaan BUMN harus bisa memastikan hal tersebut.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Petani Keluhkan Dominasi Korporasi di Insentif Perkebunan Kelapa Sawit

cpo-ekspor130527c.jpg
Sawit

Alokasi penggunaan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPD-PKS) tahun 2019 sebesar Rp 33,6 triliun. Penggunaan dana ini berasal dari pungutan ekspor sawit dari selama empat tahun dari tahun 2015. Dalam realisasinya, dana ini 89 persen digunakan untuk insentif biodiesel senilai Rp Rp 30,2 triliun.

Lalu 8 sebanyak 8 persen atau Rp 2,7 triliun untuk program peningkatan sumber daya manusia, 0,85 persen atau Rp 284,4 miliar untuk pengembangan dan penelitian dan sebanyak 0,22 persen atau Rp 1,73 miliar untuk sarana dan prasarana. Sementara itu untuk promosi kemitraan sebesar Rp 208, 5 miliar dan pengembangan SDM sebesar Rp 140,67 persen.

Manager Program dan Kemitraan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Tirza Pandelaki menilai penggunaan dari berbagai paket kebijakan ini hanya diberikan kepada korporasi besar. Padahal dana ini seharusnya bisa dinikmati petani kelapa sawit swadaya (mandiri).

"Implementasi paket-paket kebijakan yang berlaku bukanlah bagi petani, tetapi korporasi," kata Tirza dalam Media Briefing bertajuk Suntikan Dana ke Perusahaan Bukan Solusi untuk Biodiesel, Jakarta, Selasa (11/8).

Padahal berdasarkan peraturan perundang-undangan dan UU Perkebunan dana tersebut seharusnya memiliki prioritas. Dimulai dari dari peningkatan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan, sarana dan prasarana. Terakhir dalam bentuk insentif biodiesel.

Tirza membeberkan, dana BPD-PKS yang dihimpun sejak tahun 2015-2019 sebesar Rp 51 triliun. Dana ini berasal dari pungutan ekspor sawit sebesar Rp 47,28 triliun dan pengelolaan dana sebesar Rp 3,7 triliun.

Dia melanjutkan berdasarkan Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian pada tahun 2020 luas lahan sawit yang ada saat ini yakni 16,381 juta hektar. Terdiri dari perkebunan sawit milik swasta seluas 8,08 juta hektar, milik negara seluas 715 ribu hektar dan petani kecil seluas 6,78 juta.

Luas lahan milik petani kecil pun terbagi menjadi dua. Sebanyak 64 persen lahan dimiliki oleh petani swadaya dan 36 persen dimiliki petani plasma.

"Dari jumlah petani swadaya yang ada, seharusnya mereka yang menjadi prioritas dan bukan terkonsentrasi pada segelintir konglomerat sawit," kata dia.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Kemendag Bentuk Tim Kampanye Positif Sawit Indonesia di Dunia

Ilustrasi CPO 5 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi CPO 5 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Kementerian Perdagangan (Kemendag) siap mendukung industri sawit nasional. Salah satunya dengan cara menangkal kampanye negatif terhadap sawit di dunia internasional.

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan, diperlukan sinergi yang lebih kuat antara stakeholder sawit Indonesia di tengah berbagai macam serangan khususnya dari Uni Eropa. Menurut prediksi Kemendag, serangan itu akan makin sistematis dengan menyasar semua aspek. Pada waktu yang lalu, serangan terhadap sawit berkisar pada dampak ekologis dan sosiologis.

"Saat ini, serangan mulai menyasar aspek yang lebih pribadi yaitu, aspek Kesehatan. Kampanye negatif yang dimunculkan adalah produk sawit menyebabkan berbagai macam penyakit. Meskipun saat ini belum ada larangan medis terhadap produk sawit, tetapi kampanye kencang terhadap hal itu sudah lama dirasakan," katanya, Kamis (6/8/2020).

Pernyataan itu disampaikan saat menerima audiensi pengusaha sawit secara virtual, Rabu (5/8). Dalam acara itu, hadir sejumlah pejabat lintas kementerian untuk membahas tantangan industri sawit di masa depan.

Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menghendaki implementasi yang lebih konkret. Menurutnya, perlu ada sebuah tim khusus yang melibatkan pemerintah dan pengusaha untuk isu-isu sawit.

“Kita sudah lama tahu masalahnya ada di mana. Yang kita perlukan sekarang adalah solusi konkret. Kita ingin yang implementatif dan terarah. Mari bentuk satu tim khusus dimana kita bisa bicara dan merencanakan apa yang harus kita lakukan dan bagaimana melakukannya," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya