Liputan6.com, Jakarta - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan pihaknya bersama 32 federasi dan konfederasi serikat pekerja yang lain masih akan melanjutkan mogok kerja nasional di hari ketiga, Kamis (8/10/2020).
Kata dia, aksi ini dilakukan untuk mendesak agar pemerintah mencabut UU Cipta Kerja yang beberapa waktu lalu sudah disahkan. Seperti diketahui, KSPI mempermasalahkan pembahasan omnibus law yang terburu-buru dan seperti "kejar tayang".
Di samping itu, ada berbagai permasalahan mendasar yang dinilai merugikan hak kaum buruh dan berdampak pada kepastian kerja, kepastian pendapatan, dan jaminan sosial.
Advertisement
Berdasarkan catatan KSPI, aksi di hari kedua semakin membesar dengan jumlah elemen yang ikut turun ke jalan makin bertambah. Beberapa daerah yang melakukan pergerakan besar, antara lain terjadi di Tangerang, Jakarta, Bogor, Karawang, Bekasi, Purwakarta, Bandung, Subang, Lampung, Gresik, Surabaya, Batam, sebagainya.
"Tanggal 8 Oktober 2020 adalah hari terakhir mogok kerja nasional KSPI dan KSPSI AGN serta 32 federasi serikat pekerja, sesuai hasil kesepakatan dan instruksi organisasi yang sudah diedarkan beberapa waktu lalu," kata Said di Jakarta, Kamis (8/10/2020).
Menurut Said, mogok kerja nasional di hari ketiga ini tetap dilakukan di kabupaten/kota masing-masing, serta dilakukan secara damai, tertib, dan tidak anarkis.
"Masih sesuai rencana semula, lokasi aksi mogok nasional adalah di sekitar lingkungan pabrik atau daerah sekitarnya yang ditentukan pimpinan cabang setempat," pungkasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
DPR: UU Cipta Kerja Beri Kepastian bagi Buruh dan Pengusaha
DPR RI telah meresmikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) pada Senin, 5 Oktober 2020 kemarin. Pengesahan tersebut diwarnai berbagai penolakan dari kaum buruh, yang menilai kehadiran aturan baru ini bakal semakin mengecilkan posisi tenaga kerja di Tanah Air.
Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas justru menganggap, UU Cipta Kerja dapat menghadirkan kemudahan bagi pihak pekerja maupun pemberi kerja mulai dari tingkat UMKM hingga korporasi besar.
"itu memberi kepastian bagi kedua belah pihak, buruh dan pengusaha," kata Supratman kepada Liputan6.com, Selasa (6/10/2020).
Bertolak belakang dengan pernyataan tersebut, Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja (KSP) BUMN Achmad Yunus menilai, ada beberapa pasal di RUU Cipta Kerja yang bakal memberatkan para buruh dan pekerja.
Ketidakjelasan ini semakin menguat lantaran kelompok serikat pekerja yang dibawahinya saat ini belum mendapatkan lampiran sah aturan baru tersebut.
"Cluster ketenagakerjaan memberikan ketidakpastian hukum, banyak catatan dan saya tidak hapal betul pasal-pasalnya, karena sedang tidak pegang dokumennya," ujar Yunus kepada Liputan6.com.
Secara garis besar, KSP BUMN disebutnya sepakat dengan kelompok buruh/pekerja lainnya, bahwa UU Cipta Kerja bakal melemahkan posisi tenaga kerja, dan justru memperkuat perusahaan pemberi kerja.
"Intinya, kami sependapat dengan organisasi yamg lain bahwa disahkannya RUU ini menjadi UU mengkonfirmasi bahwa demokrasi kita dibangun dari, untuk dan oleh kapitalisme," tegasnya.Â
Advertisement
Pemerintah Klaim Banyak Perizinan Dipangkas dalam UU Cipta Kerja
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu menyebut Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja secara keseluruhan didominasi terkait dengan masalah perizinan.
Dengan disahkannya Undang-Undang ini pun pemerintah telah memangkas seluruh perizinan untuk membangun usaha.
"Nah itu sebenernya yang mendominasi Omnibus Law Cipta Kerja ini. Di mana kita menyederhanakan proses untuk membangun usaha. Untuk memulai start up," kata dia dalam diskusi FMB di Jakarta, Selasa (6/10/2020).
Pemerintah tak ingin, generasi milenial yang memiliki ide, menghasilkan produk dan membuat perusahaan rintisan atau start up, dan membuka lapangan kerja baru bagi orang lain, tetapi sulit untuk mengurusi izin.
"Ini problem pertama dari Omnibus Law Cipta Kerja ini. Bahwa memang karut marut perizinan yang harus diluruskan, benerin," kata dia.
Kemudian di dalam UU Cipta Kerja juga memuat mengenai masalah pajak. Menurutnya masalah pajak masoh menjadi sorotan dan paling jelek di mata EODB. Itu tidak terlepas dari sulitnya birokrasi yang dilakukan pemerintah.
"Orang mau bayar pajak kok masih merasa sulit. Itu kan aneh persepsinya. Kita pengennya orang-orang bayar pajak sesimpel mungkin, sepreditable mungkin. Inilah kemudian dibuat semakin banyak kepastian dalam konteks ini, yang juga di Omnibus Law ini," jelas dia.
Dwi Aditya Putra
Merdeka.com Â