DPR: UU Cipta Kerja Beri Kepastian bagi Buruh dan Pengusaha

UU Cipta Kerja dinilai dapat menghadirkan kemudahan bagi pihak pekerja maupun pemberi kerja mulai dari tingkat UMKM hingga korporasi besar.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 06 Okt 2020, 20:30 WIB
Diterbitkan 06 Okt 2020, 20:30 WIB
Ribuan Buruh Geruduk Gedung DPR Tolak Omnibus Law
Ribuan buruh melakukan aksi di depan Gedung DPR RI, Jakrta, Selasa (25/8/2020). Aksi tersebut menolak draft omnibus law RUU Cipta Kerja yang diserahkan pemerintah kepada DPR. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta DPR RI telah meresmikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) pada Senin, 5 Oktober 2020 kemarin. Pengesahan tersebut diwarnai berbagai penolakan dari kaum buruh, yang menilai kehadiran aturan baru ini bakal semakin mengecilkan posisi tenaga kerja di Tanah Air.

Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas justru menganggap, UU Cipta Kerja dapat menghadirkan kemudahan bagi pihak pekerja maupun pemberi kerja mulai dari tingkat UMKM hingga korporasi besar.

"itu memberi kepastian bagi kedua belah pihak, buruh dan pengusaha," kata Supratman kepada Liputan6.com, Selasa (6/10/2020).

Bertolak belakang dengan pernyataan tersebut, Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja (KSP) BUMN Achmad Yunus menilai, ada beberapa pasal di RUU Cipta Kerja yang bakal memberatkan para buruh dan pekerja.

Ketidakjelasan ini semakin menguat lantaran kelompok serikat pekerja yang dibawahinya saat ini belum mendapatkan lampiran sah aturan baru tersebut.

"Cluster ketenagakerjaan memberikan ketidakpastian hukum, banyak catatan dan saya tidak hapal betul pasal-pasalnya, karena sedang tidak pegang dokumennya," ujar Yunus kepada Liputan6.com.

Secara garis besar, KSP BUMN disebutnya sepakat dengan kelompok buruh/pekerja lainnya, bahwa UU Cipta Kerja bakal melemahkan posisi tenaga kerja, dan justru memperkuat perusahaan pemberi kerja.

"Intinya, kami sependapat dengan organisasi yamg lain bahwa disahkannya RUU ini menjadi UU mengkonfirmasi bahwa demokrasi kita dibangun dari, untuk dan oleh kapitalisme," tegasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pemerintah Klaim Banyak Perizinan Dipangkas dalam UU Cipta Kerja

FOTO: Aksi Ratusan Buruh Jakarta Tolak UU Cipta Kerja
Massa dari berbagai serikat buruh menggelar aksi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di kawasan JIEP, Jakarta, Selasa (6/10/2020). Ratusan buruh berpawai sambil berorasi mengajak pekerja turun ke jalan menolak UU Omnibus Lawa Cipta Kerja yang dinilai merugikan buruh. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu menyebut Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja secara keseluruhan didominasi terkait dengan masalah perizinan.

Dengan disahkannya Undang-Undang ini pun pemerintah telah memangkas seluruh perizinan untuk membangun usaha.

"Nah itu sebenernya yang mendominasi Omnibus Law Cipta Kerja ini. Di mana kita menyederhanakan proses untuk membangun usaha. Untuk memulai start up," kata dia dalam diskusi FMB di Jakarta, Selasa (6/10/2020).

Pemerintah tak ingin, generasi milenial yang memiliki ide, menghasilkan produk dan membuat perusahaan rintisan atau start up, dan membuka lapangan kerja baru bagi orang lain, tetapi sulit untuk mengurusi izin.

"Ini problem pertama dari Omnibus Law Cipta Kerja ini. Bahwa memang karut marut perizinan yang harus diluruskan, benerin," kata dia.

Kemudian di dalam UU Cipta Kerja juga memuat mengenai masalah pajak. Menurutnya masalah pajak masoh menjadi sorotan dan paling jelek di mata EODB. Itu tidak terlepas dari sulitnya birokrasi yang dilakukan pemerintah.

"Orang mau bayar pajak kok masih merasa sulit. Itu kan aneh persepsinya. Kita pengennya orang-orang bayar pajak sesimpel mungkin, sepreditable mungkin. Inilah kemudian dibuat semakin banyak kepastian dalam konteks ini, yang juga di Omnibus Law ini," jelas dia.

Dwi Aditya Putra

Merdeka.com 

UU Cipta Kerja Dinilai Produk Demokrasi Kapitalisme

FOTO: Tolak UU Cipta Kerja, Buruh di Cikarang Mogok Kerja
Sejumlah buruh melakukan aksi mogok kerja di kawasan MM 2100, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (6/10/2020). Aksi mogok kerja dari tanggal 6-8 Oktober tersebut akibat pengesahan RUU Cipta Kerja oleh DPR dan Pemerintah RI. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Konfederasi Serikat Pekerja (KSP) BUMN mencibir terbentuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) oleh DPR RI pada Senin, 5 Oktober 2020 kemarin.

Sekretaris Jenderal KSP BUMN Achmad Yunus menyatakan, ada beberapa pasal di RUU Cipta Kerja yang dinilai memberatkan para buruh dan pekerja. Ketidakjelasan ini semakin menguat lantaran kelompok serikat pekerja yang dibawahinya saat ini belum mendapatkan lampiran sah aturan baru tersebut.

"Cluster ketenagakerjaan memberikan ketidakpastian hukum, banyak catatan dan saya tidak hapal betul pasal-pasalnya, karena sedang tidak pegang dokumennya," ujar Yunus kepada Liputan6.com, Senin (6/10/2020).

Secara garis besar, KSP BUMN disebutnya sepakat dengan kelompok buruh/pekerja lainnya, bahwa UU Cipta Kerja bakal melemahkan posisi tenaga kerja, dan justru memperkuat perusahaan pemberi kerja.

"Intinya, kami sependapat dengan organisasi yamg lain bahwa disahkannya RUU ini menjadi UU mengkonfirmasi bahwa demokrasi kita dibangun dari, untuk dan oleh kapitalisme," tegasnya.

Namun secara sikap, Yunus mengatakan, KSP BUMN memilih untuk tidak ikut melakukan aksi mogok kerja nasional sebagai bentuk protes terhadap pengesahan UU Cipta Kerja.

"Cuman khusus pekerja BUMN kita tidak boleh ikut mogok seperti yang lain. Kekecewaan dan penolakan itu telah terwakili," ungkap Yunus. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya