Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki mengatakan sulitnya akses pembiayaan bagi pelaku usaha di bidang pertanian disebabkan ketidakpastian pendapatan. Sehingga dikhawatirkan terjadi kredit macet atau gagal bayar.
"Selama ini bank tidak mau biayai on farm-nya karena pasti marketnya ini tidak sanggup membayar," kata Teten di Jakarta, Selasa (15/12/2020).
Baca Juga
Maka perlu ada penghela pembiayaan agar para petani bisa mendapatkan permodalan. Salah satunya dengan menghidupkan kembali koperasi sebagai penyalur pembiayaan kepada petani.
Advertisement
Sehingga pembiayaan dari perbankan atau instansi lainnya bisa melalui koperasi sebagai penghela pembiayaan.
"Harus ada pembiayaan buat penghela ekonomi, ini harus ada, ini bisa jadi penghela, karena bisa menyerap dari petani," kata dia.
Keberadaan penghela ekonomi atau koperasi bisa menyempurnakan rantai pasok perdagangan. Sehingga pembiaya bisa masuk dan memberikan pembiayaan. Namun saat ini peran penghela ekonomi ini masih belum ada.
"Para penghela ini belum ada, kalau KUR ini kan masih tinggi juga, paling tinggi 500 juta untuk 10 hektar. Koperasi petani dikasih 500 juta buat satu petak juga enggak cukup untuk membeli produk," tutur dia.
Anisyah Al Faqir
Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Strategi Menteri Teten Agar Produk UMKM Bersaing dengan Industri Besar
Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki mengatakan produk yang dibuat UMKM tidak bisa bersaing dengan produk buatan pabrikan. Produksi yang dilakukan secara massal membuat produk UMKM tidak bersaing secara langsung.
"UMKMÂ tidak bisa bersaing dengan mass production karena kalah efisien dan rantai perdagangan sudah ada sistemnya," kata Teten di Jakarta, Selasa (15/12).
Meski begitu, saat ini produk buatan tangan (handmade) tengah menjadi tren. Apalagi customized product atau produk yang dipesan konsumen dengan cara memilih sendiri desainnya ini menjadi keunggulan produk UMKM.
"Walaupun jangan dilupakan customized product juga keunggulan UMKM," kata Teten.
Dalam beberapa kali kunjungan ke daerah Teten kerap mendapati pengrajin kain tenun. Mereka menjual kain dengan harga Rp 750 ribu dengan pengerjaan minimal selama 2 pekan.
Teten memperkirakan satu bulan pengrajin kain tenun bisa menghasilkan Rp 1,5 juta. Sementara upah minimum di daerah tersebut sekitar Rp 2,4 juta. Model usaha ini menurutnya tidak cocok karena justru merugi bukan menguntungkan.
"Kalau seperti ini kan tidak akan ada kesejahteraan. Dulu buat ini untuk keperluan pribadi memang tidak rugi. Maka ini harus diperbaiki karena kalau diteruskan ini bisa jadi kemiskinan," kata dia.
Untuk itu Teten mendorong agar pelaku usaha UMKM khususnya yang bergerak di kebudayaan juga bisa menciptakan produk unggulan. Bagi para pelaku usaha kain tenun misalnya, produk yang dihasilkan jangan hanya berupa kain saja. Melainkan dibuat kembali menjadi produk yang bernilai tambah.
"Kita harus berani ke high end produk," kata Teten.
Advertisement