Liputan6.com, Jakarta Pandemi covid-19 belum usai, industri aviasi pun terkena imbasnya. Salah satunya adalah perusahaan penerbangan asal Hong Kong, Cathay Pacific Airways mengumumkan kerugian USD 2,8 miliar setara Rp 40 triliun sepanjang 2020.
Penurunan pendapatan ini bahkan lebih buruk dari prediksi Bloomberg sekitar USD 2,6 miliar atau sekitar Rp 37 triliun. Dikutip dari South China Morning Post, Rabu, (10/3/2021), kerugian ini menjadi yang terburuk dalam sejarah industri aviasi.
Pemimpin Cathay Pacific, Patrick Healy bahkan menyebut tahun 2020 sebagai tahun 'paling menantang' yang dialami perusahaan selama 70 tahun beroperasi. Ini sekaligus memberikan alarm ketidakpastian bisnis di masa depan bahkan pasca pandemi.
"Kondisi pasar tetap menantang dan dinamis...belum jelas bagaimana pandemi dan dampaknya akan berkembang selama beberapa bulan mendatang.” ungkapnya dalam sebuah pernyataan.
Sekalipun beberapa negara mulai melonggarkan aturan saat memasuki akhir tahun, laporan keuangan perusahaan justru menunjukkan kerugian meningkat memasuki paruh kedua 2020.
Kerugian membengkak USD 1,5 miliar setara Rp 21,4 triliun. Padahal pada paruh pertama, perusahaan sudah menangguk rugi hingga USD 1,3 miliar setara Rp 18,6 triliun.
Nilai tersebut jauh lebih buruk jika dibanding kinerja tahun 2019, yang mana perusahaan berhasil mencetak keuntungan USD 216 juta setara Rp 3 triliun.
Meski begitu, meningkatnya biaya pengiriman kargo akibat tingginya permintaan namun jumlah pesawat yang terbatas, berdampak positif terhadap pemasukan perusahaan. Ini membantu Cathay Pacific menghindari kerugian yang lebih lebar.
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kemelut Keuangan Perusahaan
Masalah keuangan yang dialami Cathay Pacific bukan kali ini terjadi. Perusahaan makin seret mendapat pemasukan semenjak kerusuhan anti-pemerintahan terjadi pada tahun 2019 di Hong Kong. Belun pulih sepenuhnya, hantaman pandemi di awal 2020 memperparah krisis perusahaan.
Seperti banyak perusahaan aviasi di negara lain yang juga dihantui ancaman kebangkrutan, Cathay Pacific mengajukan bailout sebesar lebih dari USD 5 miliar setara Rp 71,5 triliun kepada pemerintah Hong Kong dan pemegang saham.
Pada bulan Oktober lalu, perusahaan juga terpaksa merumahkan sekitar 5.900 karyawannya untuk membendung kerugian. Termasuk menghentikan operasional perusahaan regionalnya.
Hasil minus tersebut disebabkan sedikitnya penumpang akibat pandemi yang menutup akses mobilisasi internasional, yang merupakan basis pendapatan utama perusahaan. Dalam kondisi normal, rata-rata penumpang Cathay perhari mencapai 100 ribu orang. Namun, saat pandemi jumlahnya berkurang 99 persen.
Sekalipun Hong Kong telah memasuki fase pemulihan dengan penyuntikan vaksin kepada lebih dari 110 ribu penduduk, Cathay Pacific diproyeksikan masih menghadapi beban berat di tahun 2021. Terlebih nasib perusahaan juga sangat bergantung terhadap kinerja vaksinasi di banyak negara bukan hanya Hong Kong.
"Cathay juga berada dalam situasi yang sulit karena perlu memantau penyerapan vaksin di banyak pasar (negara),karena kita semua tahu bahwa mereka tidak dapat bergantung pada satu pasar domestik," sebut Luya You, analis transportasi internasional BOCOM.
Pada periode Januari 2021 saja, pesawat-pesawat Cathay bahkan mengangkut kurang dari 1.000 penumpang, lebih buruk dari bulan Juni tahun lalu.
Reporter: Abdul Azis Said
Advertisement
Lanjutkan Membaca ↓