HEADLINE: Tarif PPN 10 Persen Bakal Naik, Apa Dampaknya?

Pemerintah berencana menaikan tarif PPN untuk memperkuat APBN. Namun rencana tersebut dinilai tidak bijaksana jika dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19.

oleh Arthur GideonMaulandy Rizky Bayu KencanaAthika RahmaTira Santia diperbarui 31 Mei 2021, 13:40 WIB
Diterbitkan 28 Mei 2021, 00:00 WIB
Pajak
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah menyiapkan reformasi besar-besaran di sektor perpajakan. Langkah tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Terdapat sejumlah perubahan besar soal perpajakan dalam RUU ini. Salah satunya mengenai kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN). Saat ini pemerintah mematok besaran tarif PPN di angka 10 persen.

“Tarif PPN pemerintah masih lakukan pembahasan dan dikaitkan dengan UU yang akan diajukan ke DPR terkait dengan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dan ini seluruhnya akan dibahas oleh pemerintah nanti pada waktunya akan disampaikan,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di awal Mei 2021.

Untuk diketahui PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi dalam negeri oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, Badan, dan Pemerintah. PPN bersifat objektif, tidak kumulatif, dan merupakan pajak tidak langsung.

Soal kenaikan PPN ini, pemerintah akan melakukan pembahasan intensif dengan DPR. Semua keputusan nantinya akan disesuaikan dengan memperhatikan kondisi dan situasi perekonomian terkini.

"Pemerintah tentu memperhatikan situasi perekonomian nasional. Selain PPN, itu juga akan ada pajak penjualan. Sehingga ada hal yang diatur dan membuat pemerintah mengatur sektor manufaktur, perdagangan dan jasa," papar Airlangga.

Mantan Menteri Perindustrian tersebut menambahkan, keputusan nantinya akan diterapkan pada waktu yang tepat dengan skenario yang lebih luas.

"Ini akan diberlakukan pada waktu yang tepat dan skenario dibuat lebih luas, artinya tidak kaku seperti yang selama ini diberlakukan," tandasnya.

Dalam kesempatan berbeda, Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan, ruang fiskal harus ditingkatkah di tengah pandemi COvid-19. Dalam kondisi yang sulit, kebutuhan belanja negara meningkat. Namun di sisi lain, penerimaan negara menurun.

Salah satu alternatif yang dikaji untuk meningkatkan ruang fiskal ialah tarif PPN. Tarif PPN memiliki beberapa isu yang masih harus dituntaskan.

Pertama, masih banyak barang dan jasa yang penyerahannya tidak dipungut PPN. Lalu kedua, efektivitas pemungutan PPN di Indonesia masih 60 persen dari total yang seharusnya bisa dipungut. Ketiga, perbandingan antara penerimaan PPN dan PDB hanya 3,62 persen.

Lebih lanjut, saat ini, posisi tarif PPN ialah 10 persen. Ternyata, tarif PPN Indonesia termasuk jajaran terendah di dunia. Menurut data Tax Summary PwC, tarif PPN negara-negara ASEAN cenderung rendah.

Singapura memberlakukan tarif PPN 7 persen, Thailand 7 persen, Laos dan Vietnam 10 persen, Kamboja 10 Persen. Untuk Malaysia, tarif PPN 10 persen namun tarif pajak jasa 6 persen.

Dibandingkan negara seperti Belanda, tarif PPNnya mencapai 21 persen, jelas lebih tinggi. Prancis 20 persen, Italia 22 persen, Inggris 20 persen, Jerman 16 persen, dan Spanyol 21 persen.

Hingga saat ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sendiri belum memberi pembaharuan informasi terkait wacana kenaikan PPN. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Rahayu Puspasari juga enggan memberikan penjelasan detail mengenai seluk beluk wacana kenaikan tarif PPN ini.

"Seperti yang arahan waktu press conference APBN Kita, untuk PPN, nanti ya (pembahasannya), akan dijadwalkan," ujarnya singkat saat dihubungi Liputan6.com.

Infografis Siap-Siap Kenaikan Tarif PPN di 2022. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Siap-Siap Kenaikan Tarif PPN di 2022. (Liputan6.com/Trieyasni)

Tidak di 2021

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani sendiri memastikan bahwa kenaikan PPN tidak akan dilakukan di tahun ini atau 2021. Untuk tahun ini pemerintah masih fokus pada pemulihan ekonomi nasional.

"Jadi pasti tidak hari ini, tidak tahun ini tiba-tiba naik PPN itu tidak pasti," ucap Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, pada Senin 24 Mei 2021.

Bendahara Negara itu menjelaskan, pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) kelima atau UU Nomor tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang di dalamnya terdapat rencana kenaikan tarif PPN tidak serta merta bisa langsung diaplikasikan dalam waktu dekat juga.

"Mengenai wacana PPN nanti kita tuh kalaupun mau bicarakan tentang KUP dan lain lain kan tidak berarti hari ini akan bisa berjalan, jadi kami sendiri sangat aware mengenai fokus kita hari ini pada pemulihan ekonomi," ungkap Sri Mulyani.

Di sisi lain, Sri Mulyani menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN dan umumnya RUU KUP merupakan langkah jangka menengah dari pihaknya untuk kembali membuat APBN lebih sehat. Oleh karena itu, dia meminta masyarakat untuk membedakan fokus pemerintah hari ini dan di masa depan.

"Jadi mungkin dibedakan antara fokus kita hari ini ingin memulihkan ekonomi dan kita tetap commit terhadap itu dengan medium term kita yang kepengen tax kita sehat, sustainable, dan adil tentu saja serta kemudian APBN kita sehat juga," pungkas Sri Mulyani.

 

Memperbaiki APBN

Ilustrasi Pajak
Ilustrasi Pajak (iStockphoto)​

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad memahami, kenaikan tarif PPN ini menjadi jalan keluar bagi pemerintah melihat adanya beberapa kebutuhan. Kenaikan ini juga untuk merespons defisit anggaran dan total utang pemerintah pada 2021 yang melebar.

"Ada satu kebutuhan pemerintah melihat bahwa defisit anggaran sudah besar sekali dan total utang pemerintah itu sampai 2021 tembus di atas 41 dari PDB bahkan hampir 42 persen dari PDB," ujarnya.

Menurutnya, kondisi utang pemerintah tersebut menjadi suatu persoalan serius karena sudah melewati batas psikologis dari 30 persen terhadap PDB. Sementara pemerintah harus menurunkan lagi ke angka 30 persen pada 2023 mendatang.

"Karena itu salah satunya memang bagaimana mengembalikan defisit ini ke tingkatan yang normal," ujarnya.

Tauhid mengatakan, memang ada dua hal untuk mengembalikan posisi defisit anggaran dan total utang pemerintah kembali bisa kembali normal. Pertama adalah bagaimana penerimaan negara bisa ditingkatkan yakni lewat kenaikan tarif PPN dan kedua mengurangi belanja negara itu sendiri.

"Namun kelihatannya pemerintah belum yakin bahwa belanja negara dalam rangka perbaikan ekonomi cukup tinggi dan satu-satunya jalan adalah melalui penerimaan negara," tegasnya.

Sedangkan Ekonom Indef Bhima Yudhistira terang-terangan tidak setuju jika pemerintah menaikkan tarif PPN. Pasalnya masih ada opsi lain untuk menaikkan penerimaan negara, salah satunya melalui evaluasi belanja pajak.

“Tidak setuju dinaikkan tarif PPN, masih banyak opsi lain untuk menaikan penerimaan negara salah satunya lewat evaluasi belanja pajak khususnya yang diberikan ke korporasi, hingga pemajakan lebih besar terhadap harta kekayaan kelompok 20 persen pengeluaran paling atas,” kata Bhima kepada Liputan6.com, Kamis (27/5/2021).

Menurutnya, penyesuaian tarif PPN terlalu berisiko bagi seluruh sektor ekonomi. Maka wacana kenaikan tarif PPN punya beberapa implikasi, pertama, harga barang-barang akan mengalami kenaikkan.

“Naiknya harga barang-barang di tengah pemulihan ekonomi akan memukul daya beli masyarakat khususnya kalangan menengah dan bawah. Inflasi tercipta karena PPN akan mempengaruhi harga akhir di tangan konsumen,” ujarnya.

Kemudian, dampak lainnya, sektor ritel omzet bisa turun dan berpengaruh pada tutupnya bisnis yang tidak mampu bersaing di tengah penyesuaian PPN.

“Padahal sektor ritel juga berkaitan dengan sektor lain seperti logistik, pertanian, hingga industri manufaktur. Serapan tenaga kerja juga diperkirakan terpengaruh oleh kebijakan penyesuaian PPN,” kata Bhima.

Padahal, kata Bhima, di negara lain seperti Jerman, Inggris dan Irlandia selama pandemi kebijakan penurunan tarif PPN atau VAT dianggap efektif mempercepat pemulihan daya beli dan konsumsi rumah tangga.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai rencana Pemerintah akan menaikkan tarif PPN di tengah pandemi covid-19 tidaklah produktif.

“Rencananya dinaikkan hingga 15 persen, tapi belum jelas juga. Ada juga wacana PPN tidak merata seperti sekarang, yang jelas ide kenaikan PPN di tengah pandemi ini tidak produktif,” kata Piter kepada Liputan6.com, Kamis (27/5/2021).

Menurutnya, Indonesia masih dalam proses pemulihan ekonomi. Masih diperlukan berbagai upaya untuk mendorong pemulihan ekonomi di tengah pandemi covid-19, misalnya seperti kelonggaran pajak.

“Kita masih dalam proses pemulihan ekonomi, dimana diperlukan dorongan termasuk dalam bentuk kelonggaran pajak. Seharusnya justru PPN diturunkan seperti pelonggaran PPnBM kendaraan bermotor dan PPN perumahan,” ujarnya.

Piter berpendapat, kenaikkan PPN bisa dinaikkan jika keadaan perekonomian sudah pulih seutuhnya. Namun sebaliknya, lebih baik untuk saat ini Piter menyarankan agar Pemerintah tidak menaikkan PPN.

“Kenaikan PPN hanya bisa dilakukan ketika perekonomian benar benar sudah pulih,” imbuhnya.

 

PHK Massal

Ilustrasi Pajak
Ilustrasi Pajak (iStockphoto)​

Penolakan kenaikan tarif PPN juga dilontarkan oleh kalangan pengusaha. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan, rencana kenaikan tarif PPN jika jadi diimplementasikan akan kembali meredupkan bisnis dan tingkat penjualan di mal.

Padahal, Alphon mengatakan, kegiatan operasi bisnis di pusat perbelanjaan dan mal saat ini baru saja menunjukan tanda pemulihan pasca tersungkur selama pandemi Covid-19.

"Diperkirakan tingkat penjualan yang sekarang sudah mulai bergerak akan kembali turun," ujar Alphon kepada Liputan6.com, Kamis (28/5/2021).

Namun begitu, ia mengatakan, dirinya belum bisa membuat perhitungan berapa skala penurunan angka penjualan di mal akibat kenaikan tarif PPN tersebut.

Mengantisipasi hal tersebut, Alphon lantas menghimbau pemerintah agar rencana kenaikan tarif PPN ditunda terlebih dahulu. Pasalnya, perekonomian saat ini disebutnya belum seutuhnya pulih, bahkan masih dalam kondisi resesi ekonomi.

"Kenaikan tarif PPN akan memberatkan masyarakat, padahal daya beli masyarakat juga masih dalam kondisi terpuruk," ungkapnya.

Menurut dia, pihak konsumen yang justru bakal menanggung dan membayar tarif PPN yang naik ini. Di sisi lain, daya beli masyarakat masih belum pulih sehingga akan mengakibatkan terhambatnya konsumsi belanja masyarakat.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pun ikut mengkritisi rencana kenaikan tarif PPN. Kebijakan tersebut bahkan dianggap dapat berdampak terhadap penurunan angka volume penjualan hingga aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Meski tak jadi diimplementasikan tahun ini, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno menilai, tarif PPN yang naik dari 10 persen jelas akan menekan angka penjualan lantaran akibat adanya penurunan daya beli masyarakat.

"Kalau PPN dinaikan akan mendongkrak harga jual sekaligus menurunkan volume penjualan, serta akan berimbas pada volume produksi menurun," kata Benny kepada Liputan6.com, Selasa (18/5/2021).

Namun begitu, ia belum bisa melakukan perhitungan kenaikan tarif PPN ini berpotensi menurunkan angka penjualan hingga seberapa besar.

Kendati begitu, Benny menuturkan, buntut dari tarif PPN yang melonjak tersebut secara tidak langsung bakal berdampak terhadap aksi PHK oleh sejumlah perusahaan di bidang perdagangan.

"Imbas pada volume produksi menurun atau utilisasi kapasitas terpasang turun, mengakibatkan pengurangan tenaga kerja," terang Benny.

Itu sebabnya, dia menilai inisiasi kenaikan tarif PPN menjadi 15 persen sangat belum tepat untuk dikemukakan dalam masa pemulihan pasca pandemi saat ini, meskipun baru sebatas wacana.

Apa kata DPR?

Pajak
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Anis Byarwati, menilai wacana pemerintah menaikkan tarif PPN berdampak menurunkan daya beli masyarakat dan membahayakan industri retail.

“Kenaikan PPN dampak kontraksinya bisa ke segala lapisan masyarakat, khususnya masyarakat menengah bawah. Dampak yang utama adalah menghantam daya beli masyarakat dan membahayakan industri retail,” kata Anis kepada Liputan6.com, Kamis (27/5/2021).

Dia bilang, menaikkan tarif PPN dalam kondisi daya beli masyarakat yang tertekan akibat pandemi dan krisis ekonomi bukanlah merupakan kebijakan yang tepat. Dia pun mempertanyakan bukti keberpihakan pemerintah terhadap rakyat.

“Terus terang saya merasa aneh dengan kebijakan pemerintah ini, ketika ekonomi sedang berjuang tertatih tatih utk bangkit dan pulih, tetapi malah dihantam dengan rencana menaikkan PPN,” ujarnya.

Menurutnya, Pemerintah jangan mencari jalan pintas untuk memenuhi target pajak. Jangan sampai Pemerintah kembali “mencederai rasa keadilan”. Padahal beberapa waktu lalu Pemerintah baru saja menurunkan tarif PPh Badan, obral insentif pajak.

“Bahkan pembebasan PPnBM yang hanya menyasar kalangan tertentu yang notabene golongan menengah ke atas,” imbuhnya.

Tetapi disaat yang sama Pemerintah berencana menaikkan tarif PPN yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari karena menyangkut konsumsi barang dan jasa masyarakat secara keseluruhan.

Anis menerangkan, PPN konteksnya pajak yang paling dekat dengan masyarakat, misalnya beli minum, beli baju, belanja di supermarket atau restoran, semua ada PPN-nya dan itu semua dibebankan oleh penjual kepada konsumen akhir.

“Jangan sampai kenaikan PPN ini menjadi beban baru bagi konsumen dan dunia usaha secara luas. Jangan menambah beban masyarakat yang sedang susah dengan kenaikan PPN. Bahkan lebih bagus lagi kalau pemerintah menurunkan PPN dari 10 persen ke 5 persen. Ini bisa membantu menaikkan daya beli,” pungkasnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya