Liputan6.com, Jakarta Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menyatakan, rencana penarikan pajak pertambahan nilai (PPN) pendidikan belum tentu akan dikenai pada semua objek, termasuk sekolah dan perguruan tinggi swasta (PTS).
Dia menyebutkan, institusi pendidikan negeri mulai dari PAUD, SD-SMA hingga universitas negeri termasuk lembaga nirlaba, sehingga pembiayaannya ditanggung pemerintah dan semustinya tidak kena PPN.
"Kalau sekolah negeri itu kan enggak ada objeknya, kan gratis. Kalau gratis yang mau dikenai apa, kan enggak ada," ujar Yustinus kepada Liputan6.com, Jumat (11/6/2021).
Advertisement
Yustinus mengatakan, objek pajak atas tarif PPN pendidikan saat ini masih harus terus diklasifikasikan. Pemerintah disebutnya ingin menyasar objek pajak yang tepat, dalam hal ini produk atau jasa yang dikonsumsi oleh kelompok atas dan mampu.
"Seperti PTS kenapa tidak? Kalau memang PTS-nya yang diberikan untuk kelompok menengah bawah, lalu dia memberi subsidi juga, itu kan tidak mungkin dikenai PPN pendidikan," terangnya
"Kalau misalnya perguruan tinggi yang mengutip biaya kuliah sangat mahal itu wajar kalau pengguna jasanya dipungut PPN," dia menambahkan.
Sebagai contoh, ia lantas mengutip perguruan tinggi negeri (PTN) yang menyediakan jalur khusus atau kelas internasional dengan harga komersial. Menurut dia, akan terasa adil jika mahasiswa yang mengambil jalur tersebut dikenai PPN pendidikan, sementara masyarakat yang dari jalur biasa seperti SBMPTN bisa terbebas.
"Jadi PPN itu harus jadi instrumen untuk pemerataan
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sembako Bakal Kena PPN, Ekonom: Itu Namanya Bunuh Diri Ekonomi
Pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sejumlah bahan pokok (sembako). Hal ini tertuang dalam Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Mengacu pasal 4A RUU KUP, sembako dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN Hal ini menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak.
Ekonom sekaligus Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengatakan, langkah pengenaan PPN sembakomemiliki beberapa risiko.
"Kenaikan harga pada barang kebutuhan pokok mendorong inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Imbasnya, bukan saja pertumbuhan ekonomi bisa turun, tapi angka kemiskinan bisa naik," ujar Bhima saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (11/6/2021).
Lanjutnya, sebanyak 73 persen kontributor garis kemiskinan berasal dari bahan makanan. Artinya, jika harga pangan naik, tentu jumlah penduduk miskin akan bertambah.
Kemudian, pengawasan PPN pada bahan makanan relatif sulit dibanding barang retail lain dan biaya administrasi pemungutannya menjadi mahal karena sembako termasuk barang yang rantai pasokannya panjang serta berkaitan dengan sektor informal di pertanian.
Bhima juga menilai, rencana ini kontraproduktif dengan upaya untuk memulihkan ekonomi, apalagi kenaikan pajak ini dibarengi rencana pencabutan subsidi listrik, pengurangan bansos dan lainnya.
"Data pangan juga masih bermasalah, terlihat dari sengkarut impor berbagai jenis pangan seperti beras, jagung hingga sapi. Padahal, pemajakan objek pangan butuh data yang balid," ujarnya.
Lebih lanjut, Bhima menyarankan agar pajak untuk bahan pangan dibatalkan karena akan berdampak buruk bagi masyarakat menengah ke bawah.
"Banyak kebijakan pajak lain yang bisa diambil jangan main gampang tarik PPN sembako. Itu namanya bunuh diri ekonomi," tandas Bhima.
Advertisement