Liputan6.com, Jakarta Pemerintah menerbitkan aturan turunan dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Aturan tersebut yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan (PP 50/2022).
PP satu pasal dalam 50/2022 ini menjabarkan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban pajak karbon. Detail implementasi pajak karbon diatur dalam Bab XIII PP No.50/2022 yang mencakup Pasal 69.
Pemerintah mengadopsi implementasi PPN perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) dengan penunjukan pelaku usaha sebagai pemungut pajak.
Advertisement
Dalam Pasal 69 ayat (1) menetapkan implementasi pajak karbon berlaku untuk wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan yang sudah memenuhi syarat objektif dan subjektif sebagai pembayar pajak karbon.
"Orang pribadi atau badan yang memenuhi persyaratan objektif... dan persyaratan subjektif.... atau pemungut pajak karbon termasuk dalam pengertian wajib pajak," tulis Pasal 69 ayat (1) PP No.50/2022 dikutip dari Belasting.id, Rabu (14/12/2022).
Ketentuan pelunasan pajak karbon juga terdiri dari dua saluran. Pertama pajak karbon dilunasi dengan cara dibayar sendiri oleh wajib pajak. Kemudian cara kedua dengan mekanisme pelunasan dengan dipungut oleh pemungut pajak karbon.
Selanjutnya, Pasal 69 ayat (3) PP No.50/2022 menyatakan wajib pajak yang melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon wajib menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tahunan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak karbon.
Namun demikian, pemerintah menetapkan kebijakan pengecualian pelaporan SPT Tahunan pajak karbon untuk wajib pajak dengan kriteria tertentu.
"Wajib pajak yang melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon...dengan kriteria tertentu, dikecualikan dari kewajiban melaporkan Surat Pemberitahuan...," terang Pasal 69 ayat (8) PP No.50/2022.
Petunjuk teknis implementasi pajak karbon akan diatur lebih lanjut dalam regulasi setingkat menteri. Hal tersebut berlaku untuk mekanisme penunjukan wajib pajak sebagai pemungut dan penyetor pajak karbon ke kas negara.
"Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan pemungut Pajak Karbon...dan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan peraturan menteri," ulas Pasal 69 ayat (9) PP No.50/2022.
Pajak Karbon Bisa Dipakai untuk Bansos
Sebelumnya, Pemerintah berencana untuk menerapkan pasar karbon pada 2025 atau tiga tahun ke depan. Penerapan pasar karbon ini penting untuk mencegah perubahan iklim dan membuat bumi lebih nyaman.
Salah satu sisi dalam pasar karbon ini adalah penerapan pajak karbon. Dengan adanya pajak karbon ini bisa meningkatkan pendapatan negara sekaligus menangani masalah lingkungan.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu membuka ruang penggunaan hasil penerimaan pajak karbon untuk belanja non-penanganan masalah lingkungan hidup dan perubahan iklim.
Hasil penerimaan pajak karbon nantinya memiliki banyak manfaat dan saluran belanja. Opsi pertama adalah untuk penanggulangan dampak perubahan iklim.
"Pengenaan pajak karbon memiliki berbagai kemanfaatan, pengurangan emisi gas rumah kaca dari sumber emisi," tulis bahan paparan BKF dikutip dari Belasing.id, Senin (14/11/2022).
Selain itu, penggunaan hasil pungutan pajak karbon setidaknya bisa dimanfaatkan pada 4 saluran alternatif belanja pemerintah.
Pertama, penggunaan pajak karbon untuk menambah dana pembangunan. Kedua, pajak karbon untuk belanja adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Ketiga, penggunaan hasil penerimaan pajak karbon untuk belanja pada investasi ramah lingkungan. Keempat, pajak karbon untuk menambah belanja bansos.
Penerimaan pajak karbon dapat digunakan untuk dukungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam bentuk bantuan sosial.
Advertisement
Pasar Karbon Indonesia Ditargetkan Aktif Mulai 2025
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menargetkan pasar karbon dan pajak karbon berlaku mulai 2025. Langkah ini setali dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan target karbon netral (net zero emission/NZE) pada 2060, atau lebih cepat.
"Salah satu yang dapat diterapkan di awal adalah perdagangan karbon maupun pajak karbon yang ditargetkan akan berfungsi di tahun 2025,” kata Airlangga, Kamis (13/10/2022).
Di sektor energi, pemerintah terus melakukan percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Upaya ini diharapkan bisa mendorong pengembangan green energy ataupun green industry.
Seiring dengan jumlah investor pasar modal yang meningkat, Airlangga berharap investasi berkelanjutan berbasis ESG juga dapat ditingkatkan. Menurut dia, investasi berkelanjutan perlu didorong oleh seluruh stakeholder, baik itu investor maupun dari korporasi.
Airlangga juga mengapresiasi langkah Bursa Efek Indonesia (BEI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan SRO yang terus aktif dalam penerbitan investasi ataupun instrumen berbasis ESG, seperti green bond, reksa dana juga penerbitan indeks ESG. Bahkan OJK juga membuat roadmap tentang keuangan berkelanjutan berbasis taksonomi hijau Indonesia.
“Saya harap arah positif ini terus kita jaga dan bagi korporasi juga mempertimbangkan faktor ESG dan beberapa standar daripada pelaporan itu sudah dimintakan untuk memasukkan komponen ESG di dalamnya,” ujar dia.