HEADLINE: Tarif Cukai Rokok Naik 12 Persen di 2022, Efektif Kurangi Jumlah Perokok?

Pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau atau cukai rokok per 1 Januari 2022 dengan rata-rata kenaikan 12 persen.

oleh Arief Rahman HTira Santia diperbarui 16 Des 2021, 18:28 WIB
Diterbitkan 16 Des 2021, 00:00 WIB
20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Jelang tutup tahun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok 2022. Pengumuman tarif cukai ini memang dinanti banyak pihak, khususnya pelaku industri rokok dan pemerhati kesehatan.

"Hari ini dalam rapat koordinasi dengan para menteri, Presiden Jokowi menyetujui kenaikan cukai rokok rata-rata 12 persen," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers, Jakarta, Senin 13 Desember 2021, lalu.

Rinciannya, untuk tarif cukai rokok pada sigaret kretek mesin (SKM) I naik 13,9 persen menjadi Rp 985 dari yang saat ini Rp 865. Sehingga kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) per bungkus isi 20 batang menjadi Rp 38.100 dari yang sebelumnya Rp 34.020.

Minimal HJE per batang juga naik menjadi Rp 1.905 dari sebelumnya Rp 1.700 per batang.

Cukai rokok pada dolongan SKM IIA dan SKM IIB masing-masing mengalami kenaikan 12,1 persen dan 14,3 persen. Akibatnya tarif cukai keduanya kini sama menjadi Rp 600 dari semula Rp 535 untuk SKM IIA dan Rp 525 untuk SKM IIB.

Harga jual per bungkus isi 20 batang pada golongan SKM IIA turun menjadi Rp 22.800 dari semula Rp 25.500, sedangkan golongan SKM IIB mengalami kenaikan menjadi Rp 22.800 dari semula Rp 20.400.

Jenis rokok golongan sigaret putih mesin (SPM) I mengalami kenaikan tarif cukai 13,9 persen menjadi Rp 1.065 dari semula hanya Rp 935. Hal ini membuat harga jual per bungkus isi 20 menjadi Rp 40.100 dari semula Rp 35.800. Minimal HJE per batang pun menjadi Rp 2.005 dari semula Rp 1.790.

Rokok golongan SPM IIA dan SPM IIB mengalami kenaikan cukai masing-masing 12,4 persen dan 14,4 persen. Tarif keduanya kini menjadi Rp 635 dari semua SPM IIA Rp 565 dan SPM IIB Rp 555. Harga jual ber bungkus ini 20 batang pun kini menjadi Rp 22.700, mengalami penyesuaian dari Rp 29.700 untuk SPM IIA dan Rp 20.300 untuk SPM IIB.

Sementara itu, pemerintah memberikan keberpihakan kepada rokok golongan sigaret kretek tangan (SKT). Kenaikan rokok pada golongan ini tidak lebih dari 5 persen. Namun harga rokok tetap mengalami kenaikan.

"Terjadi kenaikan yang berbeda antara pabrik yang menggunakan mesin dan menggunakan tangan," kata Sri Mulyani.

Golongan SKT IA kenaikan tarif cukai hanya 3,5 persen menjadi Rp 440 dari sebelumnya Rp 1.460. Harga jual per bungkus isi 20 batang menjadi Rp 32.700 dari semula Rp 29.200. Harga jual per batang ikut naik dari Rp 1.635 dari semula Rp 1.460.

Untuk golongan SKT IB mengalami kenaikan cukai Rp 345 dari semula Rp 330. Harga jual per bungkus menjadi Rp 22.700 dari semula Rp 20.300. Harga minimal eceran per batang menjadi Rp 1.135 dari semula Rp 1.015.

Golongan SKT II naik 2,5 persen menjadi Rp 205 dari semula Rp 200. Harga jual per bungkus isi 20 batang menjadi Rp 12.000 dari semula Rp 10.700. Minimal harga jual per batang menjadi Rp 600 dari semula Rp 535.

Sedangkan SKT III mengalami kenaikan cukai 4,5 persen menjadi Rp 505 dari semula Rp 450. Harga jual per bungkus isi 20 batang menjadi Rp 10.100 dari semula Rp 9.000. Harga jual minimal per batang menjadi Rp 505 dari semula Rp 450.

"Ini adalah tarif cukai baru yang akan berlaku mulai bulan Januari 2021," katanya.

Cukai Rokok Elektrik Ikut Naik

Tak cuma rokok konvensional, tarif cukai produk hasil pengelolaan tembakau lainnya (HPTL) yang terbuat dari daun tembakau juga mengalami kenaikan.

Untuk Hasil Pengelolaan Tembakau Lainnya (HPTL) adalah tembakau hirup  yaitu snuff tobacco dan rokok elektrik, tembakau kunyah, tembakau molases, dan tembakau ekstrak serta esens tembakau.

"Untuk rokok elektrik yang padat dan cair, baik yang dikunyah atau dihirup dilakukan penyesuaian tarif spesifik. Penyesuaian minimum harga jual eceran ini 1,5 persen dari kisaran tarif spesifik," kata Sri Mulyani Indrawati.

Tarif cukai untuk HPTL dampak dari penerapan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam UU HPP diatur penambahan jenis hasil tembakau baru yaitu rokok elektrik. Sebelumnya rokok elektrik masuk dalam HPTL berupa ekstrak dan esens tembakau (EET).

Rokok elektrik cair sistem terbuka merupakan e-liquid yang diproduksi 164 UKM dan UMKM. Sedangkan Rokok elektrik cair sistem tertutup merupakan e-liquid yang terpabrikasi dalam kemasan atau diproduksi oleh industri.

Adapun penyesuaian tarif cukainya antara lain untuk rokok elektrik padat tarifnya menjadi Rp 2.710 per gram dengan minimal harga jual eceran (HJE) Rp 5.190 per gram.

Untuk rokok elektrik cair dengan sistem terbuka dikenakan tarif Rp 445 per mililiter (ml) dan minimal HJE sebesar Rp 785 per ml. Sedangkan rokok elektrik sistem tertutup dikenakan tarif Rp 6.030 per ml dengan minimal HJE Rp 35.250 per cartridge.

Sementara itu, untuk produk HPTL seperti tembakau kunyah, tembakau molasses dan tembakau hirup mengalami peningkatan Rp 120 per gram dengan minimal HJE Rp 215 per gram. Tarif ini lebih tinggi dari yang saat ini berlaku yakni Rp 100 per gram dengan minimal HJE Rp 175 per gram.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Infografis Tarif Cukai Rokok Naik 12 Persen di 2022
Infografis Tarif Cukai Rokok Naik 12 Persen di 2022 (Liputan6.com/Triyasni)

Demi Kas Negara dan Kendalikan Konsumsi

FOTO: Uang Beredar pada November 2020 Capai Rp 6.817,5 Triliun
Petugas menata tumpukan uang di Cash Pooling Bank Mandiri, Jakarta, Rabu (20/1/2021). Realisasi M2 relatif stabil dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 12,5 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kenaikan cukai rokok yang ditetapkan pemerintah bukan tanpa alasan. Dengan kebijakan ini, pemerintah menargetkan penerimaan cukai rokok pada 2022 bisa mencapai Rp 193 triliun. Angka tersebut sekitar 10 persen total penerimaan negara.

“kebijakan mengenai cukai menyangkut penerimaan negara karena memang di dalam Undang-Undang APBN 2022 ditargetkan penerimaan Cukai mencapai Rp 193 triliun. Itu menyangkut kurang lebih hampir 10 persen penerimaan negara,” kata Menkeu.

Bendahara negara ini menegaskan, target penerimaan cukai rokok sejalan dengan tujuan Pemerintah untuk mengendalikan konsumsi rokok, termasuk menurunkan angka prevalensi perokok di Indonesia khususnya terhadap anak-anak dan remaja usia 10-18 tahun.

“Cukai (rokok) ini merupakan instrumen untuk mengendalikan, sesuai dengan undang-undang Cukai dan menurut RPJMN 2020-2024 kualitas sumber daya manusia juga salah satu indikatornya adalah menurunkan prevalensi merokok terutama untuk anak-anak usia 10 hingga 18 tahun yang ditargetkan mencapai 8,7 persen pada tahun 2024,” tegas Menkeu.

Di samping itu, Sri Mulyani tak menampik jika target penerimaan cukai rokok meningkat maka akan berdampak pada harga rokok. Sehingga Pemerintah juga harus waspada munculnya rokok ilegal yang tidak kena cukai rokok.

“Rokok adalah barang kena Cukai dan tentu dengan adanya kebijakan yang meningkat maka ada kecenderungan dari kegiatan yang kemudian menjurus kepada illegal. Ini perlu untuk Kita waspadai, semakin tinggi harga rokok maka semakin besar tarif cukai, maka kegiatan dari produksi rokok ilegal juga tinggi,” ujarnya.

Lebih lanjut, jika dilihat dari sisi kesehatan dalam rangka pengendalian konsumsi. Kata Menkeu, rokok merupakan komoditas kedua tertinggi dari sisi pengeluaran rumah tangga sesudah beras baik di perkotaan maupun pedesaan.

“Di kota-kota besar 20,3 persen dan rokok 11,9 persen, dari total pengeluaran di desa 24 persen pengeluaran untuk beras dan langsung diikuti rokok 11,24 persen, dibandingkan dengan komoditas lain bagi masyarakat terutama kelompok miskin,” ujarnya.

Sehingga rokok menjadikan rumah tangga menjadi semakin miskin, karena pengeluaran yang seharusnya untuk meningkatkan ketahanan rumah tangga malah dikeluarkan untuk rokok yang mencapai 11 persen dari total pengeluaran keluarga miskin.

Sementara untuk rokok elektrik, kenaikan tarif cukai yang ditetapkan pemerintah berpotensi meningkatkan pendapatan negara hingga 7,5 persen atau Rp 648,84 miliar di tahun 2022. Berdasarkan data CK-1, penerimaan cukai HPTL sampai 31 Desember 2020 sebesar Rp 680,36 miliar.

"Sebagian besar disumbangkan oleh HPTL produk ekstrak dan esens tembakau (EET) cair," kata dia.

Penerimaan cukai HPTL sampai 30 September 2021 tercatat Rp 471,18 miliar. Angka ini tumbuh negatif 15,5 persen dari capaian tahun 2020 pada periode yang sama sebesar Rp 557,53 persen.

Sejak dikenakan tarif cukai HPTL pada Juli 2018, penerimaan negara mengalami kenaikan signifikan hingga 588 persen di tahun 2020. Kontribusi tersebut berasal dari produk jenis ekstrak dan esens tembakau (EET) cair. Setidaknya terdapat 300 pengusaha HPTL yang telah memiliki NPPBKC.

Beban bagi JKN

Meski rokok menyumbang ratusan triliun rupiah bagi kas negara, namun Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, konsumsi rokok menyebabkan juga beban Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan biaya ekonomi yang besar. Dia mencatat, biaya kesehatan akibat merokok mencapai Rp17,9 triliun hingga Rp27,7 triliun setahun.

"Dari total biaya ini, Rp10,5 triliun hingga Rp15,6 triliun merupakan biaya perawatan yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan," kata Sri Mulyani.

Artinya 20-30 persen dari subsidi Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN per tahunnya sebesar Rp 48,8 triliun adalah untuk membiayai perawatan akibat rokok.

Kemudian, biaya ekonomi dari kehilangan tahun produktif dalam hal ini sangat tinggi. Penyakit yang disebabkan merokok tadi menyebabkan mereka tidak produktif dan berdasarkan survei Balitbangkes tahun 2017, diestimasi konsekuensinya sebesar Rp 374 triliun di tahun 2015.

 

 

Didukung Dokter, Tapi Ditentang Industri

3 Cara Mengurangi Risiko Kesehatan pada Perokok
3 Cara Mengurangi Risiko Kesehatan pada Perokok. foto: istimewa

Penetapan cukai rokok tiap tahunnya memang selalu menuai pro dan kontra. Sebab di satu sisi, konsumsi rokok dinilai berdampak buruk bagi kesehatan. Namun di lain sisi, rokok menjadi salah satu penggerak ekonomi melalui sektor industri.

Dukungan atas kenaikan cukai rokok ini misalnya disampaikan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Ketua Umum PDPI Agus Dwi Susanto mengatakan bahwa ini adalah upaya yang bagus. Mengingat, menaikkan cukai rokok ini adalah salah satu dari enam langkah pengendalian tembakau.

Menaikkan cukai rokok adalah salah satu upaya pengurangan jumlah perokok, tentu nantinya ini akan berdampak pada jumlah perokok, kita berharap seperti itu,” ujar Agus kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon.

Dalam pengendalian tembakau dan menurunkan jumlah perokok, menaikkan harga cukai rokok hanya salah satu langkah saja. Artinya, pelaksanaannya harus dilakukan secara komprehensif dengan langkah-langkah lain. 

Agus menambahkan, dari gambaran berbagai studi yang ada termasuk laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan kecenderungan jumlah perokok di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Peningkatan juga terjadi pada jumlah perokok pemula.

“Dan ini tentunya menjadi hal yang sangat-sangat dikhawatirkan oleh kita sebagai profesi," jelasnya.

Dari jenis rokoknya, perokok konvensional atau tembakau mengalami kenaikan. Demikian pula pengguna rokok elektrik yang meningkat pesat.

“Riset di tahun 2000-an mungkin baru sekitar 0,3 persen saat awal rokok elektrik itu muncul. Tapi saat ini riset terbaru sudah menemukan antara 10 sampai 12 persen, jadi artinya terjadi peningkatan berkali-kali lipat," kata dia.

Dukungan yang sama diutarakan Ekonom Indef, Nailul Huda. Dia menilai langkah yang dilakukan Pemerintah menaikkan tarif cukai sebesar 12 persen tepat. Pasalnya, di tengah pandemi covid-19 ini konsumsi rokok perlu diturunkan.

“Saya rasa kenaikan tarif cukai sebesar 12 persen perlu untuk dilakukan. Dampak positifnya tentu saja bisa mengurangi konsumsi rokok meskipun tidak signifikan,” kata Nailul kepada Liputan6.com.

Menurutnya, di tengah pandemi seperti ini konsumsi rokok memang harus diturunkan terutama jika masyarakat bisa menggantikan uang rokok ke kebutuhan pokok dahulu.

Dampak positif lainnya, adalah kenaikan penerimaan negara yang berasal dari cukai hasil tembakau (CHT). Cukai ini cukup besar penerimaannya meskipun lebih kecil dibandingkan pajak.

“Mengingat kondisi negara yang butuh uang atau BU, kenaikan penerimaan dari cukai saya rasa bagus,” ucapnya.

Sementara, naiknya tarif cukai juga berdampak negatif terhadap produksi rokok yang berkurang sehingga bisa menyebabkan penurunan penerimaan perusahaan. Imbasnya kepada buruh pabrik rokok.

“Selain itu, terjadi penurunan permintaan tembakau juga. Tapi pemerintah seharusnya menyediakan bumper bagi masyarakat terdampak ini,” ujarnya.

Dampak negatif lainnya adalah inflasi. Rokok merupakan salah satu penyumbang inflasi yang cukup besar bersama makanan. Kenaikan harga rokok akan menyebabkan inflasi.

“Namun saya rasa tujuannya adalah mengurangi konsumsi rokok, maka kenaikan cukai rokok ini saya rasa harus jalan terus,” tutup Nailul.   

Keluhan Industri

Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto menyatakan, kenaikan tarif cukai rokok akan sangat berdampak terhadap industri SKT yang sedang mengalami kesulitan.

"Otomatis. Kalau SKT ini kan penjualannya juga berat. Belum komponennya banyak sekali, belum tenaga kerja. Belum nanti ada THR-nya, belum kondisi pandemi yang begitu berat," tuturnya.

"Masa pemerintah enggak tahu? Kalau memang enggak kuat ya bagaimana (menahan gelombang PHK)," keluh Heri.

Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Azami Mohammad menilai, pertimbangan primer pemerintah dalam menetapkan kebijakan tarif cukai diarahkan untuk mematikan sektor IHT. Dapat dilihat dari penekanan terhadap pengendalian konsumsi.

“Pengendalian konsumsi menjadi alasan pemerintah dalam menaikkan tarif cukai, ini artinya industri ditekan melalui kebijakan tarif cukai yang tinggi sehingga tidak dapat tumbuh dan pelan-pelan mati (sunset industry)," ujar Azami.

Azami menambahkan bahwa kebijakan tarif cukai 2022 akan berdampak kepada pengurangan tenaga kerja hingga 990 orang dengan penurunan produksi hingga 3 persen. Hal ini bertentangan dengan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang dicanangkan oleh pemerintah.

“Ada 990 orang yang bekerja di sektor IHT terkena imbas dari kenaikan tarif cukai rokok, bahkan bisa lebih banyak lagi, dikarenakan produksi menurun serta konsumsi menurun. Konsekuensinya adalah menekan harga bahan baku serta mengurangi tenaga kerja” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Sulami Bahar mengatakan, sebaiknya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak terburu-buru mengimplementasikan tarif cukai baru yang bakal tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini.

Pengusaha rokok saat ini masih membutuhkan napas lebih panjang. Jika memang kebijakan tersebut sudah final, Sulami berharap penerapannya bisa dilakukan paling cepat pada Februari 2022.

"Sebenarnya kami minta ke pemerintah, tentunya pemberlakuan PMK jangan di Januari, tapi di bulan Februari 2022. Biar kami ada napas," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (14/12/2021).

"Paling tidak, kalau peraturan mau diberlakukan di 1 Januari, harusnya PMK itu sudah dikeluarkan di bulan Oktober. Maksimal di 23 Oktober atau minggu keempat Oktober," ujarnya.

Sedangakan Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKB, Bertu Merlas meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperhatikan kondisi petani tembakau.

Pasalnya, petani tembakau jadi salah satu yang terdampak dari keputusan kenaikan tarif cukai hasil tembakau. Dia menyebut belum ada alokasi yang diberikan untuk petani tembakau.

“Mengenai perhatian terhadap petani tembakau ini, kita disini memperhatikan (kalau) aspek kesehatan ini sudah kita bawa di bagi persentasenya hasil cukai untuk kesehatan sekian persen, namun untuk petani sendiri yang notabene hasil cukai ini juga berdampak pada penerimaan negara, tak ada satu tetespun yang dialokasikan kesana,” kata dia.

“Saya mohon di tahun depan untuk mulai berikan sentuhan kepada petani tembakau yang saat ini hampir tak ada,” imbuhnya.

Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Golkar, Mukhamad Misbakhun menyebut petani tembakau bahkan belum mendapatkan subsidi bantuan. Misalnya, bantuan alat pertanian, subsidi pupuk, hingga pestisida.

“Tapi mereka berkorban paling besar dalam mata rantai industri. Kita tak ada satu mention pun ucapan terima kasih dari pemerintah terhadap mereka untuk jerih payah pengorbanan. Bahkan suruh pindah untuk tak tanam tembakau,” terangnya.

Ia menyebutkan, disamping kampanye mengenai sisi negatif dari rokok, pemerintah juga perlu mengimbangi dengan informasi dampak positif dari industri rokok seperti penerimaan kepada negara.

Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok
Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok (Liputan6.com/Triyasni)

Menakar Efektivitas Tekan Jumlah Perokok

Kampung Kawasan Tanpa Rokok di Matraman
Anak-anak melintasi mural bertema bebas asap rokok di lingkungan RW 06 Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta, Jumat (8/10/2021). Warga sejumlah RT di RW 06 berkomitmen menjaga lingkungan dari asap rokok dengan memberikan teguran dan sanksi bagi yang melanggar. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Lantas dengan kenaikan tarif cukai, apakah membuat kenaikan cukai rokok efektif menekan jumlah perokok aktif khususnya dikalangan anak?

Chief Strategist of Center for Indonesia Strategi Development Initiatives (CISDI), Yurdhina Meilissa menilai kenaikan 12 persen tersebut masih belum bisa menutupi dampak negatif yang disebabkan, khususnya untuk sektor kesehatan.

"Kita rugi hampir Rp 27,7 triliun akibat rokok dan hal ini diaminkan oleh Ibu Menteri Keuangan," kata Meilissa.

Dia mengatakan selama ini pemerintah mendesain kebijakan pengendalian konsumsi tembakau dengan basis kompromi.

Salah satu yang menjadi pertimbangan pemerintah yakni pendapatan cukai hasil tembakau yang berkontribusi untuk pendapatan negara.

Namun dalam perjalanannya tidak semua hasil cukai masuk kas sektor kesehatan. Dalam hitungannya, maksimal dana hasil cukai yang digunakan untuk kesehatan hanya sekitar Rp 7 triliun.

Angka ini terlalu sedikit dari total kerugian negara yang hampir Rp 27,7 triliun. Apalagi sebagian besar kerugian ini ditanggung BPJS Kesehatan.

"Sebagian besar atau 50 persen kerugian tersebut juga ditanggung BPJS, lembaga yang selalu merugi," kata dia.

Untuk itu dia menilai penting bagi semua pihak menekan konsumsi produk-produk hasil tembakau. Sehingga tidak perlu banyak mengeluarkan biaya untuk menanggung penyakit akibat merokok. Sebaliknya dana tersebut bisa digunakan hal-hal yang lebih penting.

Selain itu, Meilissa menilai sebenarnya pemerintah memiliki kesempatan untuk menaikkan cukai hingga 45 persen bila tujuannya untuk mengurangi jumlah perokok anak.

"Untuk efektivitasnya ini bisa dilakukan dengan kenaikan hingga 45 persen, makanya pas naik cuma 12 persen ini sayang sekali," kata Meilissa.

Hanya saja, kata Meilissa pemerintah memiliki banyak pertimbangan untuk meningkatkan tarif cukai tersebut. Ada pertimbangan ekonomi yang membuat pemerintah hanya menaikkan tarif cukai 12 persen.

Salah satunya dampak terhadap perekonomian karena permintaan produk yang menurun bisa mengancam tenaga kerja di sektor industri rokok.

Padahal, kata Meilissa, kenaikan cukai hingga 45 persen tersebut menjadi yang paling ideal karena telah menggunakan model yang seimbang antara efektivitas kenaikan tarif untuk mengurangi prevalensi perokok anak dengan tetap menjaga kondisi perekonomian.

"Kebijakan ideal ini efektivitasnya ini di tarif, penerimaan negara masih bisa tinggi tetapi tidak terlalu banyak efeknya ke ekonomi secara keseluruhan tetapi konsumsi rokoknya bisa ditekan," tuturnya.

Meilissa mengatakan selama pandemi, meski kondisi keuangan masyarakat terganggu, namun tingkat konsumsi rokok tidak pernah turun. Hal ini sebagai akibat dari murahnya harga rokok dan tingginya tingkat candu masyarakat terhadap rokok.

Apalagi, pemerintah tidak memiliki aturan terkait penjualan rokok dari masing-masing produsen. Walaupun pemerintah telah menetapkan minimal harga jual eceran per bungkus ini 20 batang sekitar Rp 40.000, namun produsen bisa membuat kemasan yang jumlah batangnya lebih sedikit. Sehingga harga rokok tetap terjangkau di masyarakat.

"Percuma harga minimal eceran naik tapi industri boleh jual dengan kemasan yang lebih sedikit, ini tetap akan membuat harga harga rokok murah," katanya.

Untuk itu, dia berharap agar Kementerian Keuangan di tahun depan bisa meningkatkan tarif cukai rokok lebih tinggi dari yang ada saat ini. Sehingga akan lebih efektif mengendalikan konsumsi tembakau.

"Kita harap kebijakan ini sebagai awal bagi Kemenkeu bisa lebih berani desain tarif cukai yang optimum dan bisa jadi sinyal bagi kementerian lain yang kontra terhadap kenaikan cukai," kata dia mengakhiri.

YLKI Ikut Pesimis

Pesimisme soal kenaikan cukai rokok bisa menekan jumlah perokok juga diungkapkan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.

Dia menilai, keputusan pemerintah menaikkan cukai rokok hanya sekadar menjalankan mandat dari regulasi.

Besaran kenaikan tarif cukai pun dinilai masih terbatas karena dalam Undang-Undang Cukai, pemerintah memiliki kesempatan untuk menaikkan tarif cukai rokok hingga 52 persen.

"Apa yang dilakukan pemerintah ini mandat regulasi, kalau tidak dilakukan nanti salah, makanya harus dieksekusi oleh Kementerian Keuangan berupa kenaikan tarif cukai (tembakau)," kat Tulus Abadi.

Menurut Tulus, kenaikan cukai yang dilakukan pemerintah lebih mengutamakan aspek ekonomi ketimbang pengendalian konsumsi rokok. Tercermin dari kenaikan tarif rokok yang dihubungkan dengan potensi pendapatan pemerintah di tahun depan.

Mengingat pemasukan negara diperkirakan masih akan terganggu karena masih dalam momentum pemulihan ekonomi. Pendapatan pajak yang masih terbatas, membuat pemerintah memutar otak untuk mendapatkan sumber-sumber pendanaan di tahun depan.

"Pajak ini kan masih rendah dan dari sisi filosofi masih kurang pas. Cukai ini hanya efek samping atau pajak dosa. Padahal pengendalian konsumsi harus lebih menjadi fokus utama daripada potensi pendapatan negara," kata dia.

Selain itu, kata tulus, kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau 12 persen mulai tahun depan hanya sebatas tukar guling kebijakan. Kebijakan yang dimaksud yakni pelaksanaan PP 109 tahun 2012 tentang instrumen pengendalian konsumsi rokok.

"Saya melihat ini seperti tukar guling policy, satu sisi pemerintah menaikan cukai rokok tetapi tidak menjalankan kebijakan pengendalian konsumsi rokok yang ada dalam PP 109 tahun 2012," ungkap Tulus.

Selain itu kenaikan tarif cukai ini dinilai belum efektif karena dari sisi pemasaran produk masih menyisakan banyak masalah. Harga yang diatur Kementerian Keuangan hanya untuk rokok per bungkus isi 20 batang. Sementara tidak ada aturan untuk industri rokok untuk mengatur jumlah batang rokok per bungkus.

Akibatnya, tidak sedikit produsen yang memutar otak agar harga rokok per bungkus lebih murah dengan mengurangi jumlah batang rokok dalam satu kemasan. Celah yang dimanfaatkan ini membuat harga rokok yang dijual menjadi lebih terjangkau dari ketentuan yang dibuat pemerintah.

"Jadi di sisi retail masih murah, mana ada barang kena cukai yang harganya semurah permen. Hanya satu di dunia (ada di Indonesia)," kata dia.

Untuk itu, dia mendorong agar pemerintah membuat kebijakan menjual rokok batangan atau ketengan. Cara ini dinilai akan membuat masyarakat kalangan tertentu, utamanya perokok anak atau remaja sulit mendapatkan akses terhadap rokok. Sebab saat ini, rokok bisa dibeli karena harganya masih terjangkau dengan uang saku anak-anak.

"Rokok di kita ini sangat murah dan aksesnya mudah, kenaikan tarif cukai akan efektif kalau di backup dengan kebijakan pengendalian rokok," kata dia.

Meski demikian, keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok hasil tembakau rata-rata 12 persen diapresiasi Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany.

Dia menyebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menepati komitmennya mengendalikan konsumsi rokok dengan menaikkan tarif cukai.

"Kalau saya tidak salah ingat, Ibu Menteri pernah janji di tahun 2005-2015 masih pro industri karena utuh duit, setelahnya baru penguatan pertimbangan kesehatan. Saya harap ini terus jadi komitmen pemerintah ke depan," kata Hasbullah.

Sejak tahun 2016, pemerintah kata Hasbullah menjalankan komitmennya terhadap pengendalian konsumsi tembakau melalui pengenaan tarif cukai.

Setiap tahun secara konsisten, pemerintah menaikkan tarif cukai hingga saat ini sudah berada kisaran 12 persen. Walaupun pada tahun 2019 pemerintah tidak menaikkan tarif cukai karena bertepatan dengan tahun politik.

"Kecuali di tahun 2019 pemerintah tidak menaikkan tarif cukai, tapi jadi dirapel di tahun berikutnya," kata dia.

Hanya saja, kata Thabrany, pemerintah belum menggunakan UU Cukai dalam meningkatkan tarif cukai hasil tembakau. Peningkatan cukai yang saat ini masih mempertimbangkan berbagai aspek. Sehingga dampaknya belum signifikan untuk mengendalikan atau menurunkan konsumsi tembakau.

Tak heran bila produksi rokok batangan terus meningkat setiap tahunnya. Diperkirakan produksi hasil tembakau tahun ini mencapai 320 miliar batang rokok. Angka ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2007 yang produksinya hanya 210 miliar batang per tahun.

"Artinya dalam waktu beberapa tahun sudah ada kenaikan produksi hingga 100 miliar batang sejak UU Cukai diimplementasikan," kata dia.

Hal ini menunjukkan kata Thabrany, perjuangan untuk mengendalikan konsumsi tembakau masih belum selesai. Sehingga semua pihak, baik dari industri, pekerja hingga pemerintah harus melihat upaya pengendalian konsumsi tembakau selama ini masih belum tercapai.

"Harusnya kita konsisten, jalankan dulu undang-undang yang baik yaitu kendalikan konsumsi. Kalau ada pihak yang keberatan harusnya lihat ini. Kita harus taat aturan," kata dia.

Dia menegaskan kenaikan tarif cukai rokok tidak akan berpengaruh pada tingkat konsumsi masyarakat terhadap rokok. Pekerja dan petani yang terlibat di industri ini masih bisa bekerja sebagaimana adanya. Sebab pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan melakukan berbagai pertimbangan dan mengakomodir kebutuhan semua pihak.

"Saya apresiasi pemerintah melihat betul masalah-masalah rokok ini," kata dia

Infografis Harga Jual Eceran/HJE Rokok, Sebungkus Capai Rp 40.000
Infografis Harga Jual Eceran/HJE Rokok, Sebungkus Capai Rp 40.000 (Liputan6.com/Triyasni)

Membandingkan Harga Rokok Indonesia dengan Negara Lain

Bea Cuka Pastikan Harga Eceran Rokok Stabil di Pasaran
(Foto:Dok.Bea Cukai)

Meski tarif cukai rokok di 2022 telah dinaikkan rata-rata 12 persen, namun dinilai tidak membuat harga jual rokok di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara lain. Hal tersebut diakui Sri Mulyani.

"Harga jual eceran minimum rokok per bungkus setelah penyesuaian masih lebih rendah dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia," kata dia.

Penyesuaian tarif cukai rokok ini membuat rata-rata harga rokok di Indonesia menjadi Rp 38.100 per bungkus. Diantara negara-negara ASEAN, Indonesia menjadi negara ketiga termahal yang menjual rokok.

Namun demikian harga tersebut hanya seperempat dari Singapura dan Malaysia. Di Singapura harga rokok per bungkus isi 20 batang USD 10,5 atau Rp 150.238. Di Malaysia harga rokok USD 4,10 atau Rp 60.097 per bungkus.

Sementara itu di Indonesia hanya USD 2,09 atau Rp 30.625 per bungkus. Harga jual tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dijual di Filipina yakni USD 2,03 atau Rp 29.772 per bungkus. Di Thailand per bungkus USD 1,92 atau Rp 28,125 dan di Vietnam USD 0,93 atau Rp 13.572 per bungkus.

"Harga rokok di Indonesia sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Filipina, Thailand dan Vietnam," kata dia.

Sementara terkait kekhawatiran menjamurnya rokok ilegal akibat kenaikan cukai, Sri Mulyani Indrawati mengatakan selama tahun 2020 terjadi peningkatan penyelundupan rokok ilegal yang masuk ke Indonesia.

Tercatat kenaikan penyelundupan rokok ilegal sebesar 4,9 persen di tahun 2020. Lebih tinggi dari masuknya rokok ilegal pada tahun 2019 sebesar 3 persen.

"Tahun 2020 penyelundupan rokok ilegal meningkat karena salah peruntukkan dan salah personalisasi yang tinggi," kata Sri Mulyani.

Dia melanjutkan kebijakan cukai rokok tahun 2020 mendorong disparitas harga semakin jauh antara sigaret mesin dan tangan. Hal ini pun berkontribusi pada kenaikan salah satu peruntukan dan salah personalisasi.

"Kenaikan dari kegiatan rokok ilegal didominasi dalam bentuk personalisasi seperti pita cukai ilegal dan penggunaan pita cukai bekas dan ini harus jadi perhatian kita pada kebijakan 2022," kata dia .

Sri Mulyani melanjutkan peningkatan tarif cukai rokok berdampak pada penurunan masuknya rokok ilegal yang masuk ke Indonesia. Tren rokok ilegal sepanjang 2016-2019 menunjukkan penurunan seiring dengan meningkatnya jumlah penindakan Dirjen Bea dan Cukai.

"Dalam jangka waktu 3 tahun ini bisa turun 3 persen dan tahun 2020 ini naik lagi menjadi 4,9 persen," kata dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya