Penuhi Syarat SNI, Industri AMDK Tak Perlu Dibebani Aturan Baru

Produk-produk air minum dalam kemasan (AMDK) yang beredar dipasaran pada dasarnya sudah melalui proses memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI).

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Sep 2022, 10:49 WIB
Diterbitkan 24 Sep 2022, 16:45 WIB
Bahaya di Balik Air Minum Kemasan Galon Isi Ulang
Ilustrasi galon air minum dalam kemasan (AMDK).

Liputan6.com, Jakarta Produk-produk air minum dalam kemasan (AMDK) yang beredar dipasaran pada dasarnya sudah melalui proses memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI), di mana pemenuhan syarat SNI itu sudah menjadi syarat keluarnya izin edar dari BPOM.

Hal tersebut diungkapkan Pembina Industri dan Sub Koordinator untuk Fungsi Industri Minuman Ringan dan Pengolahan Hasil Holtikultura Kemenperin, Pinke Arfianti Dwihapsari.

“Jadi, jika ada porduk di pasar yang tidak sesuai standar, tinggal dipanggil saja produsennya, ditanyakan penyebabnya dan diminta melakukan tindakan agar tidak ada produk diluar standar yang beredar di pasar," kata Pinke,  dikutip Sabtu (24/9/2022). 

"Tidak perlu ada aturan aturan baru yang bisa menambah beban industri,” lanjut dia.

Dia mengatakan Kemenperin akan segera meminta klarifikasi terkait pengungkapan temuan produk AMDK nonstandar di pasar, bagaimana kajian dan temuan itu dilakukan dan monitoringnya seperti apa.

“Karena, kami dari penerbit regulasi SNI mengharapkan pengawasan itu bisa dilakukan bersama-sama dan bukan hanya dilakukan oleh satu instansi saja,” ucapnya. 

 

 

 

Potensi Migrasi Zat Kimia

Ilustrasi AMDK galon isi ulang
Ilustrasi AMDK galon isi ulang. Foto: (Liputan6.com/Ade Nasihudin).

Pakar Polimer Ahmad Zainal Abidin, mengatakan semua jenis plastik memiliki potensi migrasi zat kimia yang digunakan dalam proses pembuatannya. Melabeli potensi bahaya zat kimia hanya terhadap plastik polikarbonat merupakan tindakan diskriminatif dan tidak sesuai dengan semangat pengawasan pangan.

Sebagaimana diketahui, ada banyak jenis zat plastik yang boleh digunakan sebagai kemasan makanan minuman termasuk Polikarbonat (PC), Poly Etilene Tereftalat (PET), Poly Propilen (PP) dan lain lain. Beragam jenis plastik tersebut digunakan sebagai kemasan pangan karena sifatnya yang inert (tidak bereaksi dengan lingkungan sekitar).

Dalam dua tahun terakhir ini, ada upaya untuk mendiskreditkan kemasan plastik polikarbonat (PC) yang digunakan sebagai kemasan galon air.

“Secara kimia ketahanan panas atau titik melting galon guna ulang berbahan Polikarbonat itu hampir 200-an derajat Celsius dan kemasannya juga keras. Artinya, resiko untuk BPA-nya bermigrasi itu sangat rendah atau hampir tidak mungkin terjadi,” katanya. 

Terkait migrasi zat kimia dari kemasan, dia mengatakan bahwa itu tidak hanya terjadi pada galon guna ulang PC saja tapi juga galon sekali pakai berbahan PET. Menurutnya, migrasi zat kimia dari kemasan itu  tetap ada akibat masih adanya zat yang belum bereaksi saat pembuatan galon, tapi jumlahnya tidak banyak. 

“Jadi, kalau ada label berpotensi mengandung BPA pada galon guna ulang polikarbknat, terhadap galon PET yang sekali pakai seharusnya juga diberlakukan hal yang sama. Karena, keduanya sama-sama berpotensi ada migrasi kimia dari kemasannya,” ujar Zainal. 

Pakar IPB: Kemasan PET pun Sebenarnya Ada Kandungan yang Berbahaya

Ilustrasi Antimon yang Terdapat di Galon Sekali Pakai Berbahan PET
Ilustrasi Antimon yang Terdapat di Galon Sekali Pakai Berbahan PET (Foto: Istimewa)

Dosen dan peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB), Nugraha Edhi Suyatma menyayangkan semakin liarnya isu soal BPA di masyarakat.

Menurut Edhi, isu BPA bisa memberikan kesalahan persepsi di konsumen bahwa kemasan galon guna ulang itu berbahaya, sementara kemasan plastik-plastik lainnya itu terkesan aman.

"Padahal, seperti yang kita tahu bahwa BPA itu ada di mana-mana, tidak hanya di galon polikarbonat, tetapi ada juga di kemasan kaleng, botol bayi, atau di dot. Itu mestinya dilarang total bagi bayi dan anak-anak," kata Edhi dikutip dari keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Senin, 5 September 2022.

Edhi menjelaskan bahwa di makanan kaleng ada riset yang mengatakan hampir 90 persen enamel pada kaleng itu terbuat dari epoksi,"Epoksi itu adalah BPA dan BPA adalah sebagai basic. Jadi, seharusnya ini kan juga perlu dilabeli juga.".  

Sehingga dengan berhembusnya isu BPA, bisa menyebabkan terjadinya mispersepsi di masyarakat bahwa kemasan yang tidak mengandung BPA itu aman-aman saja.

"Padahal, kemasan lain itu juga belum tentu aman. Kemasan PET misalnya, itu juga ada risiko dari bahan senyawa yang lain yang berpotensi ke arah negatif. Di PET ada kandungan antimon, asetildehid, etilen glikol, dan lain-lain yang juga berbahaya," katanya.

Dia juga mengkritisi langkah BPOM yang seolah membiarkan kampanye negatif terhadap galon polikarbonat. Edhi menilai bahwa ini justru bertentangan dengan BPOM sendiri pada aturan label pangan.  

"Jadi, ketidaksepahaman saya pada aturan pelabelan BPA ini adalah, khawatirnya nanti malah ada prasangka buruk kalau BPOM itu dianggap membela salah satu brand. Itu yang pasti akan muncul karena fenomena ini," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya