Mengenal Quiet Quitting di Dunia Kerja, Apa Kekurangan dan Kelebihannya?

Fenomena quiet quitting tengah ramai dibicarakan di dunia kerja belakangan ini. Tren tersebut seakan menjadi bentuk perlawanan terhadap hustle culture yang sebenarnya memberikan dampak kurang baik bagi kesehatan fisik maupun mental seseorang.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Okt 2022, 12:00 WIB
Diterbitkan 04 Okt 2022, 12:00 WIB
Bekerja di Perusahaan Besar
Ilustrasi Bekerja di Perusahaan Credit: pexels.com/pixabay

Liputan6.com, Jakarta Fenomena quiet quitting tengah ramai dibicarakan di dunia kerja belakangan ini. Tren tersebut seakan menjadi bentuk perlawanan terhadap hustle culture yang sebenarnya memberikan dampak kurang baik bagi kesehatan fisik maupun mental seseorang.

Dikutip dari laman KitaLulus, Secara garis besar, quiet quitting merupakan gambaran di mana seorang pekerja harus bekerja keras, namun tetap tidak melupakan waktu untuk diri sendiri. Konsep yang menarik, bukan? Untuk itu, yuk ketahui lebih lanjut mengenai quiet quitting dan mengapa fenomena tersebut terjadi.

Pada dasarnya, pekerja yang melakukan quiet quitting masih tetap mengerjakan seluruh tanggung jawabnya, hanya saja sesuai porsi yang dimiliki. Hal ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan keseimbangan hidup antara bekerja dan kehidupan pribadi.

Secara umum, kebiasaan kerja ‘seperlunya saja dan tidak berlebihan’ dapat memberikan kesempatan seseorang menikmati hidup di luar dunia kerja yang menjadi kewajibannya. Dengan begitu, kualitas hidup bakal lebih baik, dan nilai kerja di dunia profesional bisa meningkat.

Tanda-Tanda Quiet Quitting

Untuk mencapai keseimbangan kehidupan kerja dan kehidupan pribadi, pekerja yang melakukan quiet quitting akan berfokus pada pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya saja. Berikut adalah tanda-tanda quiet quitting yang mungkin kamu temui di lingkungan kerjamu:

1. Tidak melakukan pekerjaan di luar jam kerja, termasuk membalas pesan maupun email

2. Tidak aktif berdiskusi dalam menghadiri agenda-agenda meeting

3. Pulang tenggo (pulang tepat waktu) atau bahkan lebih awal

4. Menghindari acara-acara kantor

5. Kurang antusias dalam bekerja serta mengejar karir

6. Tidak melibatkan diri dalam percakapan atau aktivitas yang dianggap tidak penting

7. Kurang memberikan kontribusi pada tim karena terlalu fokus pada pekerjaan individu

8. Menurunnya produktivitas kerja.

 

 

 

Awal Mula Trenn Quiet Quitting

Tidak Bisa Menjalin Hubungan Baik dengan Karyawan Lain Selama Bekerja
Ilustrasi Bekerja di Perusahaan Credit: pexels.com/fauxels

Yang menarik dari fenomena quiet quitting adalah bagaimana tren ini bermula. Di akhir Juli, tren tersebut viral karena sebuah unggahan di TikTok dari akun bernama Zaidleppellin.

Kemudian banyak pengguna media sosial memberikan komentar dengan menceritakan pengalamannya. Salah satunya mengatakan bahwa dia melakukan quiet quitting sejak 6 bulan lalu dan dia mendapatkan upah, apresiasi, hingga rekognisi yang sama.

Di beberapa negara, fenomena yang jauh lebih besar terjadi. Dikutip dari npr.org, sekitar 33 juta karyawan di Amerika melakukan pengunduran diri pada 2021.

Menurut penelitian Randstad Australia, ada 70 persen lebih dari total 35.000 sampel surveinya yang aktif mencari pekerjaan baru, 60 persen di antaranya berasal dari milenial dan gen Z. Milenial dan gen Z lebih mementingkan rasa puas diri dan kebahagiaannya dibanding tujuan karir.

Hal tersebut banyak dibahas oleh beberapa artikel, seperti NPR, Gallup, Randstad, Forbes, hingga Tirto. Sebuah pernyataan fakta sekaligus opini yang memiliki dasar, akibat situasi pandemi Covid-19.

Hubungan Quiet Quitting dengan Burnout

Tidak bisa dipungkiri, pandemi Covid-19 mengubah banyak hal. Tidak hanya kondisi perusahaan yang kesulitan karena pola konsumen yang berubah, tetapi juga pola kerja.

Penularan virus terjadi sehingga jaga jarak diberlakukan. Perusahaan tidak dapat berjalan dengan sistem kerja work from office dan berubah menjadi work from home, yang kini menjadi menjadi work from anywhere.

Bekerja dari rumah mengaburkan perbedaan tanggung jawab seseorang di kantor dan di rumah. Pemantauan kerja oleh atasan yang tidak langsung membuat kepercayaan menjadi menurun.

Hal tersebut juga menghilangkan adanya penetapan jam kerja, sehingga jika berlangsung terus-menerus maka dapat menimbulkan burnout.

Keadaan burnout inilah yang kemudian dirasakan oleh generasi milenial dan gen Z. Sosok-sosok baru dalam dunia kerja tersebut merasa tidak relevan dengan keadaan yang dinilai tidak ideal.

Kehidupan personalnya yang terasa kurang sesuai dengan keinginan menjadikan mereka memutuskan untuk menghentikan kebiasaan tersebut dan mulai bekerja sesuai porsinya. Lalu, hal tersebut dinilai sebagai quiet quitting karena dianggap tidak lagi engage dengan perusahaan.

 

 

 

Kelebihan dan Kekurangan Quiet Quitting

Ilustrasi orang presentasi
Pahami pengertian tentang kecerdasan intrapersonal dan interpersonal dalam bekerja. (unsplash.com/Campaign Creators).

Quiet quitting adalah fenomena dalam dunia kerja yang memiliki sisi positif dan negatif. Berikut penjelasannya.

Kekurangan Quiet Quitting

Beberapa efek negatif dari quiet quitting adalah:

- Tidak lagi merasakan kepuasan diriSemangat terus menurun

- Atasan tidak puas dengan hasil kerja kamu

- Pemutusan kerja karena dinilai tidak perform

- Sulit mencapai career goal yang dimau

Kelebihan Quiet Quitting

Meskipun quiet quitting adalah budaya yang dinilai buruk oleh atasan yang membutuhkan karyawannya memberikan dedikasi tinggi terhadap perusahaan, tetapi ada beberapa efek positif yang bisa kamu rasakan, lho. Berikut di antaranya.

- Memiliki banyak waktu luang untuk eksplor kemampuan baru

- Memiliki waktu untuk mencari pekerjaan sampingan

- Bisa menghabiskan waktu bersama dengan teman atau keluarga

- Bisa beristirahat dengan tenang usai jam kerja

 

 

Minimalisir Dampak Negatif

Orang Produktif Kerja Cerdas, Orang Sibuk Kerja Keras
Ilustrasi Orang Produktif Credit: pexels.com/pixabay

1. Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif quiet quitting.

2. Memperbaiki hubungan antara atasan dan bawahan.

3. Memperbaiki kembali rasa percaya satu sama lain, tidak hanya hubungan vertikal di kantor, tetapi horizontal di mana hubungan di lingkungan antar-coworkers juga harus ditingkatkan.

5. Lakukan komunikasi kepada atasan jika dirasa beban kerja terlalu berat dan berikan data hasil kerja yang selama ini kamu lakukan.

6. Cari perbaikan terhadap masalah yang terjadi dengan membuat win-win solution sehingga kedua pihak bisa memahami apa yang terbaik untuk keduanya.

7. Berikan apresiasi yang pantas kepada karyawan, baik berupa pujian, remunerasi, bonus, hingga promosi sesuai kinerja.

 

infografis tenaga kerja asing di Indonesia
infografis tenaga kerja asing di Indonesia(Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya