Liputan6.com, Jakarta Sebagai upaya berpartisipasi dalam memajukan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, Wilmar akan mensosialisasikan program edukasi pencegahan kekerasan seksual di seluruh unit perkebunannya. Tahun lalu, perusahaan agribisnis itu telah memulai pilot project di salah unitnya yang berada di Kalimatan Tengah.
Baca Juga
Human Capital Head Wilmar Erlina Panitri mengatakan, kekerasan terhadap perempuan dan anak masih rentan terjadi di seluruh sektor industri, termasuk di perkebunan kelapa sawit.
Advertisement
Persoalan tersebut rentan terjadi namun belum banyak diangkat ke permukaan karena masih dianggap sebagai hal yang tabu, atau kurangnya dukungan dan fasilitas apabila terjadi pengaduan.
Padahal, perlindungan terhadap perempuan dan anak adalah hal penting yang harus menjadi perhatian semua pihak. Selain itu, masalah tersebut masih dianggap tidak berhubungan langsung dengan bisnis perusahaan.
“Dalam program ini yang kami lakukan adalah menciptakan lingkungan kerja yang nyaman, terpadu, responsif gender, dan tanpa diskiriminasi dalam pekerjaan dan ketenagakerjaan,” kata Erlina melalui siaran pers, Minggu (8/1/2023).
Dalam sosialisasi tersebut, pihaknya bekerja sama dengan International Labour Organization (ILO) yang berkontribusi dalam materi dan trainer. Isi sosialisasi tersebut berupa edukasi untuk mengenali berbagai bentuk kekerasan, prosedur pengaduan, dan pembekalan pengetahuan-pengetahuan tertentu.
Dalam menggelar sosialisasi, pihaknya juga menghadirkan psikolog, ahli kriminologi, serta akademisi untuk memberikan pembekalan pengetahuan-pengetahun tertentu. Program tersebut juga dilengkapi dengan pemberdayaan ibu rumah tangga agar menjadi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
“Kami berharap agar karyawan perempuan dan ibu rumah tangga dapat mandiri secara ekonomi,” tutur Erlina.
Sambutan Hangat
Program tersebut memperoleh sambutan hangat dari peserta perempuan di setiap unit perkebunan perusahaan. Hal itu menunjukkan pentingnya fasilitas untuk perempuan dan anak.
Sosialisasi itu sejalan dengan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI No. 1 tahun 2020 tentang Penyediaan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan di Tempat Kerja.
Terkait itu, pihaknya berencana mengembangkan Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak di setiap unit. Sebelumnya, Wilmar juga telah mengoperasikan tempat penitipan anak di setiap unit perkebunannya.
Program edukasi tersebut sesuai dengan arahan Presiden Jokowi kepada Kementerian Perlindungan perempuan dan anak, yaitu peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan berprespektif gender, peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan/ pengasuhan anak, penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak, penghapusan pekerja anak, dan pencegahan perkawinan anak.
Advertisement
PBB: Pandemi COVID-19 Perparah Kekerasan pada Perempuan
UN Women, organisasi PBB yang memperjuangkan hak-hak perempuan, menerbitkan laporan terbaru bertajuk "Mengukur pandemi bayangan: kekerasan terhadap perempuan selama pandemi COVID-19".
Data terbaru PBB menunjukkan pandemi semakin memperparah kekerasan berbasis gender.
Hidup seorang mahasiswi Rusia bernama Darya berubah selamanya ketika ia bertengkar dengan kekasihnya pada April tahun lalu.
Shaig Zeinalov, yang mabuk saat kejadian, menodongkan pistol ke arah Darya dan menembaknya. Tembakan itu meleset, namun mata Darya terkena pecahan peluru yang memantul dari dinding.
"Saya berteriak kepadanya bahwa ia perlu memanggil ambulans. Tapi ia menolak melakukannya. Dia mengatakan, saya punya mata kedua untuk melakukan hal itu, dan bahwa saya bisa menelepon sendiri."
"Setelahnya, saya menelepon ambulans sambil mengatakan tiga hal: Umur saya 18 tahun, kepala saya ditembak, dan saya sekarat," tutur Darya kepada Reuters dalam wawancara untuk memperingati Hari Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Sedunia.
Masalah kekerasan terhadap perempuan sangat akut di Rusia, di mana pola perilaku laki-laki macho sudah mendarah daging. Organisasi HAM mengatakan undang-undang untuk melindungi perempuan sangat tidak memadai.
Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan hampir satu dari tiga perempuan di dunia pernah mengalami penganiayaan, dan angka tersebut meningkat saat terjadi krisis seperti pandemi COVID-19.
Laporan terbaru PBB itu, bertajuk "Mengukur pandemi bayangan: kekerasan terhadap perempuan selama pandemi COVID-19," diterbitkan pada malam peringatan Hari Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Sedunia, pada 25 November 2021. Tema peringatan tahun ini "Oranyekan Dunia: Akhiri Kekerasan Terhadap Perempuan Sekarang!"
Dalam keterangan kepada wartawan, pada Rabu (24/11), di New York, Kepala Seksi Pengakhiran Kekerasan Terhadap Perempuan UN Women Kalliopi Mingeirou mengatakan bahwa "satu dari tiga perempuan, mereka terus menghadapi penderitaan fisik dan/atau kekerasan seksual, dan kebanyakan aksi kekerasan yang mereka alami dilakukan oleh pasangan intim mereka sendiri."
"Angka ini hanyalah puncak gunung es, karena angka ini tidak memasukkan kasus pelecehan atau kekerasan seksual dalam konteks digital, praktik berbahaya, eksploitasi seksual, dan sebagainya. Lebih parahnya, kita tahu bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan adalah salah satu aksi kejahatan yang paling jarang dilaporkan karena adanya stigma dan ketidakpercayaan kepada pihak berwenang," tambah Mingeirou.
50 Persen Perempuan Mengakui Alami Kekerasan di Masa Pandemi COVID-19
Papa Seck, Kepala Seksi Riset dan Data UN Women, mengatakan, hampir 50 persen perempuan mengakui bahwa mereka sendiri atau perempuan yang mereka kenal telah mengalami bentuk kekerasan sejak pandemi COVID-19 terjadi.
Kasus itu paling banyak terjadi di Kenya, Maroko, Yordania dan Nigeria, sementara hanya sedikit kasus yang dilaporkan di Paraguay.
Seck menambahkan bahwa secara keseluruhan, satu dari empat perempuan yang melaporkan kasus kekerasan paling sering mengalami pelecehan verbal atau penolakan terhadap akses kebutuhan dasar.
Perempuan pada kelompok usia 18-49 tahun merupakan kelompok yang paling terdampak selama pandemi, demikian juga perempuan yang tidak bekerja.
Selain itu, UN Women menemukan bahwa 25 persen perempuan merasa kurang aman di rumah, karena konflik rumah tangga yang meningkat selama pandemi. Salah satu alasannya adalah kekerasan fisik yang mereka alami.
Sementara itu, 40 persen perempuan mengatakan mereka merasa kurang aman berada di luar rumah pada malam hari selama pandemi. Sekitar tiga dari lima perempuan juga berpendapat kekerasan seksual di tempat umum menjadi semakin parah sejak pandemi.
“UN Women mengajukan sejumlah rekomendasi kebijakan, termasuk menempatkan perempuan di pusat tanggap kebijakan, mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan dalam rencana pemulihan maupun tanggapan, memperkuat layanan bagi perempuan yang mengalami kekerasan, dan berinvestasi dalam upaya pencegahan jangka menengah dan panjang," ujar Seck.
"(Serta) benar-benar memastikan bahwa statistik gender dan data jenis kelamin terpilah dikumpulkan secara rutin, misalnya survei-survei yang kami baru lakukan ini, untuk memasukkan dan mengukur dampak pandemi COVID-19,” tambahnya.
Laporan UN Women tersebut diterbitkan bertepatan dengan dimulainya kampanye 16 Hari Aktivisme Menentang Kekerasan Berbasis Gender, yang berlangsung dari 25 November hingga 10 Desember 2021.
Advertisement