Liputan6.com, Jakarta Silicon Valley Bank (SVB) disebut bangkrut karena tak tahan atas kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat alias The Fed. Kebangkutan Silicon Valley Bank (SVB) berdampak negatif secara terus menerus pada keuangan perusahaan.
Kenaikan suku bunga The Fed sendiri turut berpengaruh pada kenaikan suku bunga bank sentral di berbagai negara, termasuk Bank Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menilai walaupun aset yang dimiliki Silicon Valley Bank kecil hanya USD 200 miliar untuk kelas bank di Amerika Serikat. Namun, dampak kebangkrutan SVB sangat besar.
Advertisement
"Dalam weekend terakhir ini, penutupan Silicon Valley Bank yang relatif kecil, cuma bank regional dengan aset USD 200 billion yang untuk ukuran Amerika sangat kecil telah menimbulkan guncangan yang signifikan dari sisi kepercayaan deposan di AS," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa Maret, Selasa (14/3/2023).
Bahkan, kata Sri Mulyani, Pemerintah Amerika Serikat enggan memberikan bantuan kepada SVB. Tapi pada akhirnya Pemerintah terkait memutuskan untuk menjamin deposito Silicon Valley Bank. Menurut Menkeu, penting dijadikan pelajaran bagi Indonesia kedepannya jika mengalami hal serupa.
"Pemerintah Amerika tadinya tak bail out, kemudian memutuskan bailout menjamin semua deposito SVB. Ini yang harus perlu dilihat sebagai pelajaran, bank yang kecil dalam posisi tertentu dapat menimbulkan persepsi sistemik," ujar Menkeu.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara, mengatakan kebangkrutan yang dialami Silicon Valley Bank itu layak dijadikan pelajaran bagi Indonesia. Dia menegaskan bank di Amerika yang skalanya kecil pun bisa memberikan dampak yang luar biasa.
"Pelajaran yang benar-benar kita soroti sekarang ini bank kecil di Amerika itu bisa membuat keseluruhan sistem itu at risk. Kita memperhatikan resiko menjalarnya SVB ke tempat lain," ujarnya.
Wamenkeu menyampaikan, memperkirakan dampak kebangkrutan Silicon Valley Bank kemungkinan tidak akan berpengaruh langsung ke Indonesia. "OJK kemarin mengatakan dampak langsung SVB ke Indonesia diperkirakan tidak terjadi. tetapi kita akan terus memperhatikan," pungkasnya.
Kasus Silicon Valley Bank Bangkrut Bisa Terjadi di Indonesia?
Silicon Valley Bank (SVB) disebut bangkrut karena tak tahan atas kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat alias The Fed. Itu berdampak negatif secara terus menerus pada keuangan perusahaan.
Kenaikan suku bunga The Fed sendiri turut berpengaruh pada kenaikan suku bunga bank sentral di berbagai negara, termasuk Bank Indonesia. Dengan naiknya tingkat suku bunga, disinyalir akan berpengaruh pada kegiatan usaha, seperti perbankan.
Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita menilai kejadian yang menimpa SVB perlu jadi cermin di Indonesia. Meski begitu, diakuinya kalau kolapsnya SVB tak berpengaruh langsung ke Indonesia.
"Pengaruh kolapsnya SVB ke Indonesia nyaris tidak ada. Tapi persoalannya bukan di sana. Kita tidak perlu mencari relasi SVB dengan Indonesia karena saya yakin tidak ada bank atau lembaga keuangan yang memegang aset SVB," ujarnya kepada Liputan6.com, Selasa (14/3/2023).
Utamanya soal dampak kenaikan suku bunga ke perbankan atau usaha di Indonesia.
"Yang menjadi persoalan adalah Kita belum tau seperti apa efek kenaikan suku bunga BI yang berkali-kali kepada aset perbankan dan lembaga keuangan nasional," ungkapnya.
Ronny memandang, secara umum, komposisi penggunaan dana pihak ketiga di Indonesia cenderung lebih aman ketimbang di Amerika Serikat. Walaupun masih ada berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
"Hal tak terduga bisa saja terjadi, ketika banyak perusahaan bernasib seperti WIKA, misalnya atau banyak perusahaan yang gagal berekspansi karena biaya kredit mahal. Mari kita tunggu," katanya.
Advertisement
Biang Kerok Bangkrutnya SVB
Silicon Valley Bank (SVB) disebut mengalami kebangkrutan ditengah waktu yang tak disangka. Padahal, kecukupan dana yang dihimpun semasa pandemi tergolong besar.
Selepas pandemi, ada tantangan baru bagi SVB, dengan aktivitas kembali normal, perusahaan teknologi yang jadi 'konsumen' SVB terpaksa melakukan langkah penghematan. Arus pendapatan menyempit, alhasil menurunkan jumlah karyawan setelah peningkatan besar-besaran di pandemi. Ini disinyalir jadi satu penyebab ikut runtuhnya SVB.
"Tapi jika dilihat secara mendalam, bukan pengetatan pendapatan perusahaan teknologi yang menjadi sebab utama SVB kolaps, tapi kenaikan suku bunga The Fed yang terjadi secara berkelanjutan. SVB memang memiliki "captive market" yang sangat spesifik, yakni pelaku Silicon Valley. Tapi imbas pengecilan bisnis perusahaan teknologi justru tak mengganggu likuiditas SVB," kata Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita kepada Liputan6.com, Selasa (14/3/2023).