Liputan6.com, Jakarta - Suku bunga Bank Sentral Eropa (ECB) telah mencapai titik tertinggi dan diprediksi akan bertahan selama beberapa kuartal ke depan di tahun 2024.
Hal itu diungkapkan oleh pengambil kebijakan ECB, Francois Villeroy de Galhau.
Seperti diketahui, ECB telah menghentikan kenaikan mempertahankan suku bunga tetap stabil, sehingga mendorong investor untuk mengalihkan perhatian mereka pada penantian penurunan suku bunga.
Advertisement
"Tidak hanya ada puncak dan turunan: ada juga dataran tinggi, tempat Anda dapat merasakan efek ketinggian dan menikmati pemandangan," ujar Villeroy yang juga menjabat gubernur bank sentral Prancis, dikutip dari US News, Selasa (21/11/2023).
"Itulah yang mungkin akan kami lakukan setidaknya pada beberapa pertemuan berikutnya dan beberapa kuartal mendatang," katanya kepada Society of Professional Economists di London.
Villeroy melihat, konflik Israel-Hamad serta gejolak pasar minyak sepertinya tidak akan menggagalkan penurunan inflasi, meskipun kenaikan dan penurunan inflasi sesekali diperkirakan terjadi dalam beberapa bulan ke depan.
ECB berencana untuk mengarahkan inflasi zona euro menuju target 2 persen pada tahun 2025, meskipun Villeroy bersikeras bahwa angka tersebut adalah rata-rata dan dia tidak terpaku pada target tepat 2,0 persen.
Sejauh ini, inflasi di zona Euro telah turun dengan cepat dalam beberapa bulan terakhir seiring dengan melambatnya perekonomian, meskipun Villeroy mengatakan resesi dapat dihindari dan “soft landing” tampaknya lebih mungkin terjadi.
Meskipun suku bunga kemungkinan akan tetap pada tingkat saat ini dalam waktu dekat, dia mengatakan mungkin perlu untuk mengakhiri pembelian obligasi dalam Program Pembelian Darurat Pandemi senilai 1,7 triliun euro (USD 1,85 triliun) lebih awal dari rencana saat ini untuk akhir tahun 2024.
Dia menambahkan bahwa di masa depan ECB mungkin perlu memberikan kembali beberapa bentuk panduan ke depan mengenai rencana suku bunganya, selama hal tersebut tidak terlalu membatasi ruang untuk bermanuver.
"Bank sentral harus dapat diprediksi, namun tidak berkomitmen terlebih dahulu," ujarnya.
Belum Pede dengan Angka Inflasi AS, The Fed Pikir-Pikir Naikkan Suku Bunga Lagi
Ketua Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell mengatakan bahwa ia dan rekan-rekan di Bank Sentral AS belum yakin kebijakan mereka sudah cukup untuk menjaga momentum inflasi.
Dalam pidatonya di hadapan Dana Moneter Internasional (IMF) di Washington, D.C., Powell menyampaikan bahwa masih banyak upaya yang perlu dilakukan the Fed untuk meredam tingginya harga minyak.
"Komite Pasar Terbuka Federal berkomitmen untuk mencapai kebijakan moneter yang cukup ketat untuk menurunkan inflasi hingga 2 persen seiring berjalannya waktu; kami tidak yakin bahwa kami telah mencapai sikap seperti itu," ujar Powell, dikutip dari CNBC International Jumat (10/11/2023).
"Saya dan rekan-rekan saya merasa bersyukur dengan kemajuan ini, namun kami memperkirakan bahwa proses untuk menurunkan inflasi secara berkelanjutan hingga 2 persen masih memerlukan perjalanan panjang," ungkapnya.
Ia melanjutkan bahwa The Fed sedang berfokus untuk mengkaji apakah suku bunga perlu dinaikkan kembali dan berapa lama suku bunga tetap tinggi.
"Jika diperlukan pengetatan kebijakan lebih lanjut, kami tidak akan ragu untuk melakukannya," katanya.
"Namun, kami akan terus bergerak dengan hati-hati, sehingga memungkinkan kami mengatasi risiko disesatkan oleh data beberapa bulan yang bagus, dan risiko pengetatan yang berlebihan. Kebijakan moneter secara umum berjalan sesuai dengan apa yang kita pikirkan,” kata Powell dalam diskusi setelah pidatonya.
Pidato Powell disampaikan ketika inflasi Amerika Serikat masih jauh di atas target 2 persen The Fed, tetapi juga jauh di bawah level puncaknya pada paruh pertama tahun 2022.
Dalam serangkaian 11 kenaikan suku bunga yang merupakan pengetatan kebijakan paling agresif sejak awal tahun 1980an, komite tersebut menetapkan suku bunga acuan dari mendekati nol ke kisaran target 5,25%-5,5%.
Kenaikan tersebut bertepatan dengan ukuran inflasi pilihan The Fed, yaitu indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi inti, yang turun ke tingkat tahunan sebesar 3,7%, dari 5,3% pada Februari 2022.
Advertisement
Ekonomi AS Tumbuh Kuat, The Fed Bakal Kerek Suku Bunga?
Sebelumnya, ekonomi di Amerika Serikat (AS) berlanjut menguat dengan pertumbuhan ekonomi 4,9 persen pada kuartal III 2023. Pertumbuhan ekonomi itu lebih tinggi dari prediksi pasar 4,3 persen.
Kontribusi utama pertumbuhan ekonomi AS berasal dari peningkatan belanja konsumen yang dipimpin oleh perumahan dan utilitas.
Investasi perumahan meningkat pertama kali dalam hampir dua tahun dan belanja pemerintah dipercepat. Pada tingkat fiskal AS saat ini defisit selain pelonggaran kuantatif pada 2023 bisa menjadi dua kali lipat selama pandemi COVID-19 menjadi USD 2,8 miliar dibandingkan 2021 sebesar USD 1,3 miliar.
Bank sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) mempertahankan pendirian untuk bergantung pada data ekonomi, angka-angka terbaru menunjukkan kekuatan dalam perekonomian dan akan menjadi faktor pendorong bagi the Fed untuk terus menaikkan suku bunga.
Pelaku pasar akan melihat hasil personal consumption expenditure (PCE) inti MoM. PCE adalah indeks yang mengukur tingkat rata-rata kenaikan harga dari konsumsi domestik. Diperkirakan sekitar 0,2 persen-0,3 persen mematahkan tren penurunan sejak Januari 2023 yang dapat menjadi faktor utama penyebab keputusan the Fed ke depan. “Untuk saat ini, berdasarkan data dari CME, pasar masih percaya suku bunga akan dipertahankan meski data kuat,” demikian dikutip dari riset Ashmore.
Sementara itu, Indonesia baru-baru ini melihat tiga pasangan final calon presiden dan kampanye politik akan sering ditemui menjelang pemilihan umum (pemilu) pada Februari. Hal ini mengingat anggaran belanja sosial 2023 sebesar Rp 100 triliun. Diperkirakan pengeluaran akan meningkat ke depan dan dapat menjadi katalis pertumbuhan.