Liputan6.com, Jakarta Pemerintah buka suara mengenai pajak hiburan yang dipatok 40-75 persen. Kebijakan mengenai pajak hiburan ini bahkan diprotes oleh para pengusaha karaoke Inul Daratista.
Lantas, apa sebenarnya pemerintah memberlakukan pajak setinggi ini? Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJP Kemenkeu, Lydia Kurniawati Christyana mengungkapkan yang menjadi dasar penerapan pajak ini adalah demi keadilan.
Lydia menjelaskan, hal itu mempertimbangkan bahwa jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa pada umumnya hanya di konsumsi masyarakat tertentu.
Advertisement
Oleh karena itu, menurutnya perlu penetapan tarif batas bawah atas jenis tersebut guna mencegah penetapan tarif pajak yang race to the bottom atau berlomba-lomba menetapkan tarif pajak rendah guna meningkatkan omset usaha.
“Penetapan tarif, Pemerintah dan DPR telah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, mendasarkan pada praktik pemungutan di lapangan, dan mempertimbangkan pemenuhan rasa keadilan masyarakat khususnya bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu dan perlumendapatkan dukungan lebih kuat melalui optimalisasi pendapatan negara,” kata Lydia, Selasa (16/1/2024).
Pajak PBJT Justru Turun
Meski demikian dia menjelaskan penurunan tarif Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) jasa kesenian dan hiburan secara umum justru turun, dari semula sebesar paling tinggi 35 persen menjadi paling tinggi 10 persen.
Tujuannya untuk menyeragamkan dengan tarif pungutan berbasis konsumsi lainnya seperti makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, dan jasa parkir sebagai bukti komitmen pemerintah mendukung pengembangan pariwisata dan menyelaraskan dengan kondisi perekonomian.
Pengecualian
Disisi lain, Pemerintah juga memberikan pengecualian terkait jasa kesenian dan hiburan untuk promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran. Hal ini menunjukkan pemerintah berpihak dan mendukung pengembangan pariwisata di daerah.
“PBJT atas jasa kesenian dan hiburan bukanlah suatu jenis pajak baru, sudah ada sejak Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Pada masa itu, objek PBJT atas jasa kesenian dan hiburan telah dipungut dengan nama pajak hiburan,” kata Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Lydia Kurniawati Christyana dalam kesempatan media briefing Pajak Hiburan, di Kantor Kementerian Keuangan, Selasa (16/1/2024).
Jenis kesenian dan hiburan meliputi: (i) tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu; (ii) pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; (iii) kontes kecantikan; (iv) kontes binaraga; (v) pameran; (vi) pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap; (vii) pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor.
Kemudian, (viii) permainan ketangkasan; (ix) olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan danperlengkapan untuk olahraga dan kebugaran; (x) rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebunbinatang; (xi) panti pijat dan pijat refleksi; dan (xii) diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Advertisement
Tanggapan PHRI Terkait Pajak Hiburan 40 Persen: Mengancam Kelangsungan Bisnis dan Hambat Penyerapan Tenaga Kerja
Ketetapan pajak hiburan yang besarannya antara 40--75 persen menuai beragam reaksi. Dari sisi pariwisata, kenaikan pajak tersebut dinilai akan memberatkan pemilik bisnis dan justru akan menghambat penyerapan tenaga kerja dan berpengaruh ke banyak sektor.
"Pariwisata itu bisnis kolaborasi, kalau bicara itu berarti ekosistemnya banyak, bukan hanya hotel dan restoran ada hiburan dan transportasi. Hiburan salah satu bagiannya dan itu aspek interest atraksi di sebuah destinasi," ungkap Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran saat dihubungi Liputan6.com melalui sambungan telepon, Selasa (16/1/2024).
"Jadi kalau hiburan tidak kompetitif, maka akan berdampak pada banyak aspek," sambungnya lagi.
PHRI sendiri sudah mengatakan keberatan terkait besaran pajak tersebut. Hal pertama menurutnya dalam membuat kebijakan penetapan pajak tersebut, pemerintah tidak melibatkan dunia usaha dan tidak melihat kemampuan dari wajib pajaknya.
Selain itu, persentase pajak tersebut di tiap daerah juga tidak bisa disamakan karena tiap wilayah pendapatan masyarakatnya pun berbeda. "Pajak tinggi itu biasanya untuk bisnis yang dibatasi ruangnya, tapi apakah bisnis hiburan akan dibatasi pemerintah? Padahal ini (bisnis hiburan) menyerap tenaga kerjanya banyak dan tidak membutuhkan spesial skill," Yusran mempertanyakan.
Kebijakan pajak tersebut pun dinilai besebrangan dengan keinginan pemerintah untuk bisa memperluas lapangan kerja bagi masyarakat. Sementara bisnis hiburan di Indonesia saat ini masih mendapat konotasi "negatif" sehingga mendapat tekanan pajak yang besar, padahal menurutnya tidak selalu demikian