Penerimaan Pajak Melemah, Ada Sinyal Vibecession di Indonesia?

Head of Equity Research Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro menuturkan, vibecession terjadi di Amerika Serikat (AS) seiring data makro ekonomi kuat tetapi sentimen konsumen melemah.

oleh Agustina Melani diperbarui 30 Mei 2024, 17:27 WIB
Diterbitkan 30 Mei 2024, 17:27 WIB
Penerimaan Pajak Melemah, Ada Sinyal Vibecession di Indonesia?
Penerimaan pajak yang merosot dan penurunan laba bersih berbagai perusahaan di pasar modal Indonesia dinilai menggambarkan perlambatan ekonomi yang cukup riil. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Penerimaan pajak yang merosot dan penurunan laba bersih berbagai perusahaan di pasar modal Indonesia dinilai menggambarkan perlambatan ekonomi yang cukup riil.

Hal itu terjadi meski data makro ekonomi seperti produk domestik bruto (PDB) yang masih cukup kuat. Tanda-tanda ini menunjukkan sinyal vibecession dinilai juga terjadi di Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,11 persen pada kuartal I 2024 dari kuartal I 2023 sebesar 5,04 persen. Pada kuartal I 2024, berdasarkan lapangan usaha, industri pengolahan menjadi sumber pertumbuhan tertinggi sebesar 0,86 persen. Sedangkan berdasarkan pengeluaran, sumber pertumbuhan tertinggi dari konsumsi rumah tangga mencapai 2,62 persen.

Akan tetapi, ekonomi Indonesia kuartal I 2024 terhadap kuartal sebelumnya kontraksi 0,83 persen (q-to-q). Dari sisi produksi, kontraksi pertumbuhan terdalam terjadi pada lapangan usaha jasa pendidikan sebesar 10,34 persen. Sedangkan dari sisi pengeluaran, komponen pengeluaran konsumsi pemerintah alami kontraksi pertumbuhan terdalam sebesar 36,69 persen.

Sementara itu, penerimaan negara turun 7,6 persen hingga April 2024 seiring perlambatan ekonomi. Tercatat realisasi penerimaan negara Rp 924,9 triliun hingga April 2023 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 1.000,6 triliun.

Hal itu disebabkan penurunan pajak  korporasi/PPh badan sebesar 35,5 persen dan penurunan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 13,9 persen. Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP yang terdiri dari pembayaran dividen dan royalty dari BUMN dan industri migas juga turun 6,7 persen year on year (YoY).

"Ketegangan fiskal ini menandakan vibecession dalam perekonomian," tulis Head of Equity Research Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro dalam catatannya, dikutip Kamis (30/5/2024).

Satria mengatakan, jika penerimaan pajak turun terutama dari PPN dan PPh korporasi mencerminkan ekonomi yang melemah.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Vibecession Terjadi di AS

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Kemudian, Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) juga masih stabil 123,8. Selain itu, Mandiri Spending Index masih dalam posisi kuat di 46,9, karena dipengaruhi oleh adanya momen Ramadan dan Lebaran 2024. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Satria mengatakan, penerimaan pajak yang relatif melemah serta penurunan laba berbagai perusahaan di Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menggambarkan ada perlambatan ekonomi yang cukup riil, yang dirasakan oleh masyarakat terlepas dari data makro ekonomi seperti Produk Domestik Bruto (PDB) yang masih cukup kuat. Satria mengatakan, penerimaan pendapatan perusahaan yang kurang bagus itu terjadi di sektor konsumen yang terjadi sejak kuartal II tahun lalu.

Ia mengatakan, vibecession ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga Amerika Serikat (AS).

"Vibecession ini juga terjadi di Amerika Serikat. Data-data makro di sana kuat, namun sentimen konsumennya relatif lemah,” kata dia saat dihubungi Liputan6.com lewat pesan singkat.

Masih dalam catatan Bahana, terjadi lonjakan belanja negara sebesar 10,9 persen yoy yang didorong belanja pegawai seiring pencairan tunjangan hari raya (THR) bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain itu, belanja barang negara juga naik 30,3 persen seiring pengadaan keperluan pemilu dan alutsista.

Di sisi lain, pembiayaan tidak terlalu ekspansi seiring pembiayaan bersih hingga April hanya mencapai 13,6 persen dari target 2024. Hal ini sebagian besar disebabkan tingginya pembayaran bunga dan kebutuhan pembiayaan kembali atau refinancing.

“Meningkatnya jumlah penerbitan obligasi menyiratkan tekanan fiskal yang lebih besar pada paruh kedua jika suku bunga kembali naik. Meski terdapat surplus fiskal sebesar Rp 75,7 triliun, waspadai risiko pembiayaan dari backloading penerbitan obligasi pemerintah,”


Pengertian Vibecession

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Pernyataan tersebut menanggapi pandangan fraksi terhadap asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen hingga 5,7 persen dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) RAPBN Tahun 2024. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Mengutip Motley Fool, istilah vibecession ini populer sejak pertengahan 2022. Kata ini merupakan kombinasi dari vibe dan resesi. Ketika ekonomi sudah bangkit dari keterpurukan dan menunjukkan tanda-tanda menguat tetapi tidak terlalu berdampak terhadap kehidupan atau kesejahteraan masyarakat.

Kata ini diciptakan oleh pendidik ekonomi Kyla Scanlon. Ia menuturkan, vibecession sebuah getaran, terjadi ketika indikator ekonomi tampak menunjukkan ekonomi yang kuat, tetapi kesejahteraan ekonomi tidak dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Ekonomi tidak berada dalam resesi, tetapi masyarakat merasa seperti hidup di tengah kemerosotan ekonomi.

Lalu apa yang menyebabkan vibecession?

Harga energi yang tinggi baru-baru ini, inflasi menyusut di toko ritel, dan harga perumahan yang sangat tinggi telah pengaruhi hampir setiap warga Amerika Serikat. Jadi meski PDB, upah dan indikator ekonomi lainnya mungkin menunjukkan tanda-tanda perbaikan, banyak orang merasa tersisih dari pemulihan ekonomi.

 


Penerimaan Pajak Melambat per 15 Maret 2024, Sri Mulyani Bongkar Penyebabnya

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi Pers APBN KiTa Oktober, Rabu (25/10/2023). (Tira/Liputan6.com)
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi Pers APBN KiTa Oktober, Rabu (25/10/2023). (Tira/Liputan6.com)

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mencatat penerimaan pajak hingga 15 Maret 2024 baru mencapai Rp 342,88 triliun. Realisasi tersebut mengalami perlambatan, yakni pertumbuhannya hanya 17,24 persen dari target di APBN 2024.

Perlambatan penerimaan pajak tersebut dikarenakan ada penurunan signifikan harga komoditas pada tahun 2023 yang akibatnya baru dirasakan pada 2024.

"Penerimaan pajak kita agak mengalami tekanan karena harga komoditas yang menurun mulai dari tahun lalu," kata Menkeu dalam konferensi pers APBN Kita Periode 15 Maret 2024, di Kantor Kementerian Keuangan, Senin (25/3/2024).

Akibatnya, kondisi tersebut mendorong perusahaan-perusahaan di dalam negeri meminta restitusi. Kendati demikian, kata bendahara negara ini, penerimaan pajak bruto di luar restitusi masih tumbuh di kisaran 5,74 persen hingga 15 Maret 2024.

"Harga komoditas akan menjelaskan penerimaan pajak terutama karena tahun lalu menurun dan mulai terealisasi 2024 ini pembayarannya," ujarnya.

Realisasi Penerimaan Pajak

Untuk rinciannya, Kemenkeu mencatat realisasi penerimaan pajak hingga 15 Maret 2024 terdiri dari PPh non migas sebesar Rp 203,92 triliun atau 19,18 persen dari target, PPN dan PPnBM sebesar Rp 121,92 triliun atau 15,03 persen dari target, PPh Migas mencapai Rp 14,48 triliun atau 18,95 persen dari target, serta PBB dan pajak lainnya mencapai Rp 2,56 triliun atau 6,79 persen dari target.

"Untuk penurunan PPN dalam negeri dan PPh terutama yang migas juga mengalami penurunan karena harga migas korektif dibandingkan tahun sebelumnya," pungkas Sri Mulyani.

 

Infografis IMF Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Baik
Infografis IMF Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Baik (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya