6 Alasan Tapera Harus Dicabut, Nomor 5 Semua Sepakat

KSPI menilai program Tapera rawan untuk dikorupsi. Said menyebut, dalam sistem anggaran Tapera, terdapat kerancuan yang berpotensi besar untuk disalahgunakan.

oleh Tim Bisnis diperbarui 01 Jun 2024, 21:51 WIB
Diterbitkan 01 Jun 2024, 21:45 WIB
Rumah Subsidi KPR BTN Naik
Kenaikan harga rumah subsidi FLPP ini akan tetap menjaga momentum pertumbuhan KPR Subsidi untuk tahun 2024. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha keberatan dengan program Tabungan perumahan Rakyat (Tapera) yang akan diberlakukan pada 2027. Mereka melihat tanggungan yang dibebankan ke pengusaha terlalu banyak. Tak hanya pengusaha, kalangan buruh pun juga sepakat bahwa Tapera harus dibatalkan. 

bahkan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memiliki enam alasan yang kuat yang menjadi alasan pencabutan Tapera. "KSPI mendesak pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 24 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (PP Tapera)," kata Presiden KSPI Said Iqbal," kata Said Iqbal di Jakarta, Sabtu (1/6/2024).

Alasan pertama adalah peserta Tapera memilki ketidakpastian memiliki rumah meski gaji telah dipotong sebesar 2,5 persen dan perusahaan membayar iuran 0,5 persen per bulan.

"Dengan potongan iuran sebesar 3 persen (tiga persen), dalam sepuluh hingga dua puluh tahun kepesertaannya, buruh tidak akan bisa membeli rumah. Bahkan hanya untuk uang muka saja tidak akan mencukupi," ujarnya.

Kedua, KSPI menilai pemerintah lepas tanggung jawab untuk mengatasi persoalan backlog perumahan. Dalam PP Tapera, tidak ada satu klausul pun yang menjelaskan bahwa pemerintah ikut mengiur dalam penyediaan rumah untuk buruh dan peserta Tapera lainnya.

Program Tapera memfokuskan iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha saja, tanpa ada anggaran dari APBN dan APBD yang disisihkan oleh pemerintah untuk Tapera.

"Dengan demikian, Pemerintah lepas dari tanggungjawabnya untuk memastikan setiap warga negara memiliki rumah yang menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat, disamping sandang dan pangan," ucapnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Alasan Ketiga

Rumah Subsidi KPR BTN Naik
BTN tetap akan menjadi pemain utama pembiayaan KPR Subsidi dengan rata-rata penyaluran 85 persen dari total kuota yang dialokasikan oleh pemerintah. (merdeka.com/Imam Buhori)

Ketiga, membebani biaya hidup buruh di tengah tren penurunan daya beli pekerja akibat upah minimum yang sangat rendah imbas penerapan Undang-Undang Cipta Kerja. KSPI menilai potongan iuran Tapera sebesar 2,5 persen yang harus dibayar buruh akan menambah beban dalam membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.

KSPI mencatat, saat ini potongan yang dikenakan kepada buruh hampir mendekati 12 persen dari upah yang diterima. Antara lain potongan Pajak Penghasilan 5 persen, iuran Jaminan Kesehatan 1 persen, iuran Jaminan Pensiun 1 persen, iuran Jaminan Hari Tua 2 persen, dan rencana iuran Tapera sebesar 2,5 persen.

"Belum lagi jika buruh memiliki hutang koperasi atau di perusahaan, ini akan semakin semakin membebani biaya hidup buruh," tegas Said Iqbal.

Keempat, KSPI menilai program Tapera rawan untuk dikorupsi. Said menyebut, dalam sistem anggaran Tapera, terdapat kerancuan yang berpotensi besar untuk disalahgunakan.

Hal ini karena di dunia ini hanya ada sistem jaminan sosial (social security) atau bantuan sosial (social assistance). Jika jaminan sosial, maka dananya berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah.

Sedangkan bantuan sosial dananya berasal dari APBN dan APBD dengan penyelenggaranya adalah pemerintah. Sementara model Tapera bukanlah keduanya, karena dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak mengiur, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah.

 


Alasan Kelima

BTN Salurkan Lebih dari 735 Ribu Rumah Bersubsidi
Pemilik rumah membuat rangka penguat dapur rumah di Perumahan Griya Samaji,Cieseng, Bogor, Rabu (19/02/2020). BTN pada 2019 telah merealisasikan 735.000 rumah dalam Program pemerintah satu juta rumah dengan kredit kepemilikan rumah bersubsidi sekitar Rp 111 trilyun. (merdeka.com/Arie Basuki)

Kelima, program Tapera dinilai memaksakan pekerja dengan minimum gaji sebesar upah minimum. Padahal, pemerintah menyebut bahwa dana Tapera adalah tabungan, maka seharusnya bersifat sukarela, bukan memaksa.

"Dan karena Tapera adalah tabungan sosial, tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antar peserta, seperti halnya tabungan sosial di program Jaminan Hari Tua (JHT), BPJS Ketenagakerjaan. Subsidi antar peserta hanya diperbolehkan bila program tersebut adalah jaminan sosial yang bersifat asuransi sosial, bukan tabungan sosial," ujarnya.

Keenam, ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana Tapera bagi karyawan swasta. Misalnya, untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) sangat tinggi

"Kalau untuk PNS, TNI, dan Polri, keberlanjutan dana Tapera mungkin berjangka panjang karena tidak ada PHK," urainya

Atas dasar enam alasan tersebut, KSPI akan mempersiapkan aksi besar yang akan diikuti ribuan buruh pada hari Kamis tanggal 6 Juni di Istana Negara, Jakarta, dengan tuntutan untuk mencabut PP No. 2124 tentang Tapera dan merevisi UU Tapera.

 


Program KRIS

Selain itu, buruh akan menyuarakan tuntutan untuk mencabut PP tentang program Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan, menolak Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal, mencabut omnibus law UU Cipta Kerja, dan Hapus Outsourcing Tolak Upah Murah (HOSTUM).

"Selain aksi pada hari Kamis, Partai Buruh dan KSPI dalam waktu dekat akan mengajukan judicial review UU Tapera ke Mahkamah Konstitusi dan judicial review PP Tapera ke Mahkamah Agung," ujar Said Iqbal.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya