Perajin `Lenyap`, Peranti Saji Khas Jambi Terancam Punah

Jumlah perajin peranti saji khas Jambi, berupa wadah dari tembaga kuningan di Jambi semakin menyusut dan bahkan hilang.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 22 Sep 2013, 17:30 WIB
Diterbitkan 22 Sep 2013, 17:30 WIB
perajin-lenyap-130922b.jpg
Kebiasaan warga di Jambi menikmati hidangan menggunakan peranti saji khas daerah perlahan mulai terkikis perkembangan zaman. Ironisnya, para perajin yang dulu rutin membuat perlengkapan makanan dan minuman dari tembaga kuningan kini tak tersisa lagi.

Pengurus Dewan Kreasi Nasional (Dekranas) Provinsi Jambi, Yanti mengungkapkan, jumlah perajin peranti saji, berupa wadah dari tembaga kuningan di Jambi semakin menyusut.

"Saat ini malah perajin sudah tidak ada lagi. Mungkin karena kemajuan zaman dan tak ada regenerasi yang melanjutkan pekerjaan memproduksi peranti saji di Jambi," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com dalam acara Pameran Peranti Saji di JCC, Minggu (22/9/2013).

Padahal, sambung dia, kebiasaan makan menggunakan peranti saji tersebut harus tetap dilestarikan. Meskipun saat ini tradisi serupa dihadirkan dalam acara pernikahan, penyambutan tamu, pengukuhan adat dan acara besar lain.

"Solusinya, bagi yang tidak punya atau kekurangan satu perangkat saji, saling pinjam meminjam saja. Atau bisa juga menyewa di tempat penyewaan peranti saji yang ada di kota Jambi," papar dia.

Acara makan menggunakan peranti saji, menurut Yanti, berasal dari kalangan keluarga bangsawan di masa Kesultanan Taha di abad ke-4. Dia menceritakan, makanan dan minuman disajikan di aneka perangkat sesuai dengan fungsinya.

"Jadi dalam satu meja, harus ada tempat lauk, tempat cuci tangan, tatakan gelas, tempat nasi yang ada sejak abad ke 18 dan 19. Sedangkan piring makan dan mangkuk kecil berasal dari Dinasti Ming," jelasnya.

Pengolahan makanan dalam keseharian warga Jambi, menurut pengurus Dekranas Jambi bernama Leni, diawali dengan minum aek kawo, air tek sirup kayu manis dan air sirup pedada.

"Aek Kawo konon merupakan kopi yang dihasilkan oleh masyarakat Jambi tapi dibeli semua oleh Belanda. Sehingga mereka hanya menikmati kopi dengan mengambil daunnya untuk diminum," tuturnya.

Caranya, daun kopi dipetik ditaruh diatas paroh, lalu daun kopi kering diiris dan direbus. Sesudah itu aek kawo terhidang dalam tabung bambu dengan gelas batok kelapo dan memakai gula merah.

Jenis makanan ini memiliki arti simbolik dan fungsi sosial bagi masyarakat Jambi. Fungsi sosial untuk mempererat kesatuan desa, memperkokoh kedudukan golongan tertentu dalam masyarakat, membedakan status golongan berdasar jenis kelamin, usia dan lainnya.

Menurut Leni, masakan utama yang wajib tersaji dalam acara penting dengan peranti saji khas Jambi antara lain gangan terjun ayam kampung, ikan sengung toman, sate ikan, lalapan dan sambal pijak.

"Ini adalah warisan kuliner yang harus tetap dilestarikan karena sarat dengan permohonan harapan mulia. Keragaman kudapan tersebut melambangkan rasa syukur ketika ada peringatan penting, seperti melahirkan, khitanan, menikah, memasuki rumah baru dan sebagainya," tandas dia. (Fik/Igw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya