Manajemen PT Indoferro memaparkan sekelumit kisah pendirian perusahaan pertambangan ini untuk bisa membangun pabrik besi dan nikel di Cilegon, Jawa Barat. Salah satu cerita menariknya adalah soal perjuangan menempati lahan seluas 25 hektare (ha) yang awalnya merupakan daerah pegunungan batu.
Direktur Pengembangan Indoferro, Jonathan Handojo mengklaim, pihaknya telah merencanakan bisnis hilirisasi dengan membangun smelter sebelum pemerintah merilis Undang-undang (UU) Mineral dan Batu Bara (Minerba) tahun 2009.
"Kami berdiri di tahun 2007 dan sudah memikirkan untuk merencanakan pembangunan smelter. Ini unik karena rencana kami mendahului kebijakan pemerintah hingga akhirnya bisa terealisasi dan mulai produksi di Agustus 2012," ujarnya saat ditemui di kantornya, Cilegon, Jawa Barat, Sabtu (19/10/2013).
Lebih jauh dia menceritakan, perjuangan Indoferro untuk membangun pabrik di kawasan industri yang awalnya merupakan daerah pegunungan batu.
"Kami dapatkan lokasi di sini (Cilegon) yang dulunya gunung batu. Lalu kami blasting selama satu tahun sehingga inilah hasilnya. Mulanya orang bingung, tapi karena kami mau buat proyek yang luar biasa jadi blasting terus berlanjut," jelas Handojo.
Dia mengatakan, perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Fajar Suhendra atau ayah dari Radius Suhendra, Direktur Utama Indoferro ini juga mendapat suntikan dana dari perusahaan baja, Medan di bawah Growth Steel Group.
"Perusahaan ini lahir karena kenekatan keluarga Fajar Suhendra yang mempertaruhkan pendapatan dari perusahaannya yang berbasis di Medan demi terealisasinya pabrik besi dan nikel di Cilegon," tambahnya.
Pabrik Indoferro, sambung Handojo, memproduksi dua produk, yakni besi kasar atau besi asalan (pig iron) dan nikel pig iron yang masing-masing berkapasitas 1 juta ton serta 250 ribu ton setiap tahun.
"Tapi saat ini nikel pig iron kami baru mengandung nikel sebesar 8% atau jauh dibanding China yang sudah mencapai 20%. Padahal dulu nikel pig iron banyak dari industri rumahan di China yang tutup karena dianggap barang kotor," katanya.
Pig iron produksi perseroan, Handojo bilang, berorientasi untuk di ekspor ke luar negeri, antara lain Taiwan, China, India dan lainnya. Sedangkan mayoritas produksi nikel pig iron untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, selain ekspor.
Di samping itu, Indoferro juga memproduksi semen yang dikemas dengan merek Tiga Roda dari Indocement sebanyak 600 ribu ton per tahun. Produksi tersebut didukung dengan blast furnance, tungku peleburan yang menggunakan teknologi terbaik di dunia untuk memproduksi pig iron dan dijadikan baja serta turunanannya seperti stainless steel dan lainnya.
"Sebanyak 70% baja di dunia merupakan hasil produksi blast karena sangat hemat energi, masa produksi selama 40 tahun, menghasilkan besi bermutu tinggi, pemeliharaan sangat efisien, menghasilkan gas buang untuk energi, biaya produksi sangat rendah sehingga menguntungkan bagi kami," pungkas Handojo. (Fik/Ndw)
Direktur Pengembangan Indoferro, Jonathan Handojo mengklaim, pihaknya telah merencanakan bisnis hilirisasi dengan membangun smelter sebelum pemerintah merilis Undang-undang (UU) Mineral dan Batu Bara (Minerba) tahun 2009.
"Kami berdiri di tahun 2007 dan sudah memikirkan untuk merencanakan pembangunan smelter. Ini unik karena rencana kami mendahului kebijakan pemerintah hingga akhirnya bisa terealisasi dan mulai produksi di Agustus 2012," ujarnya saat ditemui di kantornya, Cilegon, Jawa Barat, Sabtu (19/10/2013).
Lebih jauh dia menceritakan, perjuangan Indoferro untuk membangun pabrik di kawasan industri yang awalnya merupakan daerah pegunungan batu.
"Kami dapatkan lokasi di sini (Cilegon) yang dulunya gunung batu. Lalu kami blasting selama satu tahun sehingga inilah hasilnya. Mulanya orang bingung, tapi karena kami mau buat proyek yang luar biasa jadi blasting terus berlanjut," jelas Handojo.
Dia mengatakan, perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Fajar Suhendra atau ayah dari Radius Suhendra, Direktur Utama Indoferro ini juga mendapat suntikan dana dari perusahaan baja, Medan di bawah Growth Steel Group.
"Perusahaan ini lahir karena kenekatan keluarga Fajar Suhendra yang mempertaruhkan pendapatan dari perusahaannya yang berbasis di Medan demi terealisasinya pabrik besi dan nikel di Cilegon," tambahnya.
Pabrik Indoferro, sambung Handojo, memproduksi dua produk, yakni besi kasar atau besi asalan (pig iron) dan nikel pig iron yang masing-masing berkapasitas 1 juta ton serta 250 ribu ton setiap tahun.
"Tapi saat ini nikel pig iron kami baru mengandung nikel sebesar 8% atau jauh dibanding China yang sudah mencapai 20%. Padahal dulu nikel pig iron banyak dari industri rumahan di China yang tutup karena dianggap barang kotor," katanya.
Pig iron produksi perseroan, Handojo bilang, berorientasi untuk di ekspor ke luar negeri, antara lain Taiwan, China, India dan lainnya. Sedangkan mayoritas produksi nikel pig iron untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, selain ekspor.
Di samping itu, Indoferro juga memproduksi semen yang dikemas dengan merek Tiga Roda dari Indocement sebanyak 600 ribu ton per tahun. Produksi tersebut didukung dengan blast furnance, tungku peleburan yang menggunakan teknologi terbaik di dunia untuk memproduksi pig iron dan dijadikan baja serta turunanannya seperti stainless steel dan lainnya.
"Sebanyak 70% baja di dunia merupakan hasil produksi blast karena sangat hemat energi, masa produksi selama 40 tahun, menghasilkan besi bermutu tinggi, pemeliharaan sangat efisien, menghasilkan gas buang untuk energi, biaya produksi sangat rendah sehingga menguntungkan bagi kami," pungkas Handojo. (Fik/Ndw)