Liputan6.com, Jakarta Sepak bola ditahbiskan sebagai permainan olahraga paling populer di Bumi. Bangsa Tiongkok mengklaim sebagai penemu permainan sepak bola, tapi permainan bola yang disepak ditemukan di berbagai kebudayaan mulai dari bangsa Maya di benua Amerika hingga Italia masa Renaisans.
Sepak bola dengan segala keindahannya persis sebuah film yang berlangsung 2 kali 45 menit. Sejatinya, sepak bola punya kemiripan dengan film. Di situ ada perjuangan untuk meraih cita-cita (baca: kemenangan), ada tokoh antagonis (baca: tim lawan), juga pahlawan (baca: pencetak gol), dan terutama, selama 90 menit, sepak bola—persis film—punya jalan cerita yang akan membuat kita bergelora ataubersedih.
Film tentang sepak bola memiliki tingkat keseruan ganda, serunya sebuah film sekaligus sebuah permainan. Ada sejumlah film bertema sepak bola produksi di atas 2005 karya sineas Tanah Air yang asyik ditonton. Bukan tanpa alasan kami memakai tahun 2005 sebagai patokan. Pasca tahun itu bermunculan sejumlah film bertema sepakbola. Film-film keluaran pasca-2005 juga masih relatif mudah dicari DVD atau VCD-nya.
Advertisement
Kami memilihkan lima yang menurut kami paling asyik. Apa saja?
The Conductors
The Conductors (Sutr. Andibachtiar Yusuf, 2007)
Film dokumenter ini sebetuknya tak melulu tentang sepak bola, melainkan para konduktor. Filmnya punya tiga tokoh utama: Addie MS sang konduktor Twilite Orchestra, A. G. Sudibyo sang konduktor Paduan Suara Paragita Universitas Indonesia, dan Yuli Soemphil sang konduktor kelompok suporter klub sepak bola Arema dari kota Malang. Ketiganya menjadi pemimpin dan pembimbing kelompok masing-masing. Penampilan Yuli sebagai pemimpin orkestrasi suporter Arema seakan hendak mengatakan pemimpin yel-yel tim favorit sama mulianya dengan konduktor orkestra lengkap ataupun konduktor paduan suara sebuah universitas ternama. Selain mengangkat derajat konduktor suporter, film ini utamanya juga memperlihatkan keasyikan penggemar bola. Alih-alih membuat gaduh dan rusuh, suporter bola yang ini malah memperlihatkan sportivitas dan menjadikan aksi mereka sebagai sebuah tontonan yang tak kalah mengasyikkan dari laga bola di lapangan hijau.
Advertisement
Gara-gara Bola
Gara-gara Bola (Sutr. Agasyah Karim dan Khalid Kashogi, 2008)
Sepak bola bukan sekadar urusan permainan menang-kalah di lapangan hijau. Lebih dari itu, persoalan menang-kalah juga bisa merembet ke arena judi. Ya, entah sejak kapan setiap pertandingan bola pasti ada yang mewarnainya dengan berjudi, bertaruh sejumlah uang dan berharap tim yang dijagokannya menang. Film ini mengangkat fenomena akibat judi bola. Ya, gara-gara judi bola Ahmad (Winky Wiryawan) dan Heru (Herjunot Ali) keteteran dikejar penagih utang kiriman salah satu bandar judi bola terbesardi Jakarta setelah tim favorit mereka kalah. Berbagai usaha mereka lakukan demi melunasi utang termasuk merencanakan membobol uang di restoran tempat kerja Heru, yang sejatinya milik ayah Heru (diperankan Tarsan). Dengan gayanya yang asyik, tontonan ringan ini punya style macam film-film begundal yang bernasib sial yang dibesut Guy Ritchie. Hasilnya? Bolehlah.
Romeo & Juliet
Romeo & Juliet (Sutr. Andibachtiar Yusuf, 2009)
Andibachtiar Yusuf meminjam kisah drama cinta karya William Shakespeare yang sudah klasik untuk menggambarkan perseteruan abadi antara Persib Bandung dan Persija Jakarta. Di mata Bang Ucup, sapaannya, konflik mereka bak seteru antara keluarga Capulet dan keluarga Montague di tanah Verona. Seperti kisah Romeo dan Juliet, Rangga yang suporter Presija menjakin cinta dengan Desi yang suporter Persib. Cinta mereka tentu tak direstui. Hingga akhirnya, konflik abadi dua kelompok pun membuyarkan akhir bahagia mereka. Lewat film ini tampak sineasnya ingin mengkritik fanatisme pada tim favorit yang cenderung destruktif.
Advertisement
Garuda di Dadaku
Garuda di Dadaku (Sutr. Ifa Isfansyah, 2010)
Garuda di Dadaku adalah Kapten Tsubasa-nya Indonesia. Kisahnya seputar Bayu, yang masih duduk di kelas 6 SD. Ia memiliki satu mimpi dalam hidupnya: menjadi pemain sepak bola hebat. Namun Pak Usman, kakek Bayu, sangat menentang impian Bayu karena menurutnya menjadi pemain sepak bola identik hidup miskin dan tidak punya masa depan. Dibantu teman baru bernama Zahra yang misterius, Bayu dan Heri harus mencari-cari tempat berlatih agar Bayu terpilih dalam seleksi Tim Nasional U-13. Ifa Isfansyah mendongengkan dengan baik film sepak bola yang dimeriahkan tema persahabatan dan perjuangan pembuktian diri.
Tendangan dari Langit
Tendangan dari Langit (Sutr. Hanung Bramantyo, 2010)
Film ini sedikit banyak mengingatkan pada tentang sepak bola buatan Hollywood, Goal! The Dream Begin (2005). Di film `Goal!` kita dikenalkan pada Santiago Munez (diperankan Kuno Becker), seorang pemuda miskin berdarah Hispanik di Los Angeles yang mewujudkan mimpi merumput di Liga Inggris. Dari sebuah desa di lereng gunung Bromo tersebutlah Wahyu (dimainkan dengan asyik oleh Yosie Kristanto), seorang siswa SMA yang punya bakat alam jago main bola. Dari ajang kompetisi sepak bola antar kampung, Wahyu ikut seleksi Persema Malang. Seperti di `Goal!`, mimpi Wahyu nyaris buyar karena mengidap penyakit. Dan seperti `Goal!` juga filmnya punya cameo pesepakbola betulan (Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan). Ya, walau plotnya mirip `Goal!` sang sutradara, Hanung Bramantyo tetap menyajikan tontonan yang asyik. Kisah Wahyu berhasil mengikat emosi kita.
Advertisement