Liputan6.com, Jakarta - Jadilah pemberani. Jadilah orang yang mampu membuat putusan-putusan penting dalam hidup. Tak usah meragu walau seisi dunia menilai konyol bin bodoh. Rupanya itulah prinsip yang dipegang Daniel Alves, bek senior Brasil yang kini memperkuat Paris Saint-Germain. Pekan lalu, dia menularkan prinsip itu kepada Neymar.
Soal keberanian membuat putusan penting dan mengikuti kehendak hati, Alves memang patut diacungi jempol. Dia tak pernah mau terjebak di zona nyaman. Bek kanan asal Brasil itu tanpa ragu meninggalkan Barcelona pada musim lalu. Semusim kemudian, dia juga tak ragu hengkang dari Juventus. Lalu, dia pun menolak reuni dengan Pep Guardiola di Manchester City demi tantangan baru di PSG.
Baca Juga
Entah karena nasihat dari Alves itu atau bukan, Neymar akhirnya berani menyampaikan putusan penting dalam kariernya. Awal Agustus lalu, dia menghadap petinggi Barcelona dan menyampaikan keinginan pergi dari Camp Nou. Tujuannya sudah jelas, menerima pinangan Paris Saint-Germain yang mengaktifkan klausul pelepasannya senilai 222 juta euro.
Pindah dari Camp Nou ke PSG tentu saja terkesan konyol. Apalagi bagi seorang megabintang yang tengah berada di usia terbaik dan digadang-gadang sebagai ikon masa depan Blaugrana. Pergi ke PSG, bagi kebanyakan orang, adalah putusan demi uang semata. Hengkang dari Spanyol ke Prancis adalah kemunduran yang sangat nyata.
Langkah Neymar tak ubahnya melawan arus. Lazimnya, pemain menimba ilmu di Prancis, lalu melompat ke Spanyol, Italia atau Inggris. Itulah yang dilakukan Ronaldinho, Michael Essien, Petr Cech, dan lain-lain. Ligue 1 juga biasanya hanya pelarian bagi pemain-pemain yang sudah berumur seperti Ibra atau tengah terpuruk semisal Mario Balotelli.
Advertisement
Saat ini, pindah ke PSG juga merusak citra diri. Siapa pun yang dengan mudahnya merapat ke klub asal Ibu Kota Prancis itu pasti dicap mata duitan. Tengok saja Lucas Moura, Angel Di Maria, Julian Draxler yang lebih dulu bergabung ke sana. Saat merapat ke Parc des Princes, label mata duitan langsung disematkan kepada mereka.
Orang-orang menutup mata dan telinga terhadap alasan apa pun yang diungkapkan sang pemain. Gabung ke PSG ya pasti karena uang semata. Titik. Nanti pun begitu bila Neymar membeberkan alasan-alasannya. Mereka hanya akan menerima bila dia berkata, "Saya bergabung dengan klub ini demi mendapatkan gaji lebih tinggi dari yang saya terima di Barcelona."
Mereka tak akan mau menerima dalih lain. Padahal, ada cukup banyak alasan logis yang sempat diformulasikan Diario Sport saat rumor kepindahan Neymar mulai mencuat. Kala itu, Sport antara lain menyebut sang pemain ingin lepas dari bayang-bayang Lionel Messi. Lalu, yang tak kalah masuk akal, Neymar kehilangan kebahagian karena Blaugrana melepas rekan-rekan senegaranya. Salah satunya Alves.
Dalam pandangan Ronaldinho, legenda Brasil yang pernah memperkuat PSG dan Barcelona, kebahagian sangatlah penting. Itu pula yang disampaikannya saat mengomentari rumor kepindahan Neymar ke PSG. Menurut dia, Neymar hanya perlu menuruti kata hatinya yang pasti akan membuatnya bahagia.
Nyali Klub
Di balik keberanian Neymar menentukan pilihan, sesungguhnya ada nyali PSG. Klub yang kini dimiliki konsorsium asal Qatar itu begitu berani menunjukkan ambisinya menjadi yang terbaik di Eropa dan dunia. Sudah bukan rahasia, menjadi brand global yang bisa menyaingi Barcelona, Real Madrid, dan Manchester United adalah misi utama PSG.
Atas dasar misi itulah Les Parisiens mendatangkan nama-nama besar macam David Beckham, Zlatan Ibrahimovic, Thiago Silva, dan Di Maria. Mereka siap membayar berapa pun demi mendaratkan pemain incaran. Ini pula yang ditunjukkan saat mereka menebus klausul pelepasan Neymar.
Banyak orang terperangah dan menganggap gila PSG karena mau mengeluarkan uang 222 juta euro demi Neymar. Mereka rupanya lupa, sebelum ini, PSG juga pernah berencana menebus klausul pelepasan Lionel Messi. Gara-gara rencana itulah Barcelona buru-buru menyodorkan kontrak baru dengan klausul pelepasan lebih tinggi, 300 juta euro.
Keberanian PSG juga bukan hanya dalam memburu pemain. Mereka juga berani mempertahankan pemain yang dianggap penting dalam mewujudkan misi menjadi klub terbaik di dunia. Tengok saja kegigihan dalam mempertahankan Marco Verratti. Tawaran 100 juta euro dari Barcelona ditolak mentah-mentah dengan dalih sang pemain masih terikat kontrak.
Keberanian itu dipuji Damien Comolli, eks direktur Liverpool dan Tottenham Hotspur. Dia terang-terangan menyuruh Liverpool mengambil sikap serupa dalam mempertahankan Philippe Coutinho. Menurut dia, The Reds tidak butuh uang. Mereka lebih butuh Coutinho yang jelas-jelas punya kontribusi besar di lapangan.
Lagi pula, bukankah Liverpool juga saat ini sedang menghadapi nyali besar dua klub kecil? Southampton tetap bergeming pada putusan tak melepas bek Virgil van Dijk ke Anfield. Tawaran besar dan sikap kekanakan sang pemain tak membuat mereka melunak.
Kegigihan serupa ditunjukkan RasenBallsport Leipzig dalam mempertahankan Naby Keita. Berkali-kali tawaran The Reds ditolak. Sampai-sampai, Juergen Klopp dengan getir berkelakar, tawaran berikut yang akan diajukan Liverpool kepada Leipzig adalah sebesar 300 juta euro.
Advertisement
Pergeseran Kekuatan
Sikap tegas yang ditunjukkan PSG, Southampton, dan Leipzig adalah sebuah tren baru. Menurut Matthew Le Tissier, legenda The Saints, ini adalah tanda kembali menguatnya posisi klub di bursa transfer. Sekarang ini, menurut dia, klub-klub, terutama di Inggris, sudah mendapatkan uang berlimpah dari hak siar televisi.
Pendapatan yang kian besar itu membuat klub tak mudah tergiur oleh tawaran klub-klub lain. Mereka pun bisa lebih tegas kepada pemain untuk menghormati kontrak. Apalagi kepada pemain seperti Van Dijk yang Mei tahun lalu baru menandatangani perpanjangan kontrak namun lantas merajuk untuk dilepas ke Liverpool.
Tren ini bisa dilihat sebagai kembalinya keseimbangan. Di satu sisi, pemain akan lebih menghormati kontrak dengan klubnya. Di sisi lain, klub-klub besar pun tak bisa lagi memandang klub-klub kecil sebagai breeder dan feeder pemain. Mereka semestinya bisa menghormati misi yang dimiliki klub-klub lain.
Dalam kasus Neymar, Barcelona pun harus menghormati langkah PSG dan sang pemain. Mereka tak bisa berbuat apa-apa karena Les Parisiens setuju menebus klausul pelepasan sang pemain yang sejatinya dibuat sebagai tembok tinggi nan tebal. Dulu, Blaugrana bisa mempertahankan Messi karena sang pemain memang tak ingin pergi. Tapi, sekarang, Neymar sudah tak betah di Camp Nou.
Terkait pergeseran tren dan kekuatan di bursa transfer, menarik juga untuk menyimak komentar Arsene Wenger. Manajer Arsenal itu tenang-tenang saja meskipun tak kurang dari sepuluh pemainnya berada pada masa akhir kontrak.
Menurut Wenger, saat kontrak tinggal semusim, bukan berarti klub harus buru-buru melepas sang pemain. Menjalani musim terakhir pun bukan berarti pemain harus bermalas-malasan dan tampil seadanya. Pemain, tandas The Professor, tetap harus bermain total, terlepas dari berapa lama lagi sisa kontraknya.
Bahkan, Wenger dengan berani memprediski, pemain pergi dengan status free transfer akan jadi tren dalam satu dekade ke depan. Itu tak terlepas dari bursa transfer yang makin gila saat ini. Ke depan, kata dia, klub-klub akan lebih rasional. Mereka tak akan lagi mau mengeluarkan uang sangat besar untuk pemain yang biasa-biasa saja. Klub juga tak akan terlalu peduli pada potensi pendapatan yang hilang karena ada sumber pendapatan lain yang tak kalah besar.
*Penulis adalah jurnalis dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.