Liputan6.com, Jakarta - Tidak ada pemain yang lebih besar dari klubnya. Kiranya ungkapan yang sangat populer ini sukar dibantah. Bagaimanapun, seorang individu yang berstatus karyawan, sehebat apa pun dia, tidak akan lebih besar dari institusi tempatnya berada. Bukan hanya di sepak bola, ini juga berlaku di banyak hal. Di perusahaan tempat Anda bekerja pun rasanya begitu.
Beberapa hari lalu, ungkapan ini kembali bergaung. Kali ini, Josep Maria Bartomeu, presiden klub Barcelona, yang melontarkannya. Sudah bisa diterka, ungkapan itu terkait kepindahan Neymar ke Paris Saint-Germain. Dia kesal karena sang pemain memaksa hengkang walaupun sudah dibujuk untuk tetap bertahan di Camp Nou.
Baca Juga
Memang pantas Bartomeu kesal. Bagaimanapun, tak bisa dimungkiri, Neymar adalah aset sangat berharga. Kehilangan pemain Brasil itu membuat Blaugrana timpang di lini depan. Tak ada lagi Trio MSN, Messi-Suarez-Neymar, yang jadi momok dalam beberapa musim belakangan.
Hal yang membuat Bartomeu tak kalah kesal tentu saja perasaan kecele. Saat memasukkan klausul pelepasan sebesar 200 juta euro di kontrak baru Neymar pada Oktober 2016, dia sudah merasa aman. Angka itu dirasa sangat tinggi, sesuai dengan tujuan klausul pelepasan yang memang untuk membentengi mantan bintang Barcelona ini.
Apalagi angka 200 juta euro itu tidaklah statis. Itu hanya berlaku untuk tahun pertama. Tahun berikutnya, klausul itu naik jadi 222 juta euro. Memasuki tiga tahun terakhir dari kontrak Neymar yang hingga 2021, nilai klausul pelepasan tersebut akan menjadi 250 juta euro.
Advertisement
Rupanya Bartomeu lupa, angka itu masih terlalu rendah sebagai pagar Neymar. Bahkan jika mencapai 250 juta euro pun, klausul pelepasan Neymar masih jauh lebih rendah dibanding pemain-pemain lain. Dia lupa menengok ke tetangga sebelah, Real Madrid, yang memasang klausul pelepasan luar biasa besar. Cristiano Ronaldo dan Gareth Bale dikabarkan punya klausul pelepasan mencapai 1 miliar euro. Lalu, Luka Modric dibentengi angka 500 juta euro.
Secara psikologis, orang cenderung menarik minat membeli ketika banderol harga yang terpasang dinilai terlalu mahal atau tak sesuai dengan jumlah uang di kantong. Di bursa transfer, ketika mendapati banderol 500 juta euro dan 1 miliar euro, siapa pun tentu akan buru-buru menarik langkah mundur.
Angka psikologis ini tentu kian naik seiring makin gilanya bursa transfer dalam beberapa tahun terakhir. Dua tahun lalu, 100 juta euro adalah banderol yang dirasa tak terjangkau. Tapi, setelah transfer Paul Pogba ke Man. United dan Gonzalo Higuain ke Juventus pada tahun lalu, angka itu tak lagi tergolong luar biasa. Transfer Neymar dari Barcelona ke PSG membuat angka itu jadi sangat kecil.
Tergantung Loyalitas
Melihat tren transfer itu, agak aneh juga ketika Barcelona hanya mengeset 200 juta euro di klausul pelepasan Neymar. Di Barcelona pun, itu masih lebih kecil dari Lionel Messi yang dibentengi 300 juta euro saat menandatangani perpanjangan kontrak pada awal Juli lalu. Padahal, Messi adalah pemain yang rasanya akan sangat loyal kepada Blaugrana.
Tanpa klausul pelepasan superbesar pun, sulit membayangkan Messi ingin hengkang dari Camp Nou. Apalagi kontrak baru itu mungkin adalah kontrak terakhirnya sebagai pesepak bola profesional. Dia sangat mungkin memikirkan untuk pensiun di klub yang membesarkan namanya itu.
La Pulga sudah membuktikan loyalitasnya itu. Tiga kali dia menampik pinangan Madrid untuk menjadi judas. Sebelumnya, dia pun pernah menolak tawaran menggiurkan dari Manchester City. Messi sangat tahu berterima kasih walaupun negosiasi kontrak barunya dengan manajemen Barcelona sempat alot juga.
Bagaimanapun, terkait klausul pelepasan, niat sang pemain adalah faktor kunci. Di Spanyol, klausul pelepasan tak bisa serta-merta diaktifkan begitu saja oleh klub peminat. Harus ada kesepakatan terlebih dahulu dengan pemain yang diincar. Itu karena, di Spanyol, pemain yang harus menebus klausul pelepasan. Jadi, klub peminat harus menyerahkan uang melalui sang pemain.
Inilah yang rupanya tak diantisipasi oleh Blaugrana. Kesetiaan Neymar belum teruji. Apalagi dengan pengaruh orang-orang di sekelilingnya. Keluar dari Barcelona bukanlah kemustahilan bagi dia. Sudah begitu, klub-klub teras Eropa terus memantau situasinya. Sebut saja Man. United dan PSG. Bahkan, Les Parisiens harusnya sejak lama diwaspadai. Bukankah mereka pernah mengancam akan menebus klausul pelepasan Messi saat masih 150 juta euro terkait ketertarikan Barcelona kepada Thiago Silva?
Tanda-tanda ketidakbetahan Neymar di Camp Nou pun tak terlalu sulit dilacak. Terakhir, tentu saja saat dia diberitakan tak nyaman lagi berada di bawah bayang-bayang Messi. Neymar sadar, seberapa bagus pun performanya, dia hanya akan jadi nomor dua di Barcelona. Messi bukan hanya ikon, melainkan representasi Blaugrana. Dia seperti Francesco Totti bagi AS Roma.
Terus bertahan di Barcelona, secara otomatis mengurangi kans Neymar meraih impiannya menggenggam Ballon d'Or. Bagaimana mungkin bisa menjadi yang terbaik di dunia bila di klub hanyalah nomor dua, bayang-bayang semata? Di PSG yang membutuhkan ikon baru selepas kepergian Zlatan Ibrahimovic musim lalu, dia pasti jadi protagonis, sang tokoh utama.
Ungkapan tak ada pemain yang lebih besar dari Barcelona juga mungkin sandiwara belaka. Mungkin saja transfer itu malah sangat dinantikan Blaugrana. Bartomeu sengaja mengeset klausul pelepasan yang tak terlalu tinggi agar masih ada klub gila yang menjangkaunya. Itu adalah umpan yang mungkin sengaja dipasang untuk Man. City dan PSG.
Februari 2016 atau delapan bulan sebelum Neymar menandatangani kontrak baru, Guillem Balague, pakar sepak bola Spanyol, memberikan sebuah pernyataan mengejutkan. Menurut dia, kepergian salah satu anggota MSN sangat dimungkinkan.
Balague mengatakan, secara finansial, Barcelona tidak punya cukup kekuatan untuk memperbarui kontrak MSN. "Mereka butuh pemasukan besar. Jika mampu melakukannya, itu akan membuat mereka bisa menahan pemain-pemain tersebut. Namun, jika tidak, mereka harus mendepak salah satunya. Itu sebabnya Neymar tetap membuka pintu bagi Man. United dan yang lainnya," ulas Balague.
Dengan kontribusi besar yang ditunjukkan Trio MSN, posisi tawar Blaugrana saat negosiasi memang agak melemah. Ketiga bintang itu pasti meminta gaji mahatinggi sesuai dengan kontribusi yang diberikan selama ini. Itu terlihat nyata dalam perpanjangan kontrak Messi yang lumayan alot.
Jadi, sangat masuk akal bila kemudian uang 222 juta euro yang didapatkan dari kepergian Neymar sebenarnya membuat kubu Barcelona tertawa. Berbekal uang sebesar itu, mereka bisa menutup banyak pos pengeluaran. Juga bisa untuk belanja pemain baru.
Pernyataan "Tak ada pemain yang lebih besar dari Barcelona" hanyalah obat penenang. Bartomeu mencoba menenangkan para cules bahwa klub tahu apa yang telah, tengah, dan akan dilakukan. Dia pun berusaha mengajak mereka move on, tak meratapi kepergian sang pemain.
Lagi pula, bila ucapan itu benar adanya, seharusnya Barcelona tak perlu kelimpungan mencari pengganti Neymar. Bila percaya diri bahwa kepergian bintang bukanlah petaka, untuk apa lantas mengejar bintang klub lain macam Philippe Coutinho dan Ousmane Dembele? Pada akhirnya, ucapan itu terkesan menunjukkan kepongahan belaka, bahwa kamu boleh pergi karena kami bisa mendatangkan bintang lain. Siapa pun itu dan berapa pun harganya, Barcelona pasti bisa mendapatkannya.
*Penulis adalah jurnalis, komentator dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom @seppginz.
Advertisement