Makassar - Buat pencinta bola basket nasional, nama Johannis Winar tentu tak asing lagi. Dia menjadi sosok yang sukses merebut gelar juara kompetisi basket nasional semasa jadi pemain dan juga pelatih.Â
Winar lahir dari gang kecil di jalan Bontoala Parang, Makassar. Gor Flying Wheel menjadi tempat bermain bagi sosok yang berhasil membawa Pelita Jaya meraih gelar juara Indonesia Basketball League (IBL) dan Perbasi Cup tersebut.
Bukan bermain basket, Winar kecil atau akrab disapa Ahang justru lebih sering bermain layang-layang. Tak pernah terlihat Ahang bermain basket seperti yang dilakukan para saudaranya.
Advertisement
Baca Juga
- Prastawa: Lebih Baik Mogok Bermain daripada Terlibat Match Fixing
- Andakara Prastawa: Kasus Pengaturan Skor Cederai Basket Indonesia
- IBL Sarankan Siliwangi Bandung Boyong Pemain Baru
"Ahang itu waktu kecil lebih sering bermain layangan. Biasanya dia pulang dengan luka-luka karena terjatuh mengejar layangan," ujar Ibu Ahang, Yu Ling Chen, saat dijumpai Bola.com.
Meski lebih menyukai bermain layang-layang, darah basket dalam diri Ahang tetap mengalir deras. Menurun dari sang Ayah, Hendry Winar, yang merupakan mantan pemain nasional, Ahang tetap berlatih basket walau tidak pernah diketahui para sepupunya.
"Biasanya Ahang pulang sekolah jam 12 siang, setelah itu dia langsung bermain basket sebelum sepupunya datang. Menjelang sore, Ahang baru bermain layangan sehingga tidak ada yang tahu dia bisa bermain basket," tutur Ling Chen.
Perasaan kaget keluarga besar Flying Wheel semakin memuncak kala Ahang terpilih masuk tim Sulawesi Selatan untuk Kejuaraan Nasional (Kejurnas) 1988 di Semarang. Berangkat dengan modal nekat, Ahang kembali dengan trofi pencetak skor terbanyak yang membuat Ling Chen dan Hendy terkejut.
Penggalan cerita di atas hingga saat ini tak pernah bisa dilupakan kedua orang tua Ahang. Kejurnas itu pula yang akhirnya membawa Ahang terjun ke dunia basket profesional.
"Semua penghargaan yang didapat Johannis Winar selalu saya simpan, mulai dari piala hingga klipingan berita. Nanti akan saya berikan semua ini saat Ahang ulang tahun pada 24 Desember," ujar Ling Chen.
Â
Â
Â
Terjun Profesional
Sebuah kontrak sederhana di atas kartu nama, resmi menjadikan Ahang pemain klub Kalimantan bernama Banjar Baru. Namun, kisah Ahang bersama Banjar Baru tak berjalan manis.
Keputusan pemilik klub Banjar Baru, Budi Surya, untuk tidak lagi mengikuti Kompetisi Basket Utama (Kobatama) menjadi dilema bagi Ahang. Alhasil, Ahang hanya menjalani hari-hari sebagai pekerja biasa yang mengurusi bagian komputerisasi di Banjar Baru, bukan bermain basket seperti yang diimpikan.
Doa Ahang untuk bisa kembali ke lapangan basket akhirnya terwujud. Klub asal Bandung, Pan Asia Indosyntex menawarkan kontrak kepada Ahang lewat sosok Suhadi Bing Adi. Namun, ada satu masalah besar, Ahang rupanya tak berani berbicara langsung kepada pihak Banjar Baru perihal keinginan pindah klub.
"Saya langsung minta bantuan Mama untuk berbicara kepada pihak Banjar Baru. Terus terang saya tidak berani berbicara saat itu," tutur Ahang.
Musim perdana Ahang di Pan Asia tidak berjalan mulus, gelar juara Kobatama tidak berhasil direbut. Gelar juara Kobatama 1996 jatuh ke tangan Aspac kala itu. Namun, musim perdana Ahang tidak berakhir percuma. Dia berhasil menjadi Most valuable Player dan pencetak skor terbanyak.
Impian Ahang untuk mengangkat trofi baru terwujud pada musim selanjutnya. Tidak tanggung-tanggung, anak layangan tersebut berhasil membawa Pan Asia juara Kobatama dua musim beruntun pada 1997 dan 1998.
Singkat cerita, kisah manis Ahang bersama Pan Asia pada akhrnya harus berakhir pada 2002. Penggemar Boston Celtics tersebut memutuskan meninggalkan Kota Kembang dan bergabung dengan Satria Muda.
"Saya bertanya kepada manajemen Pan Asia apakah masih ada niat untuk menjadi juara? Ternyata sudah tidak dan saya memutuskan pindah ke Satria Muda," tutur Ahang.
Hengkang ke Satria Muda, prestasi Ahang tidak merosot, dia kembali mengangkat satu trofi Indonesia Basketball League (IBL) 2004. Pada 2006, Ahang memutuskan kembali ke Pan Asia yang sudah berganti nama menjadi Garuda Bandung untuk merintis karier sebagai pelatih.
Perjalanan karier Ahang sebagai pelatih tidak berjalan mudah. Pria yang sempat tertabrak motor saat mengejar layangan itu baru benar-benar menangani Garuda Bandung pada 2010. Saat itu kompetensi Ahang sebagai pelatih sempat diragukan karena Garuda era 2010 berisikan pemain dengan materi bintang seperti Cokorda Raka Satrya Wibawa, Denny Sumargo, Gagan Rachmat, dan I Made Sudiadnyana.
Kembali sebagai pelatih, Ahang memberikan trofi Piala Gubernur DKI Jakarta pada 2010 setelah mengalahkan Pelita Jaya Esia di partai final. Setelah itu, karier kepelatihan Ahang terus berlanjut hingga akhirnya bisa menjadi pelatih Pelita Jaya saat ini.
"Saya orang yang tidak pernah setengah-setengah saat melakukan apapun. Saat memutuskan jadi pelatih, saya ingin menjadi pelatih terbaik," ujar Ahang.
Advertisement
Mendapat Bantuan dari Sang Ayah
Menjadi pelatih Pelita Jaya rupanya tak semanis bayangan Ahang. Menangani tim peninggalan Benjamin Alvarezsipin yang dipecat, membuatnya berada dalam tekanan. Apalagi pada musim perdananya Ahang ditinggal beberapa pemain senior Pelita Jaya, seperti Andy Batam, Dimas Aryo Dewanto, dan Kelly Purwanto.
Namun, keadaan itu tidak membuat Ahang putus asa. Dengan cerdik pelatih yang mengidolai sosok Brad Stevens tersebut meramu tim yang pada akhirnya bisa merebut gelar juara IBL 2017.
Pelita Jaya memenangi dua dari tiga gim pada partai final kontra Satria Muda Pertamina. Pada gim pertama, Pelita Jaya menang. Tapi Satria Muda mampu bangkit dan membuat kedudukan imbang 1-1 pada pertandingan berikutnya.
Saat berada dalam tekanan, Ahang beruntung memiliki seorang penasihat seperti sang Ayah, Hendry Winar. Beberapa saat setelah gim kedua, Hendry menelpon Ahang dan memberikan beberapa tips untuk mengalahkan Satria Muda.
"Saya beri tahu Ahang apa yang seharusnya dia lakukan saat gim ketiga. Pada akhirnya dia mengikuti apa yang saya katakan dan Pelita Jaya berhasil menang," tutur Hendry.
Kini setelah Ahang berhasil meraih kesukesan sebagai pemain juga pelatih, baik Hendry dan Ling Chen hanya berharap agar sang putra tidak cepat berpuas diri. Hendry dan Ling Chen kemudian menyampaikan doa serta harapan kepada Ahang.
"Yang terpenting Ahang harus terus rendah hati. Tidak boleh cepat berpuas diri, masih banyak prestasi yang harus diraih termasuk mengembangkan olahraga basket di Indonesia," ujar Ling Chen.