Pakar Percaya Cara Humanis Bisa Minimalisasi Sebaran Hoaks Vaksin Covid-19

Keraguan akan fungsi vaksin Covid-19 melonjak drastis karena ada banyak hoaks alias informasi palsu yang bertebaran di media sosial.

oleh Cakrayuri Nuralam diperbarui 08 Mar 2021, 17:18 WIB
Diterbitkan 08 Mar 2021, 16:00 WIB
Ilustrasi Vaksin Virus Corona COVID-19. (File foto: AFP / John Cairns)
Ilustrasi Vaksin Virus Corona COVID-19. (File foto: AFP / John Cairns)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan Covid-19, Nasrullah, meminta petugas vaksinasi lebih humanis agar tidak ada masyarakat yang tidak ragu dengan vaksin.

Keraguan akan fungsi vaksin Covid-19 melonjak drastis karena ada banyak hoaks alias informasi palsu yang bertebaran di media sosial. Dalam survei Kementerian Kesehatan Indonesia, WHO dan UNICEF yang dilaksanakan pada November 2020 dengan responden lebih dari 112 ribu menunjukkan hanya 64,8 persen yang bersedia divaksin.

"Mari kita sukseskan vaksinasi Covid-19 secara humanis. Vaksinator secara penampilan tidak menimbulkan rasa takut, tapi justru membuat perasaan menjadi nyaman," kata Nasrullah di Banjarmasin, dikutip dari Antara.

Nasrullah mengakui bahwa mengajak orang untuk sehat ternyata tidak mudah. "Seperti ketika vaksinasi Covid-19 dilakukan, bisa jadi sebagian warga ada yang menolak. Tantangan pemerintah adalah bagaimana masyarakat rela untuk divaksin."

Namun perlu disadari, kata dia, ketika awal pandemi banyak yang tidak percaya, padahal tayangan kematian dan pemakaman tanpa dihadiri keluarga setiap hari ditampilkan di berbagai media. Bahkan, orang di sekitar ada yang terkena, tapi masih ada yang abai bahaya Covid-19 dengan tidak disiplin protokol kesehatan.

Menurut dia, penolakan vaksinasi sebenarnya bisa dilihat pada beberapa penyebab. Pertama, bukan karena vaksinasi, tapi warga memang takut disuntik. Sehingga tanpa divaksin pun, mendengar akan disuntik menjadi ketakutan.

Hal itu sebenarnya faktor pola pikir yang jauh ditanam dalam benak manusia sejak kecil. Dokter dalam wujud orang berkaca mata apalagi, membawa tas tenteng, ada stetoskop melingkar di leher, jadilah ia sebagai sosok yang ditakuti.

"Maka sejak kecil kalau ada anak yang nakal diucapkan kalimat untuk menakut-nakuti awas ada dokter, nanti kamu disuntik," beber pakar antropologi masyarakat jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Termakan Hoaks

Faktor kedua, memang karena tidak mau divaksin. Ini karena lebih dahulu mendapatkan informasi yang tidak berimbang. Biasanya kabar hoaks yang juga berisi kecurigaan, ketakutan, dan dampak buruk vaksin.

Bagian paling dasar adalah kemampuan literasi masih rendah, sehingga daya saring dan daya serap informasi yang akurat oleh sebagian masyarakat menjadi lemah.

"Maka, info manfaat atau uji coba vaksin yang telah dilakukan, sehingga layak untuk digunakan harus mampu meyakinkan masyarakat luas," ujarnya.

Nasrullah menilai informasi terkait prosedur vaksinasi juga penting, sebab ada juga warga yang sebaliknya yang ingin segera divaksin. Kelompok ini perlu diakomodasi. Setidaknya mereka mendapatkan kepastian jadwal divaksin.

Oleh karena itu, kata dia, ancaman atau penjatuhan sanksi bukanlah utama. Sebab, tantangan penting adalah bagaimana sosialisasi yang persuasif mampu menyadarkan agar orang mau divaksin.

Sementara vaksinasi berlangsung, pemerintah harus terus menggencarkan sosialisasi. Orang-orang yang telah divaksin menjadi agen perubahan pola pikir warga bahwa suntik vaksin itu hanya perlu waktu sekian detik alias tidak sakit, aman dan halal.

Terlebih lagi jika yang divaksin dari kalangan tokoh agama, ulama, pendeta, sehingga mereka bisa menyampaikan kepada jamaah masing-masing berdasarkan pengalaman.  (ANT)

Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Liputan6.com merupakan media terverifikasi Jaringan Periksa Fakta Internasional atau International Fact Checking Network (IFCN) bersama puluhan media massa lainnya di seluruh dunia. 

Cek Fakta Liputan6.com juga adalah mitra Facebook untuk memberantas hoaks, fake news, atau disinformasi yang beredar di platform media sosial itu. 

Kami juga bekerja sama dengan 21 media nasional dan lokal dalam cekfakta.com untuk memverifikasi berbagai informasi yang tersebar di masyarakat.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silakan menyampaikan kepada tim CEK FAKTA Liputan6.com di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya