Liputan6.com, Jakarta - Ada sebuah kisah saat Republik ini masih dijajah Belanda. Yakni tentang negarawan bernama Agus Salim yang saat itu ditunjuk sebagai diplomat kalangan pribumi. Sebagai diplomat, tentu ia harus berpidato dengan apik di sidang Volksraad, semacam sidang Dewan Rakyat, pada zaman pemerintah Hindia Belanda.
Tak disangka, di hadapan para petinggi Belanda dan Eropa itu, ia malah berpidato dengan menggunakan bahasa Melayu, cikal-bakal bahasa Indonesia. Padahal sebenarnya, ia sangat mahir berbahasa Belanda. Jutaan pribumi saat itu juga lebih fasih berbahasa Belanda ketimbang berbahasa Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
Peristiwa itu berlangsung pada Juni 1927, setahun sebelum Sumpah Pemuda yang melahirkan bahasa Indonesia diikrarkan. Sehingga hari itu juga menjadi kali pertama bahasa Indonesia didengungkan dalam salah satu sidang penting Hindia Belanda.
Pimpinan sidang Volksraad tentu saja tak tinggal diam. Vorzitter menegur dan memotong pidato Agus Salim. Ia meminta kepada yang bersangkutan agar berpidato dengan menggunakan bahasa Belanda sebagaimana lazimnya. Namun dasar Agus Salim, ia ngeyel.
“Saya pandai berpidato dalam bahasa Belanda. Tapi menurut peraturan Dewan, saya punya hak untuk mengeluarkan pendapat dalam bahasa Indonesia,” kilahnya sebagaimana dilansir dari Buku Tanah Air Bahasa.
Vorzitter manggut-manggut dengan argumen masuk akal itu. Agus Salim lalu dipersilakan melanjutkan pidatonya. Namun kegaduhan terjadi ketika Agus Salim tak sengaja menyebut kata ekonomi. Ia ditertawakan banyak orang di ruang sidang.
Salah satu anggota sidang Volksraad bernama Bergmeyer malah sampai menginterupsi dengan nada yang mengejek, “Bung, apa kata ekonomi dalam bahasa Indonesia?”
Agus Salim tak kurang akal. Ia lalu bertanya sekaligus memerintah Bergmeyer, “Coba Saudara sebutkan apa kata ekonomi dalam bahasa Belanda, nanti saya sebutkan bahasa Indonesianya.”
Dalam bahasa Belanda, kata ekonomi ditulis dengan economie, sehingga dari segi penuturan tak jauh berbeda. Toh, waktu itu Agus Salim hanya ingin memberitahukan kepada dunia bahwa bahasa Indonesia itu ada dan bisa digunakan dalam segala bidang, meski masih sangat terbatas kosakatanya.
Peluncuran Kamus Besar Bahasa Indonesia V
Bahasa Indonesia secara resmi dianggap lahir pada 28 Oktober 1928, bertepatan dengan lahirnya Sumpah Pemuda. Padahal, seperti sudah diungkapkan di atas, penggunaan resmi bahasa Indonesia di sidang Volksraad sudah muncul tahun sebelumnya.
Prof Dr Dadang Sunendar, M.Hum, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, mengatakan Kamus Besar Bahasa Indonesia V disusun selama delapan tahun sejak edisi keempat terbit pada 2008.
"Sengaja kami terbitkan pada bulan Oktober, karena itu adalah Bulan Bahasa, dan ada tanggal keramat di situ, yakni 28 Oktober," ujarnya ketika disambangi tim Liputan6.com di kantornya, Selasa pekan lalu.
Dadang menambahkan, sebenarnya tidak ada aturan baku kapan KBBI harus diterbitkan, tapi biasanya bertepatan dengan Kongres Bahasa Indonesia.
"Kongres Bahasa Indonesia yang terakhir 2014, selanjutnya 2018. Tapi karena tuntutan masyarakat sudah banyak, maka dipercepat diterbitkan tahun ini," ia menjelaskan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri direncanakan dan disusun berdasarkan target yang sudah ditetapkan dalam RPJMN Badan Bahasa. Sejak diterbitkan pertama kali pada 1988, KBBI I memiliki jumlah lema sebanyak 62.000. Dua puluh tahun itu, KBBI IV diterbitkan dengan jumlah lema 90.049. Jika dirata-rata, pertambahan lema per tahun dalam KBBI sebesar 1.400 lema per tahun.
Namun, KBBI V yang diluncurkan pada 28 Oktober 2016 yang lalu memiliki jumlah lema sekitar 108.000 atau bertambah sekitar 18.000 selama delapan tahun.
Doktor Dora Amalia, Kepala Subbidang Pengembangan Bahasa, Badan Bahasa, mengatakan hal itu disebabkan pada KBBI V penyusunannya dilakukan secara komputerisasi, tidak lagi manual seperti sebelumnya. "Hal itu mempercepat kerja kami, sekaligus memudahkan kami melihat kesalahan yang ada," tuturnya.
Untuk menjaring kosakata dari masyarakat, Badan Bahasa telah meluncurkan aplikasi pengusul kosakata versi Android pada Mei 2016 dan versi IOS pada Oktober 2016. Namun demikian, ada beberapa syarat agar kata-kata yang diusulkan bisa masuk dalam KBBI.
Dadang Sunendar mengatakan, untuk mengusulkan entri baru, masyarakat setidaknya harus mempertimbangkan lima hal, yaitu: (1) unik konsepnya dan belum ada dalam bahasa Indonesia, (2) seturut kaidah bahasa Indonesia, (3) tidak berkonotasi negatif, (4) sedap didengar secara bunyi, (5) frekuensi pemakaiannya cukup tinggi.
Setelah itu, ujar Dadang, usulan yang masuk akan diteruskan ke meja redaktur, lantas ke meja validator yang kemudian menggelar lokakarya untuk menentukan apakah kosakata tersebut layak dimasukkan ke dalam KBBI atau tidak.
Dora menyebut kadang-kadang terjadi berbagai perdebatan karena para pekamus yang bekerja menyusun KBBI memiliki berbagai macam acuan. Sebab, Badan Bahasa menerapkan seleksi yang sangat ketat untuk menjaga mutu KBBI, utamanya dalam ketepatan definisi.
"Akhirnya, jalan tengahnya adalah meminta pendapat atau meminta masukan dari ahli di bidang tersebut. Jadi, dalam penyusunan KBBI ini, kami berkonsultasi dengan 40 pakar bidang ilmu," ujarnya.
Yang menarik, rupanya kali ini Badan Bahasa tidak mencetak kamus untuk diperjualbelikan. Tahun ini versi cetak terbatas dari KBBI V bersamaan dengan versi daring (dalam jaringan) diterbitkan bersamaan, lalu menyusul versi luring (luar jaringan satu bulan kemudian).
Dadang menyatakan versi cetak akan tetap ada mengingat banyak wilayah yang belum terjangkau internet. Versi daring dan luring diluncurkan karena Badan Bahasa menganggap perkembangan masyarakat sekarang serba cepat.
"Kemudian kalau kita melihat contoh di beberapa negara maju, misalnya di Inggris ada Oxford English Dictionary dan di Amerika, mereka sudah tak mengeluarkan versi cetak, tapi yang ada adalah versi daringnya," ujar Dadang.
Dadang optimistis ke depan KBBI akan memasuki tahapan versi luring dan versi daring. Ia menegaskan apabila di beberapa negara, ada yang mengenakan tarif khusus untuk membuka sebuah kamus, meski kamus itu milik pemerintah, tapi Indonesia tidak.
"Ini semuanya gratis," ujarnya menandaskan.
Advertisement
Perkembangan Bahasa Indonesia
Sudah 89 tahun pidato Agus Salim berlangsung. Bahasa Indonesia masih terus mengalami perkembangan. Ini ditunjukkan dengan banyaknya kata serapan baru yang bertambah setiap hari. Dr Dora Amalia, Kepala Bidang Pengembangan Bahasa Badan Bahasa, menuturkan puluhan hingga ratusan kata baru diserap dan ditemukan dalam sepekan.
“Mungkin dalam sebulan ada ribuan,” ujar Dora saat ditemui Liputan6.com, Selasa, 20 Desember 2016.
Kata baru ini sebagian sudah termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi V. Kamus ini tiga kali lipat lebih tebal dibanding edisi sebelumnya. Ada sekitar penambahan 18.000 lema. Meski demikian, tak semua kata serapan bisa dimasukkan. Badan Bahasa perlu mengendalikan penggunaannya.
Dora menuturkan, kata serapan akan menjadi bumerang untuk bahasa Indonesia jika tidak dikendalikan. Lama-kelamaan, kata dia, bahasa Indonesia yang asli akan terpinggirkan. Tergantikan dengan kata serapan yang merupakan jelmaan dari bahasa asing bukan bahasa daerah.
Dalam hal ini, Badan Bahasa merasa perlu menertibkan bahasa asing sebelum diserap ke dalam bahasa Indonesia. Pertimbangan itu dimaksudkan untuk tetap menjaga keutuhan dan kewibawaan bahasa Indonesia. “Bukan berarti kami anti bahasa asing,” kata Dora.
Doktor leksikografi ini menuturkan, pihaknya memberlakukan sejumlah pertimbangan dalam proses penyerapan bahasa asing. Salah satunya, tingkat keseringan dan jarak penggunaan kata dalam tuturan maupun tulisan. "Ketika kata itu sering digunakan, orang akan bertanya, kata ini apa maknanya, kok di kamus enggak ada,” tutur Dora mencontohkan.
Banyak sekali kata asing yang telah menjadi pilihan kata orang Indonesia untuk memproduksi ujaran, hingga jadi acuan untuk hasil karya dalam dunia pekerjaan. Industri periklanan, misalnya, menjadi industri yang lebih sering menggunakan bahasa Inggris dibanding bahasa Indonesia.
Anwar Natari, Program Manajer Satu Dunia dan pengajar periklanan di media massa, mengakui dunia periklanan memang lebih suka menggunakan bahasa asing dibanding bahasa Indonesia. Ada sejumlah alasan, kata dia, yang melatari penulis materi iklan (copywriter) lebih memilih bahasa asing.
“Ada kata yang menurut mereka enggak ada padanannya yang tepat di bahasa Indonesia. Yang utama sih istilah asing berkesan lebih keren dan berkelas. Kadang-kadang tergantung produknya juga, untuk kelas mana. Selain itu, istilah asing lebih dikenal di pasar. Bikin body text juga lebih gampang pakai bahasa Inggris,” kata Anwari menjelaskan.
Menurut Anwari, penulis materi iklan bukan tak menyadari keberadaan KBBI yang bisa digunakan untuk mencari padanan dalam bahasa Indonesia. Hanya saja, kata dia, banyak di antara penulis materi iklan lebih memilih tutup mata.
"Kadang mereka tahu, tapi cuek, merem. Ada juga yang benar-benar tidak tahu. Bisa jadi karena cuma ada peringatan dan tak adanya hukuman. Karena itulah Badan Bahasa harus lebih aktif menyiarkan undang-undang terkait persoalan bahasa Indonesia di ruang publik," ujarnya menegaskan.
Ini jadi soal tersendiri buat bahasa Indonesia. Dora menyebut perkaranya bukan karena belum ada padanan kata dalam bahasa Indonesia, melainkan dari sisi mentalitas pengguna bahasa yang masih perlu dikoreksi.
Kepala Badan Pusat Bahasa Indonesia Prof Dadang Sunandar sudah jauh-jauh hari menyinggung perkara mentalitas ini. Ia berkali-kali mengimbau institusi maupun instansi di negeri ini supaya menggunakan bahasa Indonesia, meski sekadar untuk menamai sebuah produk.
“Tapi masih ada sebagian anggota masyarakat kita yang tidak menghargai bahasa negara ini. Misalnya di ruang publik, di iklan-iklan, masih banyak bertebaran bahasa asing,” ujar Dadang.
Fenomena itu tentu menjadi hal yang keliru, jika dihadapkan pada tata peraturan negara. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal (36) dengan jelas mengatur, “Nama jalan, nama bangunan, nama permukiman, nama apartemen, nama lembaga pendidikan wajib menggunakan bahasa Indonesia.”
Hanya saja memang belum ada sanksi tegas, baik denda maupun pidana untuk pelanggaran semacam ini. Walhasil, pengutamaan bahasa Indonesia masih bergantung pada kesadaran masing-masing individu.
Meski begitu, Dadang menuturkan, kehadiran bahasa asing tidak bisa dihindari. Apalagi di era kemajuan teknologi. Banyak istilah-istilah baru semisal kata online, offline, gadget dan lain sebagainya.
Namun, Badan Bahasa juga telah mencari padanan bahasa Indonesia untuk menyebut ketiga contoh itu, yakni daring (dalam jaringan), luring (luar jaringan), dan gawai untuk menyebut gadget. “Kami akan selalu mencari padanan-padanan kata agar kita tidak melulu menggunakan bahasa asing,” ujar Dadang Sunendar kepada Liputan6.com.
Terlepas dari sanksi, Dadang cuma khawatir dengan eksistensi bahasa Indonesia. Jika bahasa asing terus menerus digunakan dalam setiap hal, bahasa Indonesia akan terpinggirkan.
Musababnya, cara membunuh bahasa amatlah mudah. Jika bahasa itu sudah tidak mempunyai penutur, bahasa akan dianggap mati. Sebagaimana nasib bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Badan Bahasa mencatat banyak bahasa daerah di Indonesia yang penuturnya hanya tinggal hitungan kedua jari tangan.
Ditambah lagi, jika kita terus menerus menggunakan bahsa asing, bukan tidak mungkin bahasa Indonesia akan punah. Tanpa perlu menunggu sampai anak cucu kita, Anda sendiri bagaimana? Mengertikah dengan kata asli Indonesia seperti tulat, tubin, renjana, dan semenjana. Tanpa membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, kira-kira apa arti kata-kata tersebut?
***
Tentu saja, kegaduhan di ruang sidang gara-gara ulah Agus Salim bukannya tidak berarti apa-apa. Secara tidak langsung yang dilakukan Agus Salim saat itu, yakni menganyam rasa persatuan rakyat seantero Nusantara yang terpecah belah oleh penjajah.
Jika Anda belum lupa, tak lama setelah itu yakni pada 1928, muncul sekumpulan pemuda dari berbagai daerah di Nusantara. Bersatu dalam ikrar agar menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang selanjutnya dikenal dengan Sumpah Pemuda. Dengan kata lain, kewibawaan Republik Indonesia bermula dan dibangun dari bahasa yang satu, bahasa Indonesia.