Citizen6, Semarang: Mendoan, makanan tradisional yang identik dengan kesederhanaan yang biasanya hanya ditemui di rumah atau warung makan sederhana. Namun berkat kreatifitas salah satu alumni mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNNES), makanan khas orang "ngapak" ini berhasil menjadi menu utama di cafe tempat nongkrong mahasiswa.
Mendoan berasal dari kata "mendo" yang berarti lembek atau setengah matang. Seperti namanya, makanan berbahan baku tempe asal daerah Banyumas tersebut merupakan makanan olahan tempe yang digoreng tepung setengah matang serta masih mengandung minyak. Mendoan biasanya disajikan hangat dilengkapi cabai rawit atau sambal kecap.
Di beberapa daerah di Jawa Tengah seperti Semarang, mendoan dibuat tidak "mendo". Hal tersebut membuat para penikmat mendoan asli Banyumasan terkadang rindu mendoan yang sebenarnya. Namun siapa sangka, kerinduan terhadap cita rasa mendoan Banyumasan melatar belakangi Tri Anggoro membuka sebuah cafe mendoan. Pria asal Banjarnegara, Banyumas, yang kerap dipanggil Aang tersebut bahkan rela banting setir dari seorang karyawan kantoran menjadi penjual mendoan.
"Ide itu muncul sejak 2008 lalu waktu saya masih kuliah semester 3. Karena dana dan restu orang tua belum memungkinkan, maka Teras ini baru bisa saya buka 4 bulan yang lalu, " terang Anggoro saat ditemui di tempat "Teras M.R. Bawor" miliknya di Jalan Raya Sekaran, Gunung Pati Semarang, Jumat (14/12/2012). Â
Nama M.R. Bawor sendiri tidak sembarangan ia pilih. M.R. disini bukan berarti mister atau tuan. M.R. merupakan inisial nama seseorang yang enggan ia sebutkan nama lengkapnya. Sedangkan Bawor merupakan nama Banyumasan, yaitu tokoh pewayangan yang dikenal sebagai Bagong.
Ia mengamalkan nilai dari karakter Bawor yaitu cablaka blakasata yang berarti apa adanya dan bersahabat. Ia berharap Teras M.R. Bawor menyajikan menu yang apa adanya dan menjadi tempat mempererat persahabatan pengunjungnya.
Namun menu yang apa adanya ini bukan berarti monotone. Di "Teras M.R. Bawor" miliknya, Ia menyediakan beragam olahan mendoan, seperti mendoan keju, mendoan gulung yang berisi beragam pelengkap, mendoan klenger yang super besar, dan yang istimewa adalah mendoan M.R. Bawor itu sendiri.
"Tempe didatangkan langsung dari Banjarnegara setiap dua hari sekali, jadi makin asli rasanya," ungkapnya Anggoro kembali menambahkan, layaknya tempat nongkrong pada umumnya, dirinya juga menyajikan menu lain seperti beragam jenis kopi, coklat, dan lain sebagainya. Fasilitas pendukung seperti wi-fi gratis dan kartu bridge pun Ia juga sediakan. Bahkan nantinya ia ingin membuat perpustakaan mini di cafenya. "Biar nongkrongnya sehat," ungkapnya.
Alumni Jurusan Pendidikan Ilmu Sejarah yang baru saja wisuda April lalu ini menyatakan kemampuan berbisnisnya ia kembangkan secara otodidak.
Awalnya ilmu berwirausaha ia dapatkan dari sahabat. Sementara, resep mendoan itu ia dapatkan dari nenek dan ibunya. Dari hal ini, ia menekankan betapa pentingnya persahabatan dan kasih seorang ibu terhadap sebuah kesuksesan.
Awalnya usahanya dicemooh banyak orang karena anggapan bahwa menggoreng mendoan adalah pekerjaan yang tidak layak bagi seorang sarjana. Di awal usahanya ia juga sempat mengalami jatuh bangun. Bahkan di bulan pertama ia mengalami rugi dan sempat berhenti setengah bulan. Namun ia justru merasa beruntung pernah gagal. Karena selain cemoohan orang, kegagalan merupakan motivasi untuk terus maju.
Jika bisnisnya terus maju bukan hanya keuntungan finansial yang ia peroleh, budaya tradisional juga mampu ia lestarikan. Pengunjung bukan hanya makan dan nongkrong, mereka dituntut untuk menghargai eksistensi sebuah budaya. Lebih dari sekadar mendoan, mendoan berlabel Bawor, mencirikan bahasa "ngapak" , seperti yang ia tempel di dindingnya: "ora ngapak, ora penak" (tidak ngapak, tidak enak). (Puji Susanti)
Mendoan berasal dari kata "mendo" yang berarti lembek atau setengah matang. Seperti namanya, makanan berbahan baku tempe asal daerah Banyumas tersebut merupakan makanan olahan tempe yang digoreng tepung setengah matang serta masih mengandung minyak. Mendoan biasanya disajikan hangat dilengkapi cabai rawit atau sambal kecap.
Di beberapa daerah di Jawa Tengah seperti Semarang, mendoan dibuat tidak "mendo". Hal tersebut membuat para penikmat mendoan asli Banyumasan terkadang rindu mendoan yang sebenarnya. Namun siapa sangka, kerinduan terhadap cita rasa mendoan Banyumasan melatar belakangi Tri Anggoro membuka sebuah cafe mendoan. Pria asal Banjarnegara, Banyumas, yang kerap dipanggil Aang tersebut bahkan rela banting setir dari seorang karyawan kantoran menjadi penjual mendoan.
"Ide itu muncul sejak 2008 lalu waktu saya masih kuliah semester 3. Karena dana dan restu orang tua belum memungkinkan, maka Teras ini baru bisa saya buka 4 bulan yang lalu, " terang Anggoro saat ditemui di tempat "Teras M.R. Bawor" miliknya di Jalan Raya Sekaran, Gunung Pati Semarang, Jumat (14/12/2012). Â
Nama M.R. Bawor sendiri tidak sembarangan ia pilih. M.R. disini bukan berarti mister atau tuan. M.R. merupakan inisial nama seseorang yang enggan ia sebutkan nama lengkapnya. Sedangkan Bawor merupakan nama Banyumasan, yaitu tokoh pewayangan yang dikenal sebagai Bagong.
Ia mengamalkan nilai dari karakter Bawor yaitu cablaka blakasata yang berarti apa adanya dan bersahabat. Ia berharap Teras M.R. Bawor menyajikan menu yang apa adanya dan menjadi tempat mempererat persahabatan pengunjungnya.
Namun menu yang apa adanya ini bukan berarti monotone. Di "Teras M.R. Bawor" miliknya, Ia menyediakan beragam olahan mendoan, seperti mendoan keju, mendoan gulung yang berisi beragam pelengkap, mendoan klenger yang super besar, dan yang istimewa adalah mendoan M.R. Bawor itu sendiri.
"Tempe didatangkan langsung dari Banjarnegara setiap dua hari sekali, jadi makin asli rasanya," ungkapnya Anggoro kembali menambahkan, layaknya tempat nongkrong pada umumnya, dirinya juga menyajikan menu lain seperti beragam jenis kopi, coklat, dan lain sebagainya. Fasilitas pendukung seperti wi-fi gratis dan kartu bridge pun Ia juga sediakan. Bahkan nantinya ia ingin membuat perpustakaan mini di cafenya. "Biar nongkrongnya sehat," ungkapnya.
Alumni Jurusan Pendidikan Ilmu Sejarah yang baru saja wisuda April lalu ini menyatakan kemampuan berbisnisnya ia kembangkan secara otodidak.
Awalnya ilmu berwirausaha ia dapatkan dari sahabat. Sementara, resep mendoan itu ia dapatkan dari nenek dan ibunya. Dari hal ini, ia menekankan betapa pentingnya persahabatan dan kasih seorang ibu terhadap sebuah kesuksesan.
Awalnya usahanya dicemooh banyak orang karena anggapan bahwa menggoreng mendoan adalah pekerjaan yang tidak layak bagi seorang sarjana. Di awal usahanya ia juga sempat mengalami jatuh bangun. Bahkan di bulan pertama ia mengalami rugi dan sempat berhenti setengah bulan. Namun ia justru merasa beruntung pernah gagal. Karena selain cemoohan orang, kegagalan merupakan motivasi untuk terus maju.
Jika bisnisnya terus maju bukan hanya keuntungan finansial yang ia peroleh, budaya tradisional juga mampu ia lestarikan. Pengunjung bukan hanya makan dan nongkrong, mereka dituntut untuk menghargai eksistensi sebuah budaya. Lebih dari sekadar mendoan, mendoan berlabel Bawor, mencirikan bahasa "ngapak" , seperti yang ia tempel di dindingnya: "ora ngapak, ora penak" (tidak ngapak, tidak enak). (Puji Susanti)