Citizen6, Maroko: Ketika berbicara lebaran tentunya setiap tempat memilki tradisi masing-masing, mulai dari menjelang hari raya sampai menyambut malam takbiran hingga berakhirnya salat hari raya Idul Fitri.
Seperti halnya tradisi lebaran di Indonesia dengan Maroko, selama tiga kali berturut-turut lebaran di Maroko banyak sekali perbedaan yang bisa dijumpai. Namun ada pula sebagian tradisi yang mirip dengan tradisi di Indonesia.
Tradisi mudik
Dalam merayakan Lebaran, Maroko juga memilki tradisi mudik seperti yang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia.Tradisi mudik bisa menjadi moment pengungkapan kemenangan dan kegembiraan setelah sebulan berpuasa. Inilah momentum untuk berkonsentrasi atau berkontemplasi kembali ke jati diri sendiri, merefleksi, dan introspeksi atas pengalaman masa lampau sehingga memunculkan kearifan-kearifan di dalam diri.
Mudik lebaran yang setiap tahun menjadi peristiwa (mobilisasi) rutin luar biasa ini terkadang merepotkan kita untuk mendapatkan tiket keluar kota, jadi jika kita ingin pergi keluar kota, seminggu sebelumnya harus sudah memesan tiket terlebih dahulu. Biasanya tempat tujuan utama bagi warga Indonesia khususnya pelajar Indonesia di Maroko tatkala lebaran tiba yaitu di kota Rabat. Tepatnya di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Rabat.
Berburu baju baru
Lebaran erat sekali hubungannya dengan baju baru. Mulai H-7 kita melihat toko-toko pakaian dipadati pengunjung. Mereka berdesak-desakan untuk memilih-milih busana yang akan mereka beli demi meramaikan tradisi "Baju baru di Hari Lebaran". Mereka berlomba-lomba untuk "memperbarui" tampilan mereka saat Lebaran. Meski sebenarnya masih banyak yang harus diperbaiki selain tampilan kita, yaitu kualitas hidup dan ibadah kita sebagai hamba Allah yang beriman.
Tradisi semacam ini yang biasa kita jumpai di tanah air ternyata tak jauh berbeda dengan Maroko. Masyarakat Maroko khususnya kaum hawa rela berdesak-desakan di tengah teriknya matahari hingga menjelang maghrib. Hampir di semua pasar-pasar di pusat kota selalu di penuhi para pemburu baju baru. Biasanya para pria membeli pakaian tradisional Maroko yang disebut Djellaba (jubah panjang di sertai
penutup kepala) lengkap dengan sandal tradisional. Untuk kaum wanitanya biasanya membeli Takchita atau Kaftan dan juga sandal tradisonal khas Maroko yang sangat cantik untuk dipakai dihari raya.
Malam takbiran
Tatkala matahari tenggelam di akhir bulan Ramadan, gema suara takbir dari corong-corong masjid langsung menyambutnya dengan merdu dan membahana. Suara takbir semakin menggema tatkala iringan sepeda motor dan mobil berarakan di jalan raya sambil mengumandangkan takbir dengan serempak. Tak hanya itu, letusan kembang api juga ikut mewarnai kemeriahan dihari kemenangan ini.
Lain halnya di Maroko yang terkenal dengan sebutan negeri seribu benteng ini. Susana malam takbiran di Maroko laksana kota mati, tak ada suara takbir menggema dari berbagai sudut kota, baik di masjid atau musala. Tak ada istilah takbir keliling dan kembang api. Ketika keluar dari rumah jalanan pun terlihat sepi dan lalu lalang kendaraan berjalan normal seperti biasanya.
Terbiasa dengan suasana riuh dan ramai tatkala malam takbiran tiba, hal ini tentunya membuat hati semakin penasaran, kenapa orang Maroko tidak begitu tertarik untuk merayakan hari kemenangannya. Rasa penasaran itu akhirnya terjawab sudah, ternyata Maroko menyebut hari raya Idul Fitri sebagai hari raya ashor (kecil) dan hari raya Idul Adha sebagai hari raya kabir (besar).
Jadi wajar saja kalau masyarakat Maroko lebih suka untuk merayakan hari raya qurban dari pada hari raya idul fitri. Tidak hanya itu, mereka juga mengganggap sebuah aib jika tidak melaksanakan qurban. Bisa dipastikan ketika hari raya qurban tiba semua masyarakat Maroko sudah mempersiapkan hewan kurban.
Ketupat
Layaknya baju baru, lebaran juga identik dengan ketupat atau sering disebut kupat. Orang jawa mengartikan istilah kupat dengan "ngaku lepat" atau mengakui kesalahan. Biasanya, ketupat disajikan bersama opor ayam dan sambal goreng. Ini pun ternyata ada makna filosofisnya, opor ayam menggunakan santan sebagai salah satu bahannya. Santan, dalam bahasa Jawa disebut santen yang mempunyai berkait dengan "pangapunten" alias memohon maaf. Karena dekatnya kupat dengan santen ini, ada pantun yang sering dipakai pada kata-kata ucapan Idul Fitri: Mangan kupat nganggo santen/ menawi lepat, nyuwun pangapunten (Makan ketupat pakai santan/ bila ada kesalahan mohon dimaafkan).
Sedangkan di Maroko punya sajian istimewa saat Lebaran tiba, yaitu pie ayam. Hidangan ayam yang satu ini rasanya gurih dan sedikit asam. Diberi topping almond yang renyah juga dibumbui dengan air jeruk lemon. Gurih-gurih renyah dan asam! Untuk menandai berakhirnya bulan puasa umumnya dilakukan berbagai persiapan, seperti membuat halawiyat (manisan) atau kue kering dan menyiapkan hidangan lezat dan mewah. Tradisi ini dilakukan warga Maroko menjelang lebaran, biasanya para wanita sibuk di dapur untuk menyuapkan kue-kue. Namun ada juga yang memilih untuk membeli kue jadi di toko terdekat.
Selanjutnya makanan tersebut dihidangkan di atas atas meja ketika hari Lebaran tiba. Sebelum menyantapnya warga Maroko terlebih dahulu menyantap 'Dajaj Muhamar' yaitu ayam panggang yang disajikan dalam piring besar dan dimakan bersama-sama anggota keluarga lainnya.Setelah itu, biasanya seluruh keluarga menikmati teh khas Maroko yang disebut 'Atai'. Teh disajikan dalam teko berdesain cantik dan unik yang disebut 'Barad'.
Di dalam penuangan Atai ini memilki aturan tersendiri. Biasanya setelah dituangkan ke dalam gelas, 'Atai' dimasukan lagi k edalam teko dan dituangkan lagi hingga tiga kali. Kata warga Maroko disitulah letak kenikmatan cita rasa Atai yang sesungguhnya. Karena bila tidak melalui proses tersebut, bagi mereka kurang sempurna. Untuk menemani minuman Atai, biasanya ada makanan pendamping yang diberi nama 'Zamita'.
Bagi WNI yang merayakan lebaran di negeri seribu benteng ini jangan berharap bisa menemukan restoran yang menjual makanan khas nusantara. Jangankan menu masakannya, untuk mendapatkan bumbunya saja tidak ada pasar atau tempat khusus yang menjual bumbu masakan khas Indonesia. Satu-satunya cara untuk mendapatkan menu lebaran tersebut dengan mendatangi wisma duta Indonesia KBRI Rabat untuk melaksanakan salat Idul Fitri yang tiap tahun diadakan di halaman wisma tersebut. Di sinilah segala jenis makanan nusantara bisa ditemui dan dinikmati, mulai dari opor ayam, ketupat, lontong, soto madura, dan lain-lain.
Lebaran di Wisma Duta Indonesia juga merupakan ajang bertemu dengan seluruh warga Indonesia dari segala penjuru Maroko. Bertemu dengan orang-orang yang senasib dan seperjuangan, membuat rasa sedih dan nelangsa hilang saat itu.
Di hari Lebaran ini, Saya mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1434 H. Minal Aidin Wal Faizin Mohon Maaf Lahir dan Batin. (Kusnadi El-Ghezwa/Mar)
Kusnadi El-Ghezwa adalah pewarta warga dan mahasiswa Universitas Imam Nafie, Koordinator Media Informasi PPI Maroko dan Koordinator Lajnah.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas, Ramadan atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media, kuliner dan lainnya ke citizen6@liputan6.com
Seperti halnya tradisi lebaran di Indonesia dengan Maroko, selama tiga kali berturut-turut lebaran di Maroko banyak sekali perbedaan yang bisa dijumpai. Namun ada pula sebagian tradisi yang mirip dengan tradisi di Indonesia.
Tradisi mudik
Dalam merayakan Lebaran, Maroko juga memilki tradisi mudik seperti yang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia.Tradisi mudik bisa menjadi moment pengungkapan kemenangan dan kegembiraan setelah sebulan berpuasa. Inilah momentum untuk berkonsentrasi atau berkontemplasi kembali ke jati diri sendiri, merefleksi, dan introspeksi atas pengalaman masa lampau sehingga memunculkan kearifan-kearifan di dalam diri.
Mudik lebaran yang setiap tahun menjadi peristiwa (mobilisasi) rutin luar biasa ini terkadang merepotkan kita untuk mendapatkan tiket keluar kota, jadi jika kita ingin pergi keluar kota, seminggu sebelumnya harus sudah memesan tiket terlebih dahulu. Biasanya tempat tujuan utama bagi warga Indonesia khususnya pelajar Indonesia di Maroko tatkala lebaran tiba yaitu di kota Rabat. Tepatnya di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Rabat.
Berburu baju baru
Lebaran erat sekali hubungannya dengan baju baru. Mulai H-7 kita melihat toko-toko pakaian dipadati pengunjung. Mereka berdesak-desakan untuk memilih-milih busana yang akan mereka beli demi meramaikan tradisi "Baju baru di Hari Lebaran". Mereka berlomba-lomba untuk "memperbarui" tampilan mereka saat Lebaran. Meski sebenarnya masih banyak yang harus diperbaiki selain tampilan kita, yaitu kualitas hidup dan ibadah kita sebagai hamba Allah yang beriman.
Tradisi semacam ini yang biasa kita jumpai di tanah air ternyata tak jauh berbeda dengan Maroko. Masyarakat Maroko khususnya kaum hawa rela berdesak-desakan di tengah teriknya matahari hingga menjelang maghrib. Hampir di semua pasar-pasar di pusat kota selalu di penuhi para pemburu baju baru. Biasanya para pria membeli pakaian tradisional Maroko yang disebut Djellaba (jubah panjang di sertai
penutup kepala) lengkap dengan sandal tradisional. Untuk kaum wanitanya biasanya membeli Takchita atau Kaftan dan juga sandal tradisonal khas Maroko yang sangat cantik untuk dipakai dihari raya.
Malam takbiran
Tatkala matahari tenggelam di akhir bulan Ramadan, gema suara takbir dari corong-corong masjid langsung menyambutnya dengan merdu dan membahana. Suara takbir semakin menggema tatkala iringan sepeda motor dan mobil berarakan di jalan raya sambil mengumandangkan takbir dengan serempak. Tak hanya itu, letusan kembang api juga ikut mewarnai kemeriahan dihari kemenangan ini.
Lain halnya di Maroko yang terkenal dengan sebutan negeri seribu benteng ini. Susana malam takbiran di Maroko laksana kota mati, tak ada suara takbir menggema dari berbagai sudut kota, baik di masjid atau musala. Tak ada istilah takbir keliling dan kembang api. Ketika keluar dari rumah jalanan pun terlihat sepi dan lalu lalang kendaraan berjalan normal seperti biasanya.
Terbiasa dengan suasana riuh dan ramai tatkala malam takbiran tiba, hal ini tentunya membuat hati semakin penasaran, kenapa orang Maroko tidak begitu tertarik untuk merayakan hari kemenangannya. Rasa penasaran itu akhirnya terjawab sudah, ternyata Maroko menyebut hari raya Idul Fitri sebagai hari raya ashor (kecil) dan hari raya Idul Adha sebagai hari raya kabir (besar).
Jadi wajar saja kalau masyarakat Maroko lebih suka untuk merayakan hari raya qurban dari pada hari raya idul fitri. Tidak hanya itu, mereka juga mengganggap sebuah aib jika tidak melaksanakan qurban. Bisa dipastikan ketika hari raya qurban tiba semua masyarakat Maroko sudah mempersiapkan hewan kurban.
Ketupat
Layaknya baju baru, lebaran juga identik dengan ketupat atau sering disebut kupat. Orang jawa mengartikan istilah kupat dengan "ngaku lepat" atau mengakui kesalahan. Biasanya, ketupat disajikan bersama opor ayam dan sambal goreng. Ini pun ternyata ada makna filosofisnya, opor ayam menggunakan santan sebagai salah satu bahannya. Santan, dalam bahasa Jawa disebut santen yang mempunyai berkait dengan "pangapunten" alias memohon maaf. Karena dekatnya kupat dengan santen ini, ada pantun yang sering dipakai pada kata-kata ucapan Idul Fitri: Mangan kupat nganggo santen/ menawi lepat, nyuwun pangapunten (Makan ketupat pakai santan/ bila ada kesalahan mohon dimaafkan).
Sedangkan di Maroko punya sajian istimewa saat Lebaran tiba, yaitu pie ayam. Hidangan ayam yang satu ini rasanya gurih dan sedikit asam. Diberi topping almond yang renyah juga dibumbui dengan air jeruk lemon. Gurih-gurih renyah dan asam! Untuk menandai berakhirnya bulan puasa umumnya dilakukan berbagai persiapan, seperti membuat halawiyat (manisan) atau kue kering dan menyiapkan hidangan lezat dan mewah. Tradisi ini dilakukan warga Maroko menjelang lebaran, biasanya para wanita sibuk di dapur untuk menyuapkan kue-kue. Namun ada juga yang memilih untuk membeli kue jadi di toko terdekat.
Selanjutnya makanan tersebut dihidangkan di atas atas meja ketika hari Lebaran tiba. Sebelum menyantapnya warga Maroko terlebih dahulu menyantap 'Dajaj Muhamar' yaitu ayam panggang yang disajikan dalam piring besar dan dimakan bersama-sama anggota keluarga lainnya.Setelah itu, biasanya seluruh keluarga menikmati teh khas Maroko yang disebut 'Atai'. Teh disajikan dalam teko berdesain cantik dan unik yang disebut 'Barad'.
Di dalam penuangan Atai ini memilki aturan tersendiri. Biasanya setelah dituangkan ke dalam gelas, 'Atai' dimasukan lagi k edalam teko dan dituangkan lagi hingga tiga kali. Kata warga Maroko disitulah letak kenikmatan cita rasa Atai yang sesungguhnya. Karena bila tidak melalui proses tersebut, bagi mereka kurang sempurna. Untuk menemani minuman Atai, biasanya ada makanan pendamping yang diberi nama 'Zamita'.
Bagi WNI yang merayakan lebaran di negeri seribu benteng ini jangan berharap bisa menemukan restoran yang menjual makanan khas nusantara. Jangankan menu masakannya, untuk mendapatkan bumbunya saja tidak ada pasar atau tempat khusus yang menjual bumbu masakan khas Indonesia. Satu-satunya cara untuk mendapatkan menu lebaran tersebut dengan mendatangi wisma duta Indonesia KBRI Rabat untuk melaksanakan salat Idul Fitri yang tiap tahun diadakan di halaman wisma tersebut. Di sinilah segala jenis makanan nusantara bisa ditemui dan dinikmati, mulai dari opor ayam, ketupat, lontong, soto madura, dan lain-lain.
Lebaran di Wisma Duta Indonesia juga merupakan ajang bertemu dengan seluruh warga Indonesia dari segala penjuru Maroko. Bertemu dengan orang-orang yang senasib dan seperjuangan, membuat rasa sedih dan nelangsa hilang saat itu.
Di hari Lebaran ini, Saya mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1434 H. Minal Aidin Wal Faizin Mohon Maaf Lahir dan Batin. (Kusnadi El-Ghezwa/Mar)
Kusnadi El-Ghezwa adalah pewarta warga dan mahasiswa Universitas Imam Nafie, Koordinator Media Informasi PPI Maroko dan Koordinator Lajnah.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas, Ramadan atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media, kuliner dan lainnya ke citizen6@liputan6.com