Sistem Parlementer Adalah: Pengertian, Ciri, dan Penerapannya di Berbagai Negara

Sistem parlementer adalah sistem pemerintahan di mana eksekutif bertanggung jawab kepada parlemen. Pelajari ciri, kelebihan, dan penerapannya di berbagai negara.

oleh Liputan6 diperbarui 20 Nov 2024, 06:59 WIB
Diterbitkan 20 Nov 2024, 06:59 WIB
sistem parlementer adalah
sistem parlementer adalah ©Ilustrasi dibuat olah AI

Liputan6.com, Jakarta Sistem parlementer merupakan salah satu bentuk sistem pemerintahan yang banyak diterapkan di berbagai negara di dunia. Dalam sistem ini, kekuasaan eksekutif bertanggung jawab langsung kepada badan legislatif atau parlemen. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang pengertian, ciri-ciri, kelebihan dan kekurangan, serta penerapan sistem parlementer di berbagai negara.

Pengertian Sistem Parlementer

Sistem parlementer adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan eksekutif berasal dari dan bertanggung jawab kepada badan legislatif atau parlemen. Dalam sistem ini, kepala pemerintahan (biasanya disebut Perdana Menteri) dipilih oleh parlemen dan harus mempertahankan dukungan mayoritas anggota parlemen untuk tetap berkuasa.

Beberapa karakteristik utama sistem parlementer antara lain:

  • Adanya pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan
  • Eksekutif (kabinet) bertanggung jawab kepada parlemen
  • Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan dipilih oleh parlemen
  • Parlemen memiliki kewenangan untuk menjatuhkan pemerintahan melalui mosi tidak percaya

Dalam sistem parlementer, kepala negara (biasanya seorang presiden atau raja/ratu) memiliki peran yang lebih simbolis dan seremonial. Sementara itu, kepala pemerintahan (Perdana Menteri) menjalankan pemerintahan sehari-hari dan memiliki kekuasaan eksekutif yang nyata.

Sejarah dan Perkembangan Sistem Parlementer

Sistem parlementer berkembang secara bertahap di Inggris selama beberapa abad. Akar-akarnya dapat ditelusuri hingga abad ke-13 ketika Magna Carta ditandatangani, membatasi kekuasaan raja dan memberikan hak-hak tertentu kepada bangsawan. Perkembangan penting lainnya termasuk:

  • Abad ke-17: Terbentuknya kabinet sebagai badan eksekutif yang bertanggung jawab kepada parlemen
  • Abad ke-18: Munculnya jabatan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan
  • Abad ke-19: Perluasan hak pilih dan penguatan peran parlemen
  • Abad ke-20: Penyebaran sistem parlementer ke berbagai negara di dunia

Inggris sering disebut sebagai "ibu dari semua parlemen" karena perannya dalam mengembangkan dan menyebarkan sistem parlementer ke berbagai negara, terutama bekas koloninya. Setelah Perang Dunia II, banyak negara yang baru merdeka mengadopsi sistem parlementer, meskipun beberapa kemudian beralih ke sistem presidensial atau campuran.

Ciri-ciri Sistem Parlementer

Sistem parlementer memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari sistem pemerintahan lainnya. Berikut adalah ciri-ciri utama sistem parlementer:

1. Pemisahan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan

Dalam sistem parlementer, terdapat pemisahan yang jelas antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Kepala negara biasanya dijabat oleh seorang presiden (dalam republik parlementer) atau raja/ratu (dalam monarki konstitusional). Peran kepala negara umumnya bersifat seremonial dan simbolis.

Sementara itu, kepala pemerintahan dijabat oleh seorang Perdana Menteri yang memimpin kabinet dan menjalankan pemerintahan sehari-hari. Perdana Menteri memiliki kekuasaan eksekutif yang nyata dan bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakan pemerintah.

2. Eksekutif Bertanggung Jawab kepada Parlemen

Ciri khas utama sistem parlementer adalah bahwa eksekutif (kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri) bertanggung jawab langsung kepada parlemen. Ini berarti bahwa kabinet harus memiliki dukungan mayoritas di parlemen untuk dapat menjalankan pemerintahan.

Jika kabinet kehilangan dukungan mayoritas, misalnya melalui mosi tidak percaya, maka kabinet harus mengundurkan diri. Hal ini menciptakan hubungan yang erat antara eksekutif dan legislatif, serta memungkinkan adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap pemerintah.

3. Fleksibilitas dalam Pembentukan dan Pembubaran Pemerintahan

Sistem parlementer memungkinkan adanya fleksibilitas dalam pembentukan dan pembubaran pemerintahan. Pemerintahan dapat dibentuk melalui koalisi partai-partai politik yang memiliki mayoritas di parlemen. Jika terjadi perubahan dalam dukungan parlemen, pemerintahan dapat dibubarkan dan pemerintahan baru dapat dibentuk tanpa harus menunggu pemilihan umum berikutnya.

Fleksibilitas ini memungkinkan sistem politik untuk merespons perubahan-perubahan dalam opini publik atau situasi politik dengan lebih cepat dibandingkan dengan sistem presidensial yang memiliki masa jabatan tetap.

4. Perdana Menteri sebagai Primus Inter Pares

Dalam sistem parlementer, Perdana Menteri biasanya dianggap sebagai "primus inter pares" atau "yang pertama di antara yang setara" dalam kabinet. Ini berarti bahwa meskipun Perdana Menteri adalah pemimpin pemerintahan, ia tetap dianggap sebagai bagian dari tim kabinet dan harus bekerja sama dengan menteri-menteri lainnya dalam pengambilan keputusan.

Konsep ini berbeda dengan sistem presidensial di mana presiden memiliki otoritas yang lebih besar dan dapat mengambil keputusan secara lebih independen.

5. Parlemen sebagai Sumber Legitimasi Pemerintahan

Dalam sistem parlementer, parlemen menjadi sumber utama legitimasi pemerintahan. Perdana Menteri dan kabinet harus memiliki dukungan mayoritas di parlemen untuk dapat memerintah. Ini berarti bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah harus mendapat persetujuan parlemen, dan parlemen memiliki kekuasaan untuk mengawasi dan mengontrol tindakan-tindakan pemerintah.

Sistem ini menciptakan hubungan yang lebih erat antara legislatif dan eksekutif dibandingkan dengan sistem presidensial yang memiliki pemisahan kekuasaan yang lebih tegas.

Kelebihan Sistem Parlementer

Sistem parlementer memiliki beberapa kelebihan yang membuatnya menjadi pilihan bagi banyak negara. Berikut adalah beberapa kelebihan utama sistem parlementer:

1. Fleksibilitas dan Responsivitas

Salah satu kelebihan utama sistem parlementer adalah fleksibilitasnya dalam merespons perubahan situasi politik. Jika pemerintah kehilangan dukungan mayoritas di parlemen, pemerintahan baru dapat dibentuk tanpa harus menunggu pemilihan umum berikutnya. Hal ini memungkinkan sistem politik untuk lebih responsif terhadap perubahan opini publik atau krisis politik.

2. Stabilitas Pemerintahan

Meskipun terkesan paradoks, sistem parlementer seringkali menghasilkan pemerintahan yang lebih stabil dibandingkan sistem presidensial. Hal ini karena pemerintah harus mempertahankan dukungan mayoritas di parlemen, yang mendorong terciptanya koalisi dan kompromi antar partai politik. Stabilitas ini penting untuk implementasi kebijakan jangka panjang.

3. Pengawasan yang Kuat

Sistem parlementer memungkinkan adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap pemerintah. Melalui mekanisme seperti pertanyaan parlemen, debat, dan komite-komite pengawasan, parlemen dapat meminta pertanggungjawaban pemerintah atas kebijakan-kebijakannya. Hal ini mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.

4. Menghindari Kebuntuan Politik

Dalam sistem parlementer, kebuntuan politik antara eksekutif dan legislatif lebih jarang terjadi dibandingkan dengan sistem presidensial. Hal ini karena pemerintah harus memiliki dukungan mayoritas di parlemen untuk dapat memerintah, sehingga mendorong terciptanya kerjasama antara kedua cabang kekuasaan tersebut.

5. Representasi yang Lebih Luas

Sistem parlementer, terutama yang menggunakan sistem pemilihan proporsional, cenderung menghasilkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik dalam masyarakat. Hal ini dapat memperkuat legitimasi pemerintahan dan memastikan bahwa berbagai kepentingan dalam masyarakat terwakili dalam proses pengambilan keputusan.

Kekurangan Sistem Parlementer

Meskipun memiliki banyak kelebihan, sistem parlementer juga memiliki beberapa kekurangan yang perlu diperhatikan. Berikut adalah beberapa kekurangan utama sistem parlementer:

1. Potensi Ketidakstabilan

Meskipun sistem parlementer dapat menghasilkan pemerintahan yang stabil, ada juga potensi ketidakstabilan, terutama dalam sistem multi-partai. Jika tidak ada partai yang memiliki mayoritas mutlak, pemerintahan koalisi yang terbentuk mungkin rapuh dan rentan terhadap perpecahan. Hal ini dapat menyebabkan pergantian pemerintahan yang sering, yang dapat mengganggu kontinuitas kebijakan.

2. Dominasi Partai

Dalam sistem parlementer, partai politik memainkan peran yang sangat penting. Hal ini dapat menyebabkan dominasi partai dalam proses politik, di mana loyalitas partai mungkin lebih diprioritaskan daripada kepentingan konstituen. Selain itu, pemimpin partai yang kuat dapat memiliki pengaruh yang berlebihan dalam pengambilan keputusan pemerintah.

3. Kurangnya Pemisahan Kekuasaan

Berbeda dengan sistem presidensial yang memiliki pemisahan kekuasaan yang jelas antara eksekutif dan legislatif, sistem parlementer memiliki batas yang lebih kabur antara kedua cabang kekuasaan ini. Hal ini dapat mengurangi checks and balances dalam sistem pemerintahan.

4. Potensi Tirani Mayoritas

Dalam sistem parlementer, partai atau koalisi yang memiliki mayoritas di parlemen dapat mendominasi proses pengambilan keputusan. Hal ini dapat menyebabkan apa yang disebut "tirani mayoritas", di mana kepentingan kelompok minoritas mungkin terabaikan.

5. Kompleksitas dalam Pengambilan Keputusan

Kebutuhan untuk mempertahankan dukungan mayoritas di parlemen dapat menyebabkan proses pengambilan keputusan menjadi lebih kompleks dan memakan waktu. Pemerintah mungkin perlu bernegosiasi dan berkompromi dengan berbagai kelompok politik untuk mendapatkan dukungan bagi kebijakan-kebijakannya.

Penerapan Sistem Parlementer di Berbagai Negara

Sistem parlementer diterapkan di berbagai negara di seluruh dunia, dengan variasi dan adaptasi sesuai dengan konteks lokal masing-masing negara. Berikut adalah beberapa contoh penerapan sistem parlementer di berbagai negara:

1. Inggris

Inggris sering dianggap sebagai model klasik sistem parlementer. Sebagai monarki konstitusional, Inggris memiliki Raja atau Ratu sebagai kepala negara, sementara Perdana Menteri adalah kepala pemerintahan. Parlemen Inggris terdiri dari dua kamar: House of Commons (Majelis Rendah) yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat, dan House of Lords (Majelis Tinggi) yang sebagian besar anggotanya diangkat.

Perdana Menteri Inggris biasanya adalah pemimpin partai yang memiliki mayoritas di House of Commons. Sistem ini telah menghasilkan pemerintahan yang relatif stabil, meskipun ada periode-periode di mana tidak ada partai yang memiliki mayoritas mutlak, menghasilkan pemerintahan koalisi atau minoritas.

2. Jerman

Jerman menerapkan sistem parlementer dalam bentuk republik federal. Presiden Jerman adalah kepala negara dengan peran sebagian besar seremonial, sementara Kanselir adalah kepala pemerintahan. Bundestag, majelis rendah parlemen Jerman, memilih Kanselir.

Sistem pemilihan proporsional di Jerman sering menghasilkan pemerintahan koalisi, yang mendorong konsensus dan kompromi dalam pengambilan keputusan politik. Sistem ini telah berkontribusi pada stabilitas politik Jerman pasca-Perang Dunia II.

3. India

India, sebagai demokrasi terbesar di dunia, menerapkan sistem parlementer yang diwarisi dari masa penjajahan Inggris. Presiden India adalah kepala negara, sementara Perdana Menteri adalah kepala pemerintahan. Parlemen India terdiri dari dua kamar: Lok Sabha (Majelis Rakyat) dan Rajya Sabha (Dewan Negara).

Sistem multi-partai India sering menghasilkan pemerintahan koalisi, yang mencerminkan keragaman politik dan sosial negara tersebut. Meskipun menghadapi tantangan, sistem parlementer India telah berhasil mempertahankan demokrasi di negara yang sangat beragam ini.

4. Kanada

Kanada adalah contoh lain dari monarki konstitusional dengan sistem parlementer. Raja atau Ratu Inggris adalah kepala negara Kanada, diwakili oleh Gubernur Jenderal. Perdana Menteri adalah kepala pemerintahan yang memimpin kabinet federal.

Parlemen Kanada terdiri dari dua kamar: House of Commons yang dipilih dan Senat yang diangkat. Sistem federal Kanada memberikan otonomi yang signifikan kepada provinsi-provinsi, menciptakan dinamika unik dalam politik nasional.

5. Jepang

Jepang menerapkan sistem parlementer dalam bentuk monarki konstitusional. Kaisar adalah kepala negara dengan peran sebagian besar seremonial, sementara Perdana Menteri adalah kepala pemerintahan. Diet, parlemen Jepang, terdiri dari dua kamar: House of Representatives (Majelis Rendah) dan House of Councillors (Majelis Tinggi).

Sistem parlementer Jepang telah menghasilkan stabilitas politik yang relatif tinggi, dengan Partai Demokrat Liberal mendominasi pemerintahan selama sebagian besar periode pasca-Perang Dunia II.

Perbandingan Sistem Parlementer dengan Sistem Presidensial

Untuk memahami lebih baik tentang sistem parlementer, penting untuk membandingkannya dengan sistem pemerintahan lain yang umum digunakan, yaitu sistem presidensial. Berikut adalah beberapa perbedaan utama antara kedua sistem ini:

1. Pemisahan Kekuasaan

Dalam sistem presidensial, ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara eksekutif (presiden) dan legislatif (kongres atau parlemen). Presiden dan anggota legislatif dipilih secara terpisah dan memiliki masa jabatan yang tetap. Sebaliknya, dalam sistem parlementer, ada fusi kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Perdana Menteri dan kabinet berasal dari dan bertanggung jawab kepada parlemen.

2. Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan

Dalam sistem presidensial, presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dalam sistem parlementer, kedua peran ini biasanya dipisahkan. Kepala negara (presiden atau raja/ratu) memiliki peran sebagian besar seremonial, sementara kepala pemerintahan (Perdana Menteri) menjalankan pemerintahan sehari-hari.

3. Pembentukan Pemerintahan

Dalam sistem presidensial, presiden memilih anggota kabinetnya sendiri, yang biasanya tidak perlu mendapat persetujuan legislatif (kecuali untuk posisi-posisi tertentu). Dalam sistem parlementer, Perdana Menteri dan kabinet harus mendapat dukungan mayoritas di parlemen untuk dapat memerintah.

4. Stabilitas Pemerintahan

Sistem presidensial cenderung lebih stabil dalam hal masa jabatan eksekutif, karena presiden memiliki masa jabatan tetap dan tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif (kecuali melalui proses pemakzulan). Sistem parlementer lebih fleksibel, dengan pemerintahan yang dapat jatuh melalui mosi tidak percaya, tetapi juga dapat lebih cepat merespons perubahan situasi politik.

5. Pengambilan Keputusan

Dalam sistem presidensial, pengambilan keputusan dapat lebih cepat karena presiden memiliki otoritas yang lebih besar. Namun, ini juga dapat menyebabkan kebuntuan jika presiden dan mayoritas legislatif berasal dari partai yang berbeda. Sistem parlementer cenderung mendorong konsensus dan kompromi, tetapi proses pengambilan keputusan mungkin lebih lambat.

6. Representasi

Sistem parlementer, terutama yang menggunakan sistem pemilihan proporsional, cenderung menghasilkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik. Sistem presidensial, terutama dengan sistem pemilihan "winner-take-all", mungkin kurang representatif tetapi dapat menghasilkan pemerintahan yang lebih jelas dan tegas.

Tantangan dan Adaptasi Sistem Parlementer di Era Modern

Sistem parlementer, seperti halnya sistem pemerintahan lainnya, menghadapi berbagai tantangan di era modern. Beberapa tantangan utama dan adaptasi yang dilakukan meliputi:

1. Globalisasi dan Pengambilan Keputusan Cepat

Globalisasi dan perkembangan teknologi telah mempercepat laju perubahan dan meningkatkan kompleksitas masalah yang dihadapi pemerintah. Sistem parlementer, yang sering memerlukan negosiasi dan konsensus, harus beradaptasi untuk dapat mengambil keputusan dengan lebih cepat. Beberapa negara telah mengadopsi mekanisme "fast-track" untuk isu-isu tertentu atau memberikan wewenang lebih besar kepada eksekutif dalam situasi darurat.

2. Polarisasi Politik

Meningkatnya polarisasi politik di banyak negara dapat menantang efektivitas sistem parlementer yang bergantung pada kompromi dan konsensus. Untuk mengatasi hal ini, beberapa negara telah mengembangkan mekanisme untuk mendorong kerjasama lintas partai, seperti komite parlemen yang lebih kuat atau sistem voting yang mendorong pembentukan koalisi.

3. Krisis Kepemimpinan

Sistem parlementer dapat menghadapi krisis kepemimpinan ketika tidak ada partai yang memiliki mayoritas jelas atau ketika koalisi pemerintahan tidak stabil. Beberapa negara telah mengadopsi reformasi untuk mengatasi hal ini, seperti pengenalan ambang batas elektoral yang lebih tinggi untuk mengurangi fragmentasi partai, atau aturan yang memudahkan pembentukan pemerintahan minoritas.

4. Akuntabilitas dan Transparansi

Di era informasi, tuntutan untuk akuntabilitas dan transparansi yang lebih besar semakin meningkat. Sistem parlementer telah merespons dengan memperkuat mekanisme pengawasan parlemen, meningkatkan akses publik ke informasi pemerintah, dan dalam beberapa kasus, memperkenalkan elemen-elemen demokrasi langsung seperti referendum.

5. Representasi yang Lebih Inklusif

Ada tuntutan yang semakin besar untuk representasi yang lebih inklusif dalam pemerintahan, termasuk representasi yang lebih baik untuk perempuan, minoritas, dan kelompok-kelompok yang kurang terwakili. Banyak negara dengan sistem parlementer telah memperkenalkan kuota atau insentif lain untuk meningkatkan keragaman dalam parlemen dan pemerintahan.

6. Teknologi dan Partisipasi Publik

Perkembangan teknologi membuka peluang baru untuk partisipasi publik dalam proses politik. Beberapa parlemen telah mengadopsi platform digital untuk melibatkan warga negara dalam proses legislatif, mengumpulkan masukan publik, atau bahkan memungkinkan voting online untuk isu-isu tertentu.

Kesimpulan

Sistem parlementer adalah salah satu bentuk sistem pemerintahan yang telah terbukti efektif di banyak negara di dunia. Dengan ciri khasnya berupa tanggung jawab eksekutif kepada legislatif, sistem ini menawarkan fleksibilitas dan responsivitas yang tinggi terhadap perubahan situasi politik. Meskipun memiliki tantangan tersendiri, seperti potensi ketidakstabilan dalam pemerintahan koalisi, sistem parlementer telah menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan tuntutan era modern.

Keberhasilan sistem parlementer bergantung pada berbagai faktor, termasuk budaya politik, sistem kepartaian, dan desain konstitusional spesifik dari masing-masing negara. Tidak ada sistem pemerintahan yang sempurna, dan sistem parlementer, seperti halnya sistem lainnya, terus berkembang untuk menghadapi tantangan-tantangan baru.

Dalam konteks global yang semakin kompleks dan saling terhubung, pemahaman yang mendalam tentang berbagai sistem pemerintahan, termasuk sistem parlementer, menjadi semakin penting. Hal ini memungkinkan kita untuk belajar dari pengalaman berbagai negara dan mengembangkan solusi-solusi inovatif untuk tantangan pemerintahan di masa depan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya