Liputan6.com, Phnom Penh - Jauh di pedalaman hutan Kamboja, terdapat sisa-sisa sebuah kota abad pertengahan yang luas. Tersembunyi selama berabad-abad, hingga akhirnya teknik arkeologi terbaru menguak rahasianya. Mirip Atlantis, ia diduga binasa karena bah.
Kisah penemuan berawal dari suatu hari pada April 1858, seorang petualang muda asal Prancis Henri Mouhot, berlayar dari London ke Inggris ke wilayah Asia Tenggara. Selama 3 tahun berikutnya, ia menjelajah, menemukan serangga hutan eksotis yang menyandang namanya.
Kini, Mouhot mungkin akan terlupakan sama sekali, jika bukan karena jurnalnya yang diterbitkan pada 1863 -- 2 tahun setelah kematiannya akibat malaria di Laos, pada usia 35 tahun.
Catatan Mouhot menyandera imajinasi publik bukan karena kumbang dan laba-laba yang ditemukan.
Para pembacara terkesima dengan deskripsinya yang jelas tentang sebuah kuil yang luas yang ditelan hutan. Mouhot memperkenalkan pada dunia, kota abad pertengahan yang hilang: Angkor di Kamboja. Juga romantisme dan kemegahan reruntuhan itu.
"Salah satu dari kuil-kuil itu adalah saingan Kuil Solomon, didirikan oleh para Michelangelo (seniman besar Renaissance) kuno, mungkin akan mendapat tempat terhormat di samping bangunan-bangunan paling indah milik kita (Eropa). Lebih megah dari apapun yang diwariskan Yunani atau Romawi," tulis dia, seperti Liputan6.com kutip dari BBC, Selasa (23/9/2014).
Deskripsinya itu menjadi fantasi, menarik para petualang dan penjelajah menemukan kuil terlupakan tersebut.
Hingga kini, Kamboja terkenal karena bangunan-bangunan kuno itu. Yang terbesar, Angkor Wat, dibangun sekitar tahun 1150 -- ia masih menjadi komplek relijius terbesar di muka Bumi, mencakup area yang 4 kali lebih besar dari Vatican City. Menarik kedatangan 2 juta turis per tahun. Menjadi simbol kebanggaan dalam bendera negara.
Kembali ke tahun 1860-an, Angkor Wat hampir tak pernah terdengar namanya, kecuali di kalangan biarawan dan penduduk setempat. Gagasan bahwa candi besar ini pernah dikelilingi oleh kota berpenghuni hampir satu juta orang sama sekali tidak diketahui.
Butuh waktu lebih dari 1 abad kerja lapangan para arkeolog yang melelahkan, kota Angkor yang hilang perlahan menampakkan diri. Lajur-lajur jalanannya. Namun masih banyak ruang kosong yang belum terungkap di tengah hutan lebat.
Baca Juga
Selanjutnya: 'Atlantis' dalam Hutan....
Advertisement
'Atlantis' dalam Hutan
'Atlantis' dalam Hutan
Tahun lalu, tim internasional yang dipimpin Dr Damian Evans dari University of Sydney memetakan area 370 km persegi di sekitar Angkor. Menggunakan LIDAR (Light Detection and Ranging) - --teknologi penginderaan jauh canggih yang merevolusi arkeologi, terutama di daerah tropis.
Menaiki helikopter, tim menembakkan jutaan sinar laser tiap 4 detik lewat kanopi hutan -- merekam variasi topografi permukaan.
Temuan mereka sangat mengejutkan. Para arkeolog menemukan sisa-sisa struktur di lantai hutan, dengan kuil, jalan raya, dan saluran air rumit menyebar di seluruh lanskap.
"Seperti sebuah momentum 'eureka'. Kota kuno itu terpampang nyata di depanmu," kata Dr Evans.
Temuan tersebut mentransformasi pemahaman kita tentang Angkor, yang mungkin adalah kota abad pertengahan terbesar di Bumi.
Di puncak kejayaannya pada Abad ke-12, Angkor adalah kota metropolis yang ramai seluas 1.000 km persegi -- perlu 700 tahun bagi London untuk mencapai luasan yang sama.Â
Itu adalah bekas ibukota kerajaan Khmer yang kuat, yang diperintah oleh raja-raja dari golongan ksatria. Pemerintahan mereka mendominasi wilayah tersebut selama berabad-abad -- yang mencakup seluruh Kamboja masa kini -- juga sebagian Vietnam, Laos, Thailand, dan Myanmar. Tapi asal-usulnya dan kelahiran kerajaan tersebut terselubung misteri.
Beberapa prasasti memberi petunjuk kerajaan ini didirikan pada awal Abad ke-9 oleh raja besar, Jayavarman II. Ibukota aslinya Mahendraparvata, berada di suatu tempat di bukit Kulen, sebuah dataran tinggi yang lebat yang berada di timur laut
Angkor. Tapi tidak ada yang tahu pasti - sampai tim LIDAR tiba.
Garis samar di lantai hutan menunjukkan keberadaan bangunan diduga candi, jalanan, tanggul dan kolam buatan manusia - sebuah kota yang hilang, ditemukan. Paling mencolok dari semua adalah bukti rekayasa hidrolik skala besar, jejak kemajuan kerajaan Khmer.
Pada saat ibukota kerajaan pindah ke selatan ke Angkor sekitar akhir Abad ke-9, insinyur Khmer yang menyimpan dan mendistribusikan sejumlah besar air hujan musiman yang berharga menggunakan jaringan kompleks kanal besar dan waduk.
Ketersediaan air memberikan ketahanan pangan pada penduduk kala itu, membuat kaum elit yang berkuasa gergelimang harta. Selama 3 abad berikutnya mereka menyalurkan kekayaan mereka untuk mendirikan candi-candi terbesar di dunia.
Salah satu candi, Preah Khan, dibangun pada 1191, memiliki 60 ton emas. Nilainya saat ini sekitar U$ 3,3 miliar.
Meski kaya, kota ini tak bisa menghindar dari masalah. Saat program pembangunan candi dilakukan, jaringan hidrolik vital diduga rusak parah. Akhir periode abad pertengahan juga terjadi perubahan dramatis dalam iklim di Asia Tenggara.
Sampel cincin pohon merekam fluktuasi mendadak antara kondisi kering dan basah ekstrem - dan peta LIDAR mengungkapkan kerusakan bencana banjir pada jaringan air penting kota ini.
Kejayaan Angkor meredup. Pada Abad ke-15, raja-raja Khmer meninggalkan kota mereka dan pindah ke pantai. Mereka membangun sebuah kota baru, Phnom Penh, ibukota Kamboja saat ini.Â
Ketika Mouhot tiba di sana, ia hanya menemukan candi batu besar, banyak yang di antaranya nyaris hancur. Bangunan lain, rumah hingga istana yang terbuat dari kayu sudah membusuk dan binasa.
Kota metropolis yang luas yang pernah mengelilingi candi 'dijajah' oleh alam. Ditelan hutan. Angkor di Kamboja hanya tinggal kenangan. (Yus)
Â
Advertisement