Liputan6.com, Jakarta - Salah satu misteri terbesar dalam dunia penerbangan telah menemukan titik terang: nasib Malaysia Airlines MH370 yang hilang tanpa jejak pada 8 Maret 2014.
Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, mengonfirmasi bahwa bagian sayap atau flaperon yang ditemukan di Pulau La Reunion berasal dari MH370. Meski, belum diketahui pasti di mana badan kapal terbang dan bagaimana nasib 239 orang yang ada di dalamnya.
Penyelidik juga masih harus menemukan kotak hitam: perekam data penerbangan atau flight data recorder (FDR) dan perekam kokpit atau cockpit voice recorder (CVR) untuk menguak apa yang menyebabkan kapal terbang milik maskapai negeri jiran itu berbelok dari rutenya -- Kuala Lumpur ke Beijing -- hingga akhirnya jatuh di Samudera Hindia.
Advertisement
MH370 hanya 1 dari sekian banyak kecelakaan udara yang tidak diketahui pasti penyebabnya.
Tak selalu ada saksi mata dalam sebuah kecelakaan pesawat. Penyebabnya pun tak selalu tunggal, kecuali yang memimpa Malaysia Airlines yang dirudal di langit Ukraina pada 2014.
Secara garis besar, ada 4 penyebab utama kecelakaan pesawat. Berikut penjelasannya:
Kerusakan Mesin
Sebuah studi yang dilakukan Boeing menyebut, masalah pada mesin bertanggung jawab atas 20 persen kecelakaan pesawat komersial. Sejumlah studi juga menyimpulkan hal senada.
Namun, analis kecelakaan penerbangan, pilot, dan perwakilan FAA Safety Team, Kyle Baileyv, mengatakan, "Masalah pada mesin tak sebesar yang diperkirakan orang," kata dia seperti Liputan6.com kutip dari News.com.au, Kamis (6/7/2015).
Pada awal perkembangan teknologi pesawat, masalah pada mesin menjadi tersangka mayoritas kecelakaan. Hingga mencapai 80 persen.
Bailey mengatakan, berkat perkembangan teknologi, angka tersebut turun. "Sistem backup, redundansi, dan komputer memeriksa tindakan pilot 3 kali," kata dia. Ditambah lagi, kapal terbang modern dibuat dengan lebih baik.
"Kapal terbang tak seperti membeli mobil seharga US$ 30 ribu. Butuh US$ 400 juta untuk membeli sebuah Boeing 747," kata Bailey. "Setiap komponennya dibuat oleh para insinyur dengan standar yang tepat," kata dia.
Kemajuan teknologi pesawat menjadi faktor yang paling sering dikaitkan dengan penurunan jumlah kecelakaan yang signifikan dan menandai perbaikan keselamatan penerbangan komersial dalam beberapa tahun terakhir.
"Pesawat didesain dan dibuat begitu aman. Bahkan sebagai pilot, sulit bagiku untuk memahami seberapa aman sebenarnya sebuah kapal terbang," tambah Bailey.
Advertisement
Faktor Cuaca
Dewan Keselamatan Transportasi Amerika Serikat atau The US National Transportation Safety Board menemukan cuaca adalah faktor utama dalam 23 persen jumlah kecelakaan pesawat. Tak pandang bulu, kapal terbang besar atau kecil.
Bailey mengatakan, bahkan menghadapi cuaca lebih parah daripada yang bisa ditangani sebuah pesawat, bisa berujung ke masalah.
Ia mencontohkan insiden kecelakaan AirAsia Penerbangan QZ8501 pada Desember 2014, yang jatuh dalam penerbangan dari Surabaya menuju Singapura, yang menewaskan 162 orang di dalamnya.
Badai petir di ketinggian 50 ribu kaki dilaporkan terjadi di lokasi kecelakaan, dan dipertimbangkan sebagai faktor penyebab burung besi itu berakhir di Selat Karimata.
"Cuaca seperti itu terjadi hampir setiap hari di sekitar area tersebut. Dan pilot belajar untuk bermanuver saat melaluinya," kata Bailey.
Sekitar 90 persen upaya berjalan dengan baik atau berhasil. "Namun, selalu ada kemungkinan sepersekian persen bahwa sesuatu akan terjadi, yang mengarah pada bencana," tambah dia.Â
"Seseorang bisa jadi salah mengartikan sesuatu dan baru menyadarinya setelah pesawat berada terlalu dekat atau bahkan di pusat badai," ujar Bailey.
Kesalahan Manusia
Angka persentase masih bervariasi. Namun, sejumlah ahli sepakat: kesalahan manusia (human error) adalah faktor terbesar yang menyebabkan kecelakaan pesawat. Dalam hal ini terutama para penerbang.
Situs PlaneCrashInfo.com menganalisis 1.015 kecelakaan fatal yang melibatkan pesawat komersial di seluruh dunia, dari tahun 1950 hingga 2010. Dari telaah itu ditemukan bahwa kekeliruan yang dilakukan pilot berkontribusi 53 persen sebagai penyebab.
"Kapal terbang adalah objek yang sangat rumit, canggih, dan punya sistem back up. Kecelakaan biasanya terjadi karena faktor kesalahan pilot," kata Bailey. "Jika seseorang menghampiriku dan berkata, 'pesawat itu tidak aman...bla..bla..bla'. Aku akan selalu merespons, 'Anda tak seharusnya takut pada benda itu, yang harus diwaspadai justru adalah unsur manusia'."
Dan jika menggabungkan semua faktor orang -- kesalahan pilot, mekanik, dan petugas pengendali lalu lintas udara -- Boeing mengestimasi unsur kesalahan manusia pada umumnya mencakup 80 persen dari semua kecelakaan pesawat.
Kesalahan manusia juga bisa memperparah potensi kecelakaan yang sejatinya dipicu hal lain. Cuaca atau masalah mesin.
Seperti halnya dalam kecelakaan TransAsia Airways Penerbangan GE235 di Taiwan Februari lalu. Kala itu pesawat menabrak jembatan sebelum jatuh ke sungai -- yang menewaskan 43 dari 58 orang di dalamnya.
Masalah pada pesawat itu berawal saat salah satu dari 2 mesinnya tak berfungsi. Namun, kesalahan pengambilan keputusan di kokpit diyakini menjadi penyebab kecelakaan.
"Pilot secara tak sengaja keliru mematikan mesin," kata Bailey. Alih-alih rusak, penerbang TransAsia diduga mematikan mesin yang justru bekerja dengan baik.
Namun, kita tak bisa menjelaskan secara rinci faktor manusia dalam sebuah insiden kecelakaan pesawat. Pilot juga manusia. Mereka tak kebal pada stres rumah tangga, tekanan pekerjaan, kelelahan, atau kurangnya konsentrasi yang bisa mengarah pada kecelakaan.
Advertisement
Kesengajaan
Faktor kesengajaan manusia relatif jarang ditemukan, "hanya" 8 persen dari total jumlah kecelakaan pesawat sejak 1950-an. Demikian menurut PlaneCrashInfo.com. Namun, fakta membuktikan, hal itu nyata.
Termasuk dalam kategori itu adalah skrenario yang paling mengerikan: terorisme. Kecelakaan beruntun terkait serangan teror 9/11 masuk kategori itu.
Meski motif berbeda, kasus Germanwings penerbangan 4U9525, juga termasuk faktor itu. Pesawat terbang tersebut diduga kuat sengaja ditabrakkan kopilot ke pegunungan pada Maret 2015 lalu. Sebanyak 150 orang tewas, termasuk sang pilot yang terkunci di luar kokpit dan terekam panik menggedor pintu.Â
 Namun, untuk kasus Germanwings, Bailey mengatakan, fakta yang ditemukan sungguh mencemaskan.
"Kebanyakan pilot adalah orang-orang yang berdedikasi tinggi," kata dia. "Namun, yang jelas pilot juga manusia, dan mereka juga punya masalah."
Di balik itu semua, ada kabar baik soal penerbangan.
Tak adil hanya melihat statistik kecelakaan penerbangan tanpa mempertimbangkan fakta yang gamblang: pesawat terbang adalah moda transportasi yang sangat aman dan makin aman -- meski ada juga kecelakaan yang mengerikan seperti pesawat MH370.
International Air Transport Association mengatakan, tingkat kecelakaan pesawat global tahun lalu adalah yang terendah dalam sejarah. Setara 1 kecelakaan dalam 4,4 juta penerbangan.
Jumlah keseluruhan korban jiwa dalam kecelakaan maskapai penerbangan komersial dalam posisi terendah, di tengah kondisi nyata makin meningkatkan jumlah maskapai dan pesawat dalam beberapa dekade terakhir. (Ein/Yus)