Liputan6.com, Tete - Hari ini dua tahun lalu, tepatnya pada 10 Januari 2015, tercatat sebagai momentum kematian pertama dari orang-orang yang menenggak bir 'beracun' yang tercampur empedu buaya.
Otoritas kesehatan di Mozambik menduga, ada 69 orang -- sumber lainnya menyebut jumlah korban mencapai 75 -- tewas akibat meminum bir tradisional yang sudah terkontaminasi 'racun' yang disajikan saat acara pemakaman.
Baca Juga
Pombe, bir tradisional Mozambik yang terbuat dari millet atau tepung jagung, yang difermentasi selama dua hari, sering disajikan saat acara dan dijual di daerah pedesaan di negara itu.
Advertisement
Pemerintah pun menyatakan tiga hari berkabung setelah kematian massal akibat keracunan tersebut.
Paulo Bernando, Direktur Kesehatan di Provinsi Tete, timur laut Mozambik mengatakan, sebanyak orang 196 lainnya dirawat di rumah sakit.
"Orang-orang dilarikan ke rumah sakit, mengeluh diare dan nyeri otot. Kemudian banyak jasad dari berbagai kampung dibawa ke rumah sakit, dan hal itu menjadi peringatan bagi kami," ujar Bernando kepada Radio Mozambik yang dikutip dari The Guardian kala itu.
Ketika buaya dibunuh, empedu milik reptil itu harus segera dilepas dan dikuburkan di depan saksi mata. Menurut beberapa tradisi Afrika, hal itu dilakukan agar tak digunakan sebagai racun.
Pihak berwenang kesehatan menduga, cairan berwarna hijau kecoklatan nan mematikan itulah yang diyakini dimasukkan ke dalam bir tradisional, yang menewaskan pelayat pertama pada 10 Januari di Provinsi Tete.
Seorang pejabat kesehatan, Alex Albertini, mengatakan bahwa keracunan racun buaya adalah hal lumrah di sana.Â
"Korban keracunan yang diduga sedang menghadiri pemakaman jasad bayi yang baru lahir di Distrik Chitima dekat Danau Cahora Bassa," tutur Albertini kepada Radio Mozambik.
Ibu mendiang, yang menyajikan pombe, juga termasuk korban tewas keracunan massal tersebut.
"Pelayat yang minum bir pada pagi hari melaporkan tidak ada keluhan. Sedangkan mereka yang minum di sore hari justru sakit," ungkap pihak berwenang.
Pejabat menduga kuat bahwa bir kemungkinan telah diracuni ketika pelayat berada di pemakaman.
"Sampel darah dan bir telah dikirim ke rumah sakit besar di ibukota, Maputo, untuk diuji  dan diidentifikasi zat pencemar," ucap Direktur Kesehatan Provinsi, Carle Mosse.
Menurut surat kabar lokal, O Pais, pemimpin partai oposisi Renamo, Afonso Dhlakama, sampai menunda rapat umum politik untuk melakukan perjalanan ke daerah itu guna menemui keluarga korban.
Sementara pihak berwenang mengumpulkan pakaian, makanan, dan peti mati untuk disumbangkan pada keluarga yang ditinggalkan.
Sebelumnya pada tanggal yang sama tahun 1962, momentum mengerikan lain terjadi di Peru. Longsor di lereng gunung berapi Huascaran di sana membunuh lebih dari 4.000 orang. Sebanyak sembilan kota dan tujuh desa kecil hancur akibat letusan tersebut.
Gunung Huascaran berada 22.000 kaki di atas permukaan laut di Pegunungan Andes.
Sementara pada 10 Januari 2013, lebih dari 100 orang tewas dan 270 lainnya luka-luka di beberapa peristiwa ledakan bom di Pakistan.