Kesaksian WNI Eks Sandera Kelompok Militan di Libya

Roni William, anak buah kapal (ABK) asal Jakarta yang menjadi salah satu WNI korban penyanderaan kelompok militan di Benghazi, Libya, tahun lalu membagikan kisahnya.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Apr 2018, 23:06 WIB
Diterbitkan 02 Apr 2018, 23:06 WIB
Gedung Pancasila
Ilustrasi Bendera Indonesia dan WNI (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta - Seorang anak buah kapal (ABK) asal Jakarta, Roni William, merupakan salah satu WNI yang pernah menjadi korban penyanderaan kelompok militan di Benghazi, Libya beberapa bulan lalu.

Roni beserta lima rekannya sesama ABK, Joko Riyadi dari Blitar, serta Haryanto, Saifudin, Muhammad Tabudi, dan Waskita Ibi Patria dari Tegal, harus bertahan hidup di bawah penyanderaan selama berbulan-bulan.

Pria asal Ibu Kota beserta sejawatnya itu ditangkap oleh kelompok militan pada 23 Desember 2017. Saat itu, dia dan rekan-rekannya baru memulai pencarian ikan ketika kemudian disergap oleh kelompok militan.

Alasannya adalah mereka menggunakan kapal berbendera Malta, negara yang memang memiliki hubungan tidak baik dengan kelompok militan tersebut.

Saat disandera, semua barang-barang milik ABK WNI tersebut dirampas, termasuk kelengkapan kapal, alat komunikasi, hingga pakaian dalam mereka. Selain itu, mereka pun diawasi untuk selalu mengikuti instruksi-instruksi dari para penyandera.

"Di Benghazi itu kami digiring oleh kelompok pasukan bersenjata. Barang-barang kami di pelabuhan diambil lalu ditaruh di kontainer. Selama seminggu kami di pelabuhan itu, lalu sekitar satu minggu kemudian dipindahkan ke pelabuhan lain," cerita Roni.

"Di pelabuhan kedua lah kami baru merasa sedikit aman. Orang-orangnya masih ada yang berbaik hati, selain itu ada akses juga ke obat-obatan," lanjutnya.

Meski berada di bawah kekuasaan kelompok militan, Roni mengaku dia masih diperlakukan dengan baik. Tidak ada ancaman maupun tindak kekerasan yang dialami. Satu-satunya kendala yang dia hadapi adalah tidak bisa bebas bergerak kemanapun karena selalu dalam pengawasan dan selalu kekurangan makanan.

"Tidak ada ancaman atau penyiksaan yang dilakukan kepada kami. Hanya, apabila persediaan makanan dari pihak owner tersendat, kami terpaksa harus mancing. Tetapi mereka juga membantu jualin hasil mancing kami ke pasar," ungkapnya.

Roni mengaku bahwa dia dan rekan-rekannya sudah memiliki melaut selama 5 sampai 7 tahun di kapal dan untuk pemilik yang sama. Namun baru kali ini mereka menghadapi penyanderaan. Meski demikian, Roni dan rekan-rekannya tidak kapok melaut karena itu adalah keahlian terbaik mereka.

Sementara itu, pihak Kementerian Luar Negeri saat ini sedang mengupayakan agar hak-hak Roni dan rekan-rekannya dipenuhi oleh perusahaan pemilik kapal. Sebab, mereka sudah mengalami kerugian baik materil dan imateril akibat penyanderaan ini.

Hal itu diungkapkan oleh Direktur Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Indonesia (BHI), Lalu Muhammad Iqbal.

"Memang ada dispute mengenai hak para ABK itu. Karena pemilik menolak memberikan hak ABK karena kondisi kepalanya memang tidak bekerja. tetapi ABK tidak meninggalkan kapal selama enam bulan disandera," jelas Iqbal.

"Akhirnya kami mengupayakan negosiasi. Kesepakatannya adalah pemilik akan menyelesaikannya ketika mereka tiba di Indonesia. Nanti kta akan bantu proses penyelesaiannya," tandas Iqbal.

 

Reporter : Ira Astiana

Sumber  : Merdeka.com

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya