Liputan6.com, Manila - Sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) di Filipina yang mengatur tahanan anak, mendatangkan protes luas. Filipina hendak mengubah usia minimum tahanan, dari 15 menjadi 12 tahun.
Sejumlah aktivis hak anak turun ke jalan melakukan protes, di antaranya membawa poster bertuliskan "anak-anak bukan pelaku kriminal," dan "jangan penjarakan anak".
RUU tersebut disetujui pada Senin, 21 Januari 2019 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Filipina. Sebelumnya, mereka akan menetapkan usia tahanan 9 tahun. Namun, karena banyaknya protes, komite perundangan memutuskan bahwa 12 tahun adalah usia yang lebih diterima.
Advertisement
Baca Juga
DPR mengajukan RUU itu bersamaan dengan memperkenalkan kembali hukuman mati. Keduanya dilakukan untuk mempertegas hukum bagi perdagangan narkoba, dikutip dari The Straits Times pada Jumat (25/1/2019).
Aktivis hak asasi manusia bersikeras bahawa 12 tahun adalah usia yang terlalu dini bagi seorang anak untuk dipenjara.
Carlos Conde, juru kampanye Human Rights Watch, menyatakan bahwa setidaknya tahanan anak berusia 14 tahun. Tidak boleh di bawah itu, dalam keadaan apapun.
Senada dengan Conde, Komisi Hak Asasi Manusia Filipina menolak usia tahanan anak yang telah disetujui oleh DPR. Institusi itu menginginkan usia minimal tetap 15 tahun.
Organisasi PBB yang mengurusi permasalahan hak anak, UNICEF, bahkan merilis informasi bahwa pada usia 16, fungsi otak yang memengaruhi penalaran dan kontrol syaraf belum mencapai kematangan.
Saksikan video berikut:
Demi Pemberantasan Narkoba
RUU tahanan anak diajukan untuk mencegah meluasnya kasus perdagangan dan penyalahgunaan narkoba.
Presiden Filipina, Duterte, mengatakan bahwa sejumlah oknum menyalahgunakan usia tahanan anak saat ini. Akibatnya, sejumlah anak telah dimanfaatkan untuk mengantarkan metamfetamin.
"Mereka adalah pengirim obat kepada pelanggan, serta mengumpulkan uang hasil transaksi. Itulah bagaimana anak-anak masuk ke dalamnya. Anak berusia enam, delapan, sembilan, dan 14 tahun," tutur Duterte.
Lotta Sylwander, dalam kesempatan berbeda menyatakan bahwa menyebut anak sebagai pelaku kriminal, akan menghilangkan tanggung jawab orangtua yang bertugas mengawasi mereka.
"Jika kita gagal memahami penyebab anak-anak melakukan kejahatan, kita gagal menjadi orang tua," ujarnya.
Usia tahanan minimal ini butuh diulas kembali sebelum DPR melakukan pemungutan suara internal. Selain itu, RUU ini juga harus terlebih dahulu mendapatkan dukungan dari Senat, yang tampaknya tidak mendukung.
"Hukum besi bukanlah solusi. Begitu pula dengan memenjarakan dan memperlakukan dengan buruk anak-anak kita," kata Francis Pangilinan, salah seorang anggota Senat, sekaligus pemimpin oposisi.
terdapat banyak kekhawatiran apabila RUU ini disahkan. Romeo Dongeto, kepala jaringan hak anak mengatakan, pasti akan ada dampak buruk begitu RUU diberlakukan.
"Anak-anak mungkin tidak hanya ditangkap di tempat, namun juga berisiko ditahan di tempat penahanan orang dewasa yang sangat padat," pungkasnya.
Advertisement