Abaikan Protes, Pemimpin Hong Kong Tetap Dukung RUU Ekstradisi

Pemimpin Hong Kong Carrie Lam mengatakan dia tidak akan membatalkan RUU Ekstradisi, meskipun ditentang banyak warganya.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 10 Jun 2019, 15:32 WIB
Diterbitkan 10 Jun 2019, 15:32 WIB
Tolak RUU Ekstradisi, Pengunjuk Rasa di Hong Kong Bentrok dengan Polisi
Pengunjuk rasa yang menolak RUU Ekstradisi berhamburan saat bentrok dengan polisi di luar gedung parlemen, Hong Kong, Senin (10/6/2019). Massa diperkirakan akan semakin membesar dalam beberapa hari mendatang. (AP Photo/Kin Cheung)

Liputan6.com, Hong Kong - Pemimpin Hong Kong Carrie Lam mengatakan ia tidak akan membatalkan RUU Ekstradisi yang kontroversial, meskipun ada protes massal yang dihadiri ratusan ribu orang.

Pada Minggu 9 Juni 2019, ratusan ribu orang berunjuk rasa menentang RUU yang dikhawatirkan para kritikus dapat memungkinkan China untuk meringkus lawan politik di wilayah tersebut dan membawanya untuk diadili di Tiongkok daratan.

Berbicara kepada wartawan pada Senin, Lam bersikeras bahwa hukum itu perlu dan mengatakan perlindungan hak asasi manusia sudah ada, demikian seperti dilansir dari BBC, Senin (10/6/2019).

Carrie Lam mengatakan dalam konferensi pers pada Senin 10 Juni bahwa undang-undang tidak akan mengikis kebebasan khusus yang dinikmati wilayah tersebut.

"RUU itu tidak diprakarsai oleh pemerintah rakyat pusat," kata Lam, merujuk pada Beijing. Dia mengatakan undang-undang itu diusulkan karena "hati nurani" dan "komitmen untuk Hong Kong".

Lam juga menjanjikan perlindungan hak asasi manusia yang mengikat secara hukum, dan laporan berkala tentang implementasi UU kepada lembaga legislatif.

Namun, para pengkritik mengatakan bahwa RUU itu akan mengekspos penduduk Hong Kong ke sistem peradilan Tiongkok yang mereka nilai cacat, dan mengarah pada erosi lebih lanjut terhadap independensi peradilan.

Para pendukung RUU mengatakan bahwa akan ada perlindungan yang diterapkan untuk mencegah siapa pun dari menghadapi penganiayaan berdasarkan kepercayaan agama atau politik ketika diekstradisi ke China daratan.

Simak video pilihan berikut:

Demo Terbesar dalam Sejarah Hong Kong Modern?

Tolak RUU Ekstradisi, Pengunjuk Rasa di Hong Kong Bentrok dengan Polisi
Polisi menyemprotkan merica kepada pengunjuk rasa yang menolak RUU Ekstradisi di luar gedung parlemen, Hong Kong, Senin (10/6/2019). Bentrokan terjadi ketika pengunjuk rasa memaksa masuk ke gedung parlemen di Hong Kong. (AP Photo/Vincent Yu)

Penyelenggara protes memperkirakan bahwa satu juta orang mengambil bagian dalam demonstrasi Minggu kemarin, meskipun polisi menempatkan angka 240.000 orang menurut perhitungan mereka.

Jika perkiraan penyelenggara dikonfirmasi sebagai benar, itu akan menjadi demonstrasi terbesar di Hong Kong sejak wilayah tersebut diserahkan kepada China oleh Inggris pada tahun 1997.

Setelah protes hari Minggu meruncing, kekerasan pecah antara pengunjuk rasa dan polisi. Setidaknya tiga petugas dan seorang jurnalis terluka.

Demo lain akan diadakan pada Rabu 12 Juni mendatang, ketika rapat dengar pendapat kedua RUU itu akan diperdebatkan oleh legislator, kata kantor berita AFP mengutip penyelenggara protes Jimmy Sham.

Respons China

Tolak RUU Ekstradisi, Pengunjuk Rasa di Hong Kong Bentrok dengan Polisi
Polisi terlibat bentrok dengan pengunjuk rasa yang menolak RUU Ekstradisi di luar gedung parlemen, Hong Kong, Senin (10/6/2019). Pihak berwenang menyatakan massa aksi mencapai 240.000 orang. (AP Photo/Kin Cheung)

Media pemerintah China mengatakan "pasukan asing" berada di balik protes Minggu kemarin.

Protes itu dikritik keras dalam tajuk rencana pada hari Senin di surat kabar pemerintah China Daily, yang menyatakan bahwa "beberapa warga Hong Kong telah ditipu oleh kubu oposisi dan sekutu asing mereka untuk mendukung kampanye anti ekstradisi".

Koran itu berpendapat bahwa "setiap orang yang berpikiran adil" akan mendukung RUU "lama tertunda" yang berarti "untuk menutup celah hukum dan mencegah Hong Kong menjadi surga yang aman bagi para penjahat".

Laporan tentang protes hari Minggu sangat disensor di China daratan, dengan media internasional diblokir dan pencarian di media sosial diarahkan ke publikasi pro-Beijing di Hong Kong.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya