95 Orang Tewas dalam Dugaan Konflik Antar-Etnis di Mali

95 orang tewas dan 19 lainnya hilang setelah bentrokan yang diduga sebagai konflik etnis terjadi di Mali bagian tengah.

oleh Siti Khotimah diperbarui 11 Jun 2019, 11:02 WIB
Diterbitkan 11 Jun 2019, 11:02 WIB
Bunuh Diri
Ilustrasi Bunuh Diri (iStockphoto)

Liputan6.com, Bamako - Sedikitnya 95 orang tewas dalam serangan pada Senin, 10 Juni 2019, di sebuah desa etnis Dogon di Mali bagian tengah, kata pejabat setempat. Adapun sembilan belas lainnya dinyatakan hilang sejak pria bersenjata tak dikenal menyerang desa Sobane-Kou di Kota Mopti.

Para penyerang juga dilaporkan membunuh hewan dan membakar rumah-rumah. Pemerintah Mali menambahkan, penyelidikan saat ini sedang dilakukan di wilayah yang memiliki riwayat konflik antar-etnis tersebut.

"Desa Dogon telah hampir musnah," kata sumber keamanan Mali sebagaimana dilansir dari laman Al Jazeera pada Selasa (11/6/2019).

Seorang korban selamat, Amadou Togo, mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa "sekitar 50 pria bersenjata lengkap datang dengan sepeda motor dan pickup.

Togo menambahkan, para pelaku awalnya mengepung desa kemudian menyerang siapapun yang mencoba melarikan diri.

"Tidak ada yang selamat - wanita, anak-anak, orang tua," tuturnya.

Seorang pejabat setempat mengatakan kepada AFP, "Saat ini terdapat 95 warga sipil kami yang tewas. Jenazahnya dibakar, kami terus mencari orang yang lain."

Desa itu memiliki sekitar 300 penduduk, menurut seorang pejabat yang berbicara kepada AFP dengan syarat anonim.

Hingga saat ini, belum terdapat pihak yang mengaku bertanggung jawab atas insiden tersebut, namun sebagian orang menuduh etnis Fulani berada di balik serangan.

Konflik Etnis Dogon dan Fulani

20160206-Ilustrasi-Pembunuhan-iStockphoto
Ilustrasi Pembunuhan dengan Senjata Tajam (iStockphoto)

Fulani pada dasarnya adalah peternak dan pedagang, sedangkan Dogon adalah petani yang menetap secara tradisional di Mali.

Adanya kekerasan antara kedua etnis telah memperparah situasi keamanan yang sudah mengerikan di daerah tersebut. Padahal tempat tinggal mereka juga telah digunakan sebagai pangkalan oleh kelompok-kelompok bersenjata yang memiliki ikatan dengan al-Qaeda dan ISIS.

"Masalah-masalah teroris... telah bercampur dengan ketegangan antar-komunitas yang sudah lama terjadi," kata Paul Melly, seorang konsultan di Chatham House's Africa Programme.

"Ini telah memupuk ketegangan antara komunitas pertanian Dogon dan Bambara, di satu sisi, dan penggembala ternak Peul (Fulani) di sisi lain. Masalahnya tidak mudah untuk dipecahkan. Populasi meningkat, perubahan iklim mengancam lingkungan; (kelompok ekstremis) menyampaikan keunggulan ideologis, dan sekarang ada banyak pembunuhan, yang memicu ketidakpercayaan."

Misi PBB di Mali bernama MINUSMA pernah mengumumkan setidaknya terdapat 488 kematian dalam serangan terhadap etnis Fulani di wilayah tengah Kota Mopti dan Segou sejak Januari 2018.

Pembantaian Sebelumnya

Ilustrasi Pembunuhan (iStock)
Ilustrasi Pembunuhan (iStock)

Sebelumnya pada Maret lalu, sekitar 160 penduduk desa Fulani dibantai di Ogossagou, dekat perbatasan dengan Burkina Faso oleh tersangka seorang Dogon.

"Ini mengejutkan, sebuah tragedi," kata kepala MINUSMA Mahamat Saleh Annadif. Ia mencatat insiden itu terjadi pada suatu waktu saat pihaknya tengah membahas pembaharuan mandat MINUSMA.

Sekitar 14.700 tentara dan polisi saat ini dikerahkan di Mali, yang menempati peringkat sebagai misi PBB paling berbahaya. 125 personel penjaga perdamaian tewas dalam serangan sejak penempatan pada 2013.

Negara-negara donor untuk MINUSMA akan bertemu di PBB pada Rabu, 12 Juni 2019. Keputusan terkait perbaruan mandat pasukan diharapkan akan muncul pada 27 Juni mendatang.

Berbicara di markas PBB di New York, Annadif menyatakan penyesalannya bahwa pemerintah Mali tidak cukup hadir di daerah itu untuk mencegah kekerasan.

Pekan lalu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah memperingatkan adanya "risiko tinggi" kekejaman dan meminta pemerintah untuk memperkuat tanggapannya terhadap kelompok-kelompok bersenjata.

"Jika masalah ini tidak ditangani, ada risiko tinggi eskalasi lebih lanjut," tulisnya dalam laporan kepada Dewan Keamanan PBB.

Dalam pernyataan Senin, pemerintah Mali menyatakan belasungkawa dan mengatakan "setiap tindakan akan diambil untuk menangkap dan menghukum mereka yang bertanggung jawab atas pertumpahan darah ini."

"Bala bantuan saat ini dikerahkan di sektor ini dan melakukan pencarian luas," katanya dalam sebuah pernyataan.   

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya